Minggu, Februari 14, 2010

JELAJAH ALAM KAWASAN BROMO TENGGER DAN SEMERU

JELAJAH ALAM KAWASAN BROMO TENGGER DAN SEMERU

Gunung Semeru adalah gunung suci kediaman para Dewa, merupakan gunung tertinggi di pulau Jawa dengan ketinggian 3.676 M dpl (puncak Mahameru). Pada tahun 1913 dan 1946 Kawah Jonggring Saloka memiliki kubah dengan ketinggian 3.744,8 M hingga akhir Nopember 1973. Gunung ini masuk dalam kawasan Taman nasional Bromo-Tengger-Semeru.

Terdapat empat buah danau (ranu): Ranu Pani, Ranu Regulo, Ranu Kumbolo, Ranu Darungan. Diperlukan waktu sekitar empat hari untuk mendaki puncak gunung Semeru pulang- pergi. Sebaiknya membawa bekal untuk satu minggu karena kita akan betah berkemah, bisa jadi karena pemandangan dan suasana yang sangat indah, atau karena kecapaian setelah mendaki gunung semeru.

Untuk mendaki gunung semeru dapat ditempuh lewat kota malang atau lumajang. Dari terminal kota malang kita naik angkutan umum menuju desa Tumpang. Disambung lagi dengan Jip atau Truk Sayuran yang banyak terdapat di belakang pasar terminal Tumpang dengan biaya per orang Rp.13.000,- hingga Pos Ranu Pani. Sebelumnya kita mampir di Gubugklakah untuk memperoleh surat ijin, dengan perincian, biaya surat ijin Rp.6.000,- untuk maksimal 10 orang, Karcis masuk taman Rp.2.000,- per orang, Asuransi per orang Rp.2.000,-

Dengan menggunakan Truk sayuran atau Jip perjalanan dimulai dari Tumpang menuju Ranu Pani desa terakhir di kaki semeru. Di sini terdapat Pos pemeriksaan, terdapat juga warung dan pondok penginapan. Pendaki juga dapat bermalam di Pos penjagaan. Di Pos Ranu Pani juga terdapat dua buah danau yakni danau (ranu) pani (1 ha) dan ranu regulo (0,75 ha). Terletak pada ketinggian 2.200 mdpl. Bagi pendaki yang baru pertama kali mungkin akan bingung menemukan jalur pendakian, dan hanya berputar-putar di Ranu Pani, untuk itu setelah sampai di gapura selamat datang, perhatikan terus ke kiri ke arah bukit, jangan mengikuti jalanan yang lebar ke arah kebun penduduk. Selain jalur yang biasa dilewati para pendaki, juga ada jalur pintas yang biasa dipakai para pendaki lokal, jalur ini sangat curam.

Jalur awal yang kita lalui landai, menyusuri lereng bukit yang didominasi dengan tumbuhan alang-alang. Tidak ada tanda penunjuk arah jalan, tetapi terdapat tanda ukuran jarak pada setiap 100m, kita ikuti saja tanda ini. Banyak terdapat pohon tumbang, dan ranting-ranting diatas kepala, sehingga kita harus sering merundukkan kepala, tas keril yang tinggi sangat tidak nyaman. Setelah berjalan sekitar 5 Km menyusuri lereng bukit yang banyak ditumbuhi Edelweis, kita akan sampai di Watu Rejeng. Kita akan melihat batu terjal yang sangat indah. Kita saksikan pemandangan yang sangat indah ke arah lembah dan bukit-bukit, yang ditumbuhi hutan cemara dan pinus. Kadang kala kita dapat menyaksikan kepulan asap dari puncak semeru. Untuk menuju Ranu Kumbolo kita masih harus menempuh jarak sekitar 4,5 Km. Sebaiknya beristirahat dan mendirikan tenda apabila tiba di Ranu Kumbolo. Terdapat danau dengan air yang bersih dan memiliki pemandangan yang sangat indah terutama di pagi hari kita saksikan matahari terbit disela-sela bukit. Banyak terdapat ikan, kadang burung belibis liar. Ranu Kumbolo berada pada ketinggian 2.400 m dengan luas 14 ha.

