Kamis, November 02, 2017

Model Layanan Pendidikan Inklusif

Model Layanan Pendidikan Inklusif

BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan inklusif dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi isu yang sangat menarik dalam sistim pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan pendidikan inklusif memberikan perhatian pada pengaturan para peserta didik yang memiliki kelainan atau kebutuhan khusus untuk bisa mendapatkan pendidikan pada sekolah-sekolah umum atau reguler sebagai ganti kelas pendidikan khusus part-time, pendidikan khusus full-time, atau sekolah luar biasa (sergegasi).

Oleh sebab itu, pendidikan inklusif adalah Pendidikan yang memberikan kesempatan kepada ABK mengikuti pendidikan dalam sistem persekolahan reguler dengan memperhatikan dan menyesuaikan kebutuhan individual anak. Sistem persekolahan reguler disesuaikan dengan kebutuhan individual anak.Serta sekolah yang menampung semua murid (education for all). Sekolah ini menyediakan program layanan pendidikan yang layak, menantang tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid untuk menggali potensi yang ada.

Sekolah inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dgn kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga pendidikan dan kependidikan, systempembelajaran sampai pada sistem penilaiannya.

Dikarenakan Pendidikan Inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil 1994). Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback, 1980)

Kenyataannya, Pendidikan Inklusif di Indonesia Pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikut-sertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik. Belum menyeluruhnya pemahaman tentang inklusif ini yang menjadikan tidak semua sekolah bisa melaksanakan dan melayani pendidikan inklusif dengan sebaik-baiknya.

Berdasarkan beberapa permasalahan seperti tersebut diatas masih kita jumpai terjadi di sekolah-sekolah yang ada anak berkebutuhannya. Sekolah yang masih melayani ABK dengan menyamakan dengan reguler yang menjadikan ABK mogok dan tidak tertanganinya sesuai dengan kemampuanya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya inovasi dalam menangani ABK sehingga permasalahan-permasalahan tersebut dapat diselesaikan. Selain itu inovasi model layanan juga harus diciptakan dengan harapan peserta didik bisa tertangani sesuai dengan kebutuhannya. Model layanan pendidikan yaitu; pertama disebut sebagai kelas terapy, kelas ini menggunakan kurikulum Omisi, kedua kelas Pendampingan menggunakan kurikulum substitusi dan ketiga kelas inklusi menggunakan kurikulum duplikasi/ modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhannya.

Model layanan akan lebih memudahkan guru dalam melayani peserta didik dan peserta didik juga mudah dalam mendapatkan pembelajaran di model layanan yang dibuat. Model layanan yang menyesuaikan kurikulumnya ini mempermudah kita dalam menjalankan Pendidikan Inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Maka dari itu, dengan model layanan ini diharapkan akan mampu menciptakan suasana pembelajaran yang lebih kondusif dan sesuai kebutuhan. Sehingga peserta didik mampu mengikuti pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang disesuaikan dengan program kelas dan kemampuannya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, masalah pada inovasi “Model Layanan Pendidikan Inklusif” ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

Bagaimana “Model Layanan Pendidikan Inklusif” mampu meningkatkan pelayanan terhadap peserta didik ABK yang disesuaikan dengan kebutuhannya ?

C. Tujuan

“Model Layanan Pendidikan Inklusif” Dalam inovasi model layanan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan peserta didik dalam pendidikan inklusif.

D. Manfaat

Penerapan layanan pada pendidikan inklusif “Model Layanan Pendidikan Inklusif” diharapkan dapat bermanfaat bagi :

a. Sekolah

Inovasi layanan “Model Layanan Pendidikan Inklusif” ini akan membantu memberikan solusi dari berbagai kesulitan yang di temukan dalam menangani ABK. Sehingga model layanan ini lebih bisa kondusif, model layanan yang bisa di pilih GPK.

b. Guru Pembimbing Khusus (GPK)

Inovasi layanan “Model Layanan Pendidikan Inklusif” ini akan membantu memberikan solusi dari berbagai kesulitan yang di temukan dalam menangani ABK. Sehingga model layanan ini lebih bisa kondusif, partisipatif, menarik dan menyenangkan bagi siswa sesuai dengan kemampuannya.

c. Siswa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

· Siswa Reguler

Menumbuhkan rasa syukur atas karunia Tuhan, ada jiwa menerima, menghormati, dan menolong terhadap teman yang kurang beruntung.

· Siswa ABK

Menumbuhkan motivasi, percaya diri, dan semangat belajar lebih tinggi

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep/ Teori yang melandasi Karya Tulis Ilmiyah

Karya tulis ini dilandasi oleh tiga konsep landasan, yaitu landasan religi, landasan filosofi, dan landasan yuridis.

Pertama adalah Landasan religi : manusia diciptakan sebagai makhluk

Individu sekaligus sosial.