Dari Ranu Kumbolo sebaiknya menyiapkan air sebanyak mungkin. Meninggalkan Ranu Kumbolo kita mendaki bukit terjal, dengan pemandangan yang sangat indah dibelakang ke arah danau. Di depan bukit kita terbentang padang rumput yang luas yang dinamakan oro-oro ombo. Oro-oro ombo dikelilingi bukit dan gunung dengan pemandangan yang sangat indah, padang rumput luas dengan lereng yang ditumbuhi pohon pinus seperti di Eropa. Dari balik Gn. Kepolo tampak puncak Gn. Semeru menyemburkan asap wedus gembel. Selanjutnya kita memasuki hutan Cemara dimana kadang-kadang kita jumpai burung dan kijang. Banyak terdapat pohon tumbang sehingga kita harus melangkahi atau menaikinya. Daerah ini dinamakan Cemoro Kandang. Pos Kalimati berada pada ketinggian 2.700 m, disini kita dapat mendirikan tenda untuk beristirahat dan mempersiapkan fisik. Kemudian meneruskan pendakian pada pagi-pagi sekali pukul 24.00. Pos ini berupa padang rumput luas di tepi hutan cemara, sehingga banyak tersedia ranting untuk membuat api unggun. Terdapat mata air Sumber Mani, ke arah barat (kanan) menelusuri pinggiran hutan Kalimati dengan menempuh jarak 1 jam pulang pergi.

Untuk menuju Arcopodo kita berbelok ke kiri (Timur) berjalan sekitar 500 meter, kemudian berbelok ke kanan (Selatan) sedikit menuruni padang rumput Kalimati. Arcopodo berjarak 1 jam dari Kalimati melewati hutan cemara yang sangat curam, dengan tanah yang mudah longsor dan berdebu. Dapat juga kita berkemah di Arcopodo, tetapi kondisi tanahnya kurang stabil dan sering longsor.


Sebaiknya menggunakan kacamata dan penutup hidung karena banyak abu beterbangan. Arcopodo berada pada ketinggian 2.900m, Arcopodo adalah wilayah vegetasi terakhir di Gunung Semeru, selebihnya kita akan melewati bukit pasir.

Dari Arcopodo menuju puncak Semeru diperlukan waktu 3-4 jam, melewati bukit pasir yang sangat curam dan mudah merosot. Semua barang bawaan sebaiknya kita tinggal di Arcopodo atau di Kalimati. Pendakian menuju puncak dilakukan pagi-pagi sekali sekitar pukul 02.00 pagi dari Arcopodo. Badan dalam kondisi segar, dan efektif dalam menggunakan air. Perjalanan pada siang hari medan yang dilalui terasa makin berat selain terasa panas juga pasir akan gembur bila terkena panas. Siang hari angin cendurung ke arah utara menuju puncak meWedus Gembel di Puncak Semerumbawa gas beracun dari Kawah Jonggring Saloka. Di puncak Gunung Mahameru (Semeru) pendaki disarankan untuk tidak menuju kawah Jonggring Saloko, juga dilarang mendaki dari sisi sebelah selatan, karena adanya gas beracun dan aliran lahar. Suhu dipuncak Mahameru berkisar 4 - 10 derajad Celcius, pada puncak musim kemarau minus 0 derajad Celcius, dan dijumpai kristal-kristal es. Cuaca sering berkabut terutama pada siang, sore dan malam hari. Angin bertiup kencang, pada bulan Desember - Januari sering ada badai.

Terjadi letusan Wedus Gembel setiap 15-30 menit pada puncak gunung Semeru yang masih aktif. Pada bulan Nopember 1997 Gn.Semeru meletus sebanyak 2990 kali. Siang hari arah angin menuju puncak, untuk itu hindari datang siang hari di puncak, karena gas beracun dan letusan mengarah ke puncak.Letusan berupa asap putih, kelabu sampai hitam dengan tinggi letusan 300-800 meter. Materi yang keluar pada setiap letusan berupa abu, pasir, kerikil, bahkan batu-batu panas menyala yang sangat berbahaya apabila pendaki terlalu dekat. Pada awal tahun 1994 lahar panas mengaliri lereng selatan Gn.Semeru dan meminta beberapa korban jiwa, pemandangan sungai panas yang berkelok- kelok menuju ke laut ini menjadi tontonan yang sangat menarik.Pendakian sebaiknya dilakukan pada musim kemarau yaitu bulan Juni, Juli, Agustus, dan September. Sebaiknya tidak mendaki pada musim hujan karena sering terjadi badai dan tanah longsor.

Secara umum iklim di wilayah gunung Semeru termasuk type iklim B (Schmidt dan Ferguson) dengan curah hujan 927 mm - 5.498 mm per tahun dengan jumlah hari hujan 136 hari/tahun dan musim hujan jatuh pada bulan Nopember - April. Suhu udara dipuncak Semeru berkisar antara 0 - 4 derajat celcius. Flora yang berada di Wilayah Gunung Semeru beraneka ragam jenisnya tetapi banyak didominir oleh pohon cemara, Akasia, Pinus, dan jenis Jamuju. Sedangkan untuk tumbuhan bawah didominir oleh Kirinyuh, Alang - alang, Tembelekan, Harendong dan Edelwiss putin, Edelwiss yang banyak terdapat di lereng-lereng menuju Puncak Semeru. Dan juga ditemukan beberapa jenis anggrek endernik yang hidup di sekitar Semeru Selatan. Banyak fauna yang menghuni gunung Semeru antara lain : Macan Kumbang, Budeng, Luwak, Kijang, Kancil, dll.

ROUTE PERJALANAN KE KAWASAN
ROUTE KE 1JARAKBERKENDARAANBERJALAN KAKI
Malang - Tumpang18 KM45 Menit---------------
Tumpang - Gubugklakah (POS)12 km45 Menit---------------
Gubugklakah - Ranu Pani17 Km90 Menit4 Jam
Ranu Pani - Watu Rejeng7 Km-----1,5 Jam
Watu Rejeng - Ranu kumbolo6 Km-----1,5 Jam
Ranu Kumbolo - Oro oro Ombo----------1 Jam
Oro-oro Ombo - Cemoro Kandang----------1 Jam
Cemoro Kandang - Kalimati----------1 Jam
Kalimati - Arcopodo1 Km-----1 Jam
Arcopodo - Puncak Jongring3,2 Km-----3 Jam
ROUTE KE 2JARAKBERKENDARAANBERJALAN KAKI
Lumajang - Senduro25 KM45 Menit---------------
Senduro - Burno14 km45 Menit---------------
Burno - Ranu pani29 Km120 Menit------------
Ranu Pani - Watu Rejeng7 Km-----1,5 Jam
Watu Rejeng - Ranu kumbolo6 Km-----1,5 Jam
Ranu Kumbolo - Oro oro Ombo----------1 Jam
Oro-oro Ombo - Cemoro Kandang----------1 Jam
Cemoro Kandang - Kalimati----------1 Jam
Kalimati - Arcopodo1 Km-----1 Jam
Arcopodo - Puncak Jongring3,2 Km-----3 Jam

Upacara Kasedo G. Bromo

Siapkan baju hangat, penutup kepala, dan kaus tangan untuk menahan dingin! Begitu nasihat seorang rekan ketika saya mengungkapkan keinginan berkunjung ke kawasan pegunungan Bromo - Tengger - Semeru. Betul juga, dinginnya angin gunung sudah terasa di badan ketika saya sampai di Desa Kunci (+ 600 m), kecamatan Tumpang + 20 km timur Malang . Inilah salah satu jalan menuju Taman Nasional Bromo - Tengger - Semeru. Jalan yang akan saya tempuh bukanlah jalan yang sudah dikenal, yakni langsung menuju G. Bromo lewat kota Probolinggo. Menurut kawan tadi jalan yang akan saya tempuh jauh lebih indah dan menantang. Rute ini biasanya dipakai oleh para pecinta alam untuk mencapai Ranupani, desa terakhir ke G. Semeru sejauh +45 km yang hanya bisa dilalui jip dengan penggerak empat roda. Jip untuk melalui rute itu bisa disewa dari Herman yang bertempat tinggal di Kunci. Tak sulit menemukan tempat tinggalnya itu. Apalagi di depan rumahnya terlihat beberapa jip yang sedang dalam perbaikan. Agaknya ia satu-satunya yang masih bertahan dengan usaha itu. "Dulu memang banyak, tapi banyak yang tutup lantaran terus merugi dan nggak bisa beli jip lagi," papar Herman.