Kedua adalah Landasan filosofis : pengakuan kebinekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik.

Ketiga adalah Landasan yuridis : landasan pada segi undang-undang dalam pengembangan dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif. Adapun perundang-undangan yang menjadi landasan dalam pengembangan dan implementasi kurikulum dalam program inklusif, antara lain sebagai berikut :

1. UUD ’45 Pasal 31 tentang setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan.

2. UU Sisdiknas No. 20(2003) Pasal 5 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya :

a) Pasal 5 ayat (1) : setiap warga negara mempunyai hak yang sama

untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

b) Pasal 5 ayat (2) : warga negara yang memiliki kelainan fisik,

emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

c) Pasal 5 ayat (3) : warganegara di daerah terpencil atau terbelakang,

serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

d) Pasal 5 ayat (4) : warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

e) Pasal 6 ayat (1) setiap warganegara yang berusia tujuh sampai

dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.

f) Pasal 12 ayat (1.b) : setiap peserta didik pada setiap satuan

pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

g) Pasal 36 ayat (1) : pengembangan kurikulum dilakukan dengan

mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

h) Pasal 36 ayat (2) : kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan

dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, serta peserta didik.

i) Penjelasan Pasal 15 : Pendidikan khusus merupakan

j) penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusiff atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

3. Kesepakatan UNESCO di Salamanca tentang inklusif education (1994)

4. Deklarasi Bandung “Menuju Inklusi” (2004), Permendiknas RI No. 70 (2009),

5. Pergub Jatim No.6 (2011)tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif provinsi jawa timur

Sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil 1994)

Gambar 2.1 Adapted: Sapon-Shevin : O’Neil 1994

Dari sini jelas bahwa dalam melaksanakan pendidikan Inklusif di butuhkan penerapan yang pas sehingga terbangun kesadaran dan konsensus hilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif. Mudah untuk segera mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran. Serta melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak.

Gambar 2.2 Film Laskar Pelangi

B. Kurikulum

Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didikberkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya, kurikulum reguler perludilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Dasar Pengembangan Kurikulum untuk melakukan modifikasi danpengembangan kurikulum dalam program inklusif harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun perundang-undangan yang menjadi landasan dalam pengembangan dan implementasi kurikulum dalam program inklusif. Terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, khususnya:

a) Pasal 1 ayat (13) : Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

b) Pasal 1 ayat (15) : Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.

c) Pasal 17 ayat (1) : Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTS/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/MAK/ atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.

d) Pasal 17 ayat (2) : sekolah dan komite sekolah atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, dibawah supervisi Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK dan Departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK.

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) perlu memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Hal ini dikarenakan mengingat mereka memiliki hambatan internal antara lain fisik, kognitif dan sosial emosional. Pendidikan bagi anak tersebut dapat di lakukan baik dalam system segregatif di sekolah luar biasa (SLB) maupun system inklusif pada sekolah umum atau regular yang menyelenggarakan pendidikan inklusif.

Kategori ABK disini adalah peserta didik yang mengalami hambatan visual impairments, hearing impairment, mental retardation, physical and health disabilities, communication disorders, slow learner, learning disabilities, gifted and talented, ADHD, autis dan multiply handicapped.

Dalam pembelajaran inklusif, model kurikulum bagi ABK dapat dikelompokan menjadi empat, yakni:

a. Duplikasi Kurikulum

Yakni ABK menggunakan kurikulum yang tingkat kesulitannya sama dengan siswa rata-rata atau regular. Model kurikulum ini cocok untuk peserta didik tunanetra, tunarungu wicara, tunadaksa, dan tunalaras. Alasannya peserta didik tersebut tidak mengalami hambatan intelegensi. Namun demikian perlu memodifikasi proses, yakni peserta didik tunanetra menggunkan huruf Braille, dan tunarungu wicara menggunakan bahasa isyarat dalam penyampaiannya.

b. Modifikasi Kurikulum

Yakni kurikulum siswa rata-rata atau regular disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan atau potensi ABK. Modifikasi kurikulum ke bawah diberikan kepada peserta didik tunagrahita dan modifikasi kurikulum ke atas (eskalasi) untuk peserta didik gifted and talented.

c. Substitusi Kurikulum

Yakni beberapa bagian kurikulum anak rata-rata ditiadakan dan diganti dengan yang kurang lebih setara. Model kurikulum ini untuk ABK dengan melihat situasi dan kondisinya.

d. Omisi Kurikulum

Yaitu bagian dari kurikulum umum untuk mata pelajaran tertentu ditiadakan total, karena tidak memungkinkan bagi ABK untuk dapat berfikir setara dengan anak rata-rata.