Di ruang tamu, pria setengah baya yang ramah ini bercerita banyak soal medan yang akan ditempuh dan juga suka-duka mengelola usaha persewaan armada jipnya. Begitu ongkos sewa disepakati Rp 150.000 ,- sekali jalan, Herman segera menyiapkan mobil, sopir, serta kernetnya sekaligus. Kali ini yang digunakan sebuah Toyota Canvas biru dengan bak terbuka di bagian belakang. Tempat duduk memang hanya ada di bagian depan, dengan atap terpal di atasnya. Dengan cekatan ia memeriksa sekilas kondisi mobil dan perlengkapannya. Ketika dilihatnya ban kiri depan agak gundul ia segera menggantinya. Slenk (julukan untuk Suradi yang diberikan oleh para pecinta alam yang kerap menggunakan jasanya), sopir yang akan membawa saya, sudah siap. Ia cukup bersandal jepit dengan baju lengan panjang digulung dan penutup kepala untuk menahan hawa dingin. Tak lupa ia membawa perlengkapan standar cangkul, parang, dan rantai. Lha, untuk apa benda ini? Jalan yang berpasir basah sering membuat keempat roda tak dapat mencekeram dengan kuat. Ban bisa selip dan amblas ke dalam pasir. Dalam kondisi seperti ini pemberian pasir kering di bagian yang amblas sangat membantu. Di sinilah cangkul berperan untuk mengambil pasir di sisi kiri-kanan jalan. Sedang parang berguna memotong-motong pohon tumbang. "Saya pernah menginap dua hari di jalan untuk menyingkirkan pohon besar yang mengalangi jalan," papar Slenk. Lain lagi dengan rantai. Perlengkapan ini digunakan sebagai upaya terakhir dalam kondisi selip sementara usaha pemberian dengan pasir kering sudah tidak bisa mengatasi. Terpaksalah kedua ban belakang dipasang rantai dengan cara menyarungkan pada lingkaran ban.

Bunga terompet dan lantana

Ketika mobil selesai diperiksa, saya diminta naik. Mula-mula saya lebih suka duduk di depan bersebelahan dengan sopir, tapi beberapa waktu kemudian Slenk menawarkan saya untuk beralih ke bak belakang. "Pemandangannya jauh lebih indah," katanya. Betul juga, sambil berdiri berpegangan pipa besi yang dipasang mengelilingi bak belakang saya bisa leluasa memandang ke segala arah. Memasuki pintu gerbang kawasan Bromo - Tengger - Semeru.


Desa Kunci yang berada di bawah bisa dilihat dengan jelas. Asri! Rumah-rumah berderet rapi di kiri-kanan jalan utama mengikuti kontur tanah yang naik-turun dengan kebun buah dan sayuran berada di belakang rumah.

Apel Rome Beauty nampak dibudidayakan di tepian jalan. Buahnya lebat, bergelantungan di ranting yang tingginya tak lebih dari 2 m. Warna buahnya khas, semburat merah muda di bagian yang terkena sinar matahari dan hijau di bagian yang teduh. Dengan bertambahnya ketinggian, komposisi tumbuhan pun berubah. Hutan hujan pegunungan dengan dominasi pohon pinus, Acacia, dan cemara gunung dengan tumbuhan penutup tanah bunga terompet dan lantana. Amat menawan! Apalagi di awal musim hujan itu keduanya tengah berbunga. Bunga terompet dengan warna putihnya yang khas dan lantana dengan paduan aneka warna. Mobil yang saya tumpangi terus merayap pelan, berpindah dari satu bukit ke bukit lain meniti bibir jurang. Sulit dibayangkan kalau berpapasan di jalan sesempit itu. Betul juga tak berapa lama muncul truk kecil yang dijubeli penumpang. Terpaksa salah satu mengalah, mundur mencari tempat yang sedikit lebar. Untungnya di lintasan ini solidaritas antarsopir amat tinggi. Mereka tak memaksakan diri berpapasan bila tak memungkinkan, nyawa jadi taruhan.

Setelah satu setengah jam perjalanan saya sampai di Desa Ngadas, satu-satunya desa di lintasan ini. Siang itu penduduk yang mayoritas memeluk agama Hindu tengah duduk-duduk di depan rumah. Uniknya hampir semua berkerudung sarung. Agaknya sarung itu untuk melawan hawa dingin yang selalu menyelimuti daerah itu. Rumah-rumah permanen dengan jalanan yang diplester semen mencerminkan kehidupan mereka yang cukup sejahtera. Roda perekonomian ditopang oleh produksi kentang, wortel, kol, dsb. yang ditanam di bukit-bukit sekitar desa.Beberapa kilometer melewati Desa Ngadas, jalanan berganti menjadi pasir halus yang mudah longsor. Pengemudi harus ekstra hati-hati di tempat ini apalagi jurang menganga di kedua sisi jalan. Pemandangan semakin elok.


Kerukunan Beragama

Berhenti sementara untuk menikmati alam nampaknya akan sering dilakukan bila kita melewati jalur ini lantaran beragamnya objek yang bisa dilihat yang hampir semuanya mengundang decak kekaguman. Matahari sudah di atas ubun-ubun ketika saya sampai di Ranupani (+ 2.500 m). Dusun yang dihuni 1.030 jiwa ini merupakan persinggahan terakhir para pendaki sebelum naik ke G. Semeru. Dari sini puncak Mahameru, gunung tertinggi di P. Jawa bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 6 jam. Sebagai tempat transit para pendaki, Ranupani menyimpan potensi keindahan alami dengan adanya danau atau ranu, yakni Ranu Pani dan Ranu Regulo. Saya segera saja mampir ke home stay dan warung milik Tasrip (65) yang berada tepat di pinggir jalan desa. Di musim pendakian dan liburan (Mei - Oktober), penginapan yang dilengkapi dengan warung ini tak pernah sepi dari turis mancanegara. Masakan khas Jawa tersedia semisal soto, kare, rawon, dsb. Juga minuman Coca Cola, Aqua, dsb. Warung Tasrip memasang harga wajar. Sebotol Aqua 500 ml dijual Rp 750,-. Sedang sekaleng Coca Cola seharga Rp1.500,-. Desa Ranupani bisa jadi contoh bagaimana serasinya hubungan antarpemeluk agama. Menurut Slenk toleransi beragama sangat tinggi. "Menyongsong peringatan salah satu agama, pemeluk agama lain dengan sukarela tak segan-segan saling membantu.

Kawasan Bromo-Tengger-Semeru

Untuk mengejar waktu saya segera berbalik menuju Bromo. Jalan ke arah padang rumput Bromo sepanjang 3 km itu kondisinya amat tidak layak dilewati. Menurun dengan batu-batu besar yang berserakan di tengah jalan. Menyerupai sungai kering. "Saya heran tak pernah ada papasan di sini, padahal pada masa liburan puluhan jip beroperasi, " papar Slenk. Memang sulit dibayangkan kalau sampai berpapasan. Rasanya tak ada tempat untuk menepi. Mau coba-coba mundur ... mustahil! .

Sesampai di lembah, baru ketahuan padang rumput yang kelihatan dari atas tadi ternyata berupa semak yang didominasi oleh tumbuhan paku, cemara gunung, dan rumput liar. Suasana sangat eksotis. Tak ada suara selain suara angin gunung yang bertiup kencang. Kendaraan terus melaju pelan meniti jalan berpasir lembut. Kendati mobil bisa dipacu sampai 30 km per jam, Slenk kerap melambatkan laju kendaraannya. Di tempat-tempat tertentu, Slenk harus merintis jalan sendiri karena jalan yang sudah terbentuk longsor terkena gerusan air. Pasir gunung beterbangan kemana-mana terkena laju kendaraan. Saya segera waspada dengan menutup muka serapat mungkin dengan penutup kepala dan kacamata Rayban. Mendekati kawasan G. Bromo padang rumput itu secara berangsur-angsur hilang digantikan oleh lautan pasir. Kalau malam bisa kesasar , Alur jalan pun menjadi tidak kentara. Bahkan bekas-bekas roda di pasir nampaknya sudah hilang tertutup oleh pasir yang tertiup angin. "Makanya kalau lewat sini harus siang, kalau sampai kemalaman bisa-bisa kita kesasar," papar Slenk yang mengaku sudah ratusan kali menjalani rute ini.

Laut pasir ini merupakan ekosistem yang unik sebagai hasil letusan Gunung Tengger Purba. Kaldera seluas +/- 5.250 ha itu berbentuk lingkaran dengan garis tengah terpanjang 8 km dan terpendek 6 km. Dinding kaldera berketinggian antara 120 - 130m dengan kelerengan antara 60 - 80o. Di atas hamparan laut pasir itu terdapat beberapa gunung, yakni: G. Bromo (2.392 m), G.Batok (2.440 m), G. Kursi (2.581 m), G. Widodaren (2.614 m), dan G. Watangan (2.601 m).

Setelah menempuh perjalanan sejak pukul 10.30 WIB dari Kunci saya akhirnya tiba di G. Bromo pada pukul 15.00 WIB. Pemilik penginapan tempat saya bermalam di Cemorolawang (desa terdekat dengan G. Bromo) menyarankan melihat kawasan Bromo dari G. Penanjakan saat matahari terbit keesokan harinya. Pukul 03.30 WIB saya sudah dibangunkan oleh pemilik losmen. Dengan berbekal baju hangat, penutup kepala, sarung tangan, dan sepatu berkaus kaki dobel untuk melawan hawa dingin saya menumpang jip yang akan membawa ke G. Penanjakan. Perjalanan ditempuh selama +/- 45 menit dengan menggunakan jip. nilah tempat paling strategis melihat kawasan G. Bromo dan sekitarnya dari ketinggian 2.700 m. Sebetulnya melihat matahari terbit di musim hujan itu bisa dibilang untung-untungan. Betul juga, tepat pada pukul 05.10 kendati matahari mulai muncul, sinarnya tertahan awan yang terus menggayut di atas Bromo. Toh ini tidak mengurangi keindahan gunung-gunung di kawasan Bromo yang mulai nampak di kejauhan. Keelokan ini tak berlangsung lama, kabut segera menyapu di atas Bromo.

Lebih baik naik kuda

Saya segera turun untuk mendaki G. Bromo. Dari padang pasir di kaki gunung puncak Bromo nampak tak begitu tinggi. Tapi begitu saya mulai mendaki anggapan saya meleset. Baru beberapa saat melangkahkan kaki napas sudah ngos-ngosan dan jantung berdetak kencang. Saya terpaksa sering berhenti. Menyesal rasanya menolak tawaran penarik kuda yang menawarkan jasa dengan ongkos Rp 7.500,- pulang-pergi. Setelah berusaha keras dan meniti 249 buah tangga sampailah saya di atas. Puas rasanya. Dari bibir kawah itu bisa dilihat pemandangan ke arah G. Bromo. Asap beraroma belerang keluar dari lubang di dasarnya. Bila arah angin tiba-tiba berubah, arah asap dengan bau belerang juga berubah mengikuti arah angin. Saya harus waspada karena kalau sampai terhirup kontan akan batuk-batuk. Sampai kini, G. Bromo adalah gunung yang masih aktif dan secara teratur mengeluarkan asap. Jarak dari Cemorolawang ke G. Bromo +2,5 km. Suhu tahunan berkisar antara 3 - 18 o C dengan kelembaban 42 - 97%.

Bagi masyarakat Tengger G. Bromo dipercaya sebagai gunung suci. Mereka yang percaya selalu menjaga tindak-tanduk di kawasan ini. "Siapa saja tak boleh berpikiran buruk, apalagi buang air kecil menghadap gunung, bisa kualat, " ujar Yun warga Cemoralawang. Itulah sebabnya pada akhir Oktober atau November masyarakat Tengger di kawasan Bromo tak lupa mengadakan upacara Kasada. Dengan aneka sesajian mereka berdoa di pura yang ada di kaki Bromo. Usai dimantrai sesajian itu dilempar ke kawah sebagai tanda penyerahan pada Kusuma, putra ke-25 dari Lara Anteng dan Jaka Seger sebagai cikal bakal masyarakat Tengger.

Kedekatan dengan G. Bromo ini membuat masyarakat Hindu di situ tak pernah gentar, pun tatkala gunung ini meletus beberapa tahun lalu. "Letusannya terdengar keras; jantung rasanya mau putus, tapi saya nggak takut dan malah ke sana untuk sesaji dan berdoa," tutur Yun. Terbukti, kawasan Bromo tak cuma menyimpan keindahan, tapi juga legenda. Inilah agaknya yang membuat eksotisme Taman Nasional Bromo - Tengger - Semeru layak ditengok.

Legenda Mengenai Kawasan Tengger dan Semeru

Menurut kepercayaan masyarakat Jawa yang ditulis pada kitab kuno abad 15, Pulau Jawa pada suatu saat mengambang di lautan luas, dipermainkan ombak kesana-kemari. Para Dewa memutuskan untuk memakukan Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Meru di India ke atas Pulau Jawa. Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor kura-kura raksasa menggendong gunung itu dipunggungnya, sementara Dewa Brahma menjelma menjadi ular panjang yang membelitkan tubuhnya pada gunung dan badan kura-kura sehingga gunung itu dapat diangkut dengan aman.

Dewa-Dewa tersebut meletakkan gunung itu di atas bagian pertama pulau yang mereka temui, yaitu di bagian barat Pulau Jawa. Tetapi berat gunung itu mengakibatkan ujung pulau bagian timur terangkat ke atas. Kemudian mereka memindahkannya ke bagian timur pulau tetapi masih tetap miring, sehingga Mereka memutuskan untuk memotong sebagian dari gunung itu dan menempatkannya di bagian barat laut. Penggalan ini membentuk Gunung Pawitra, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Pananggungan, dan bagian utama dari Gunung Meru, tempat bersemayam Dewa Shiwa, sekarang dikenal dengan nama Gunung Semeru. Pada saat Sang Hyang Siwa datang ke pulau jawa dilihatnya banyak pohon Jawawut, sehingga pulau tersebut dinamakan Jawa.

Lingkungan geografis pulau Jawa dan Bali memang cocok dengan lambang-lambang agama Hindu. Dalam agama Hindu ada kepercayaan tentang Gunung Meru, Gunung Meru dianggap sebagai rumah para dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung diantara bumi (manusia) dan Kayangan. Kalau manusia ingin mendengar suara dewa mereka harus semedi di puncak Gunung Meru. Banyak masyarakat Jawa dan Bali sampai sekarang masih menganggap gunung sebagai tempat kediaman Dewa-Dewa atau mahluk halus. Selanjutnya daerah bergunung-gunung masih dipakai oleh manusia Jawa sebagai tempat semedi untuk mendengar suara gaib. Menurut orang Bali Gunung Mahameru dipercayai sebagai Bapak Gunung Agung di Bali dan dihormati oleh masyarakat Bali. Upacara sesaji kepada para dewa-dewa Gunung Mahameru dilakukan oleh orang Bali. Betapapun upacara tersebut hanya dilakukan setiap 8-12 tahun sekali hanya pada waktu orang menerima suara gaib dari dewa Gunung Mahameru. Selain upacara sesaji itu orang Bali sering datang ke daerah Gua Widodaren untuk mendapat Tirta suci.

Orang naik sampai puncak Mahameru ada yang bertujuan untuk mendengar suara-suara gaib. Selain itu juga ada yang memohon agar diberi umur yang panjang. Bagaimanapun alasan orang naik ke puncak Mahameru, kebanyakan orang ditakutkan oleh macam-macam hantu yang mendiami daerah keliling gunungnya. Hantu-hantu tersebut biasanya adalah roh leluhur yang mendiami tempat seperti hutan, bukit, pohon serta danau.