BAB III

MODEL LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF

A. IDE DASAR

Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki model pelayanan dalam pendidikan inklusif, namun dalam pelaksanaanya di serahkan kepada sekolah masing-masing dalam menjalankan pendidikan inklusif. Pemahaman yang masih belum bisa menyeluruh dan melihat permasalahan yang ada di sekolah masing-masing, akhirnya ada tiga model layanan. Pertama yaitu model kelas terapy (Omisi). Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam kurikulum umum untuk mata pelajaran tertentu ditiadakan total, karena tidak memungkinkan bagi ABK untuk dapat berfikir setara dengan anak rata-rata. Kedua yaitu model kelas pendampingan (supstitusi). Model kelas pendampingan ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam bagian kurikulum anak rata-rata ditiadakan dan diganti dengan yang kurang lebih setara. Model kurikulum ini untuk ABK dengan melihat situasi dan kondisinya. Ketiga yaitu model kelas inklusif (duplikasi dan modifikasi). Model kelas ini menyertakan peserta didik dalam kurikulum peserta didik di kelas reguler. Tidak banyak perubahan pada kurikulum di kelas inklusif ini, karena semua di sesuaikan dengan kondisi peserta didiknya. Mampu dalam pembelajaran peserta didik akan menggunakan kurikulum duplikasi, tapi jika ada sebagian pembelajaran tidak mampu maka akan di buatkan kurikulum modifikasi.

Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie Hardin.Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif yang mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus. Model ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal.rinitarosalinda.blogspot.co.id

B. RANCANGAN MODEL LAYANAN

Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti:

ž Kelas terapy (Omisi), ABK belajar di kelas terapy dalam penanganan khusus. Peserta didik ditangani dengan kurikulum total membuat sendiri. Karena secara kemampuan ABK belum mampu di masukkan dalam kelas reguler baik secara sosialisasi dan akademik, ABK belum ada pengakuan di kelas reguler akan tetapi berada di kelas terapi dengan peanganan sesuai dengan kebutuhan dari hambatannya.

ž Kelas pendampingan (Substitusi), ABK belajar dengan anak normal di kelas reguler dalam kelompok khusus yang disesuaikan dengan jenis ketunaannya. Namun pada waktu tertentu ABK di tarik ke ruang pusat sumber dan GPK menjelaskan ulang dari materi reguler yang belum ABK faham.

ž Kelas inklusif (duplikasi dan modifikasi), ABK Tidak banyak perubahan pada kurikulum di kelas inklusif ini, karena semua di sesuaikan dengan kondisi peserta didiknya. Mampu dalam pembelajaran peserta didik akan menggunakan kurikulum duplikasi, tapi jika ada sebagian pembelajaran tidak mampu maka akan di buatkan kurikulum modifikasi.

Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (kelas inklusif). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).

Model kurikulum PPI yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program, PPI yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education Program (IEP) merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusif. Konsep pendidikan inklusif yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih. Thomas M. Stephens menyatakan bahwa IEP merupakan pengelolaan yang melayani kebutuhan unik peserta didik dan merupakan layanan yang disediakan dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan serta bagaimana efektivitas program tersebut akan ditentukan.

Tujuan akhir kegiatan pembelajaran ABK

Bagan 3.2 Tujuan akhir kegiatan pembelajaran ABK

C. PROSES PENEMUAN/ PEMBAHARUAN

Penemuan model layanan ini diawali dengan adanya permasalahan dalam pembelajaran, bagaimana GPK mengobservasi dan assesment terhadap ABK yang selanjutnya siswa dipilihkan kelas dan kurikulum apa yang pas bagi ABK tanpa meninggalkan kelasnya. Dalam artian pengkondisian ini hanya menyesuaikan program model layanannya bagi ABK yang didapati memiliki dan harus ditangani dari ke tiga model layanan yang sudah ada. Disadari oleh permasalahan di dalam pembelajaran, GPK melakukan kajian literature dan referensi tentang pembelajaran yang menyenangkan, menarik, dan memberi rasa nyaman.

Kemudian model layanan ini diperoleh pada saat melakukan evaluasi terhadap layanan ABK yang tidak nyaman baik untuk ABK maupun untuk GPKnya. Dari evaluasi yang selalu dilakukan oleh GPK dan sekolah, sehingga bisa menentukan model layanan yang harus dibuat untuk memudahkan dalam pengajaran.

Proses penemuan selanjutnya memasukkan model layanan di sinergikan dengan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan hambatan peserta didik. Dengan model layanan yang sudah di sesuaikan diharapkan ABK bisa terlayani dengan baik. GPK bisa merancang pembelajaran lebih terinci lagi sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan hambatannya.

Akhir dari pelaksanaan dalam menentukan layanan ABK diperkuat dengan Model kurikulum PPI, kurikulum yang dipersiapkan guru program PPI yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait. Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education Program (IEP) merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusif. Konsep pendidikan inklusif yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih. Thomas M. Stephens menyatakan bahwa IEP merupakan pengelolaan yang melayani kebutuhan unik peserta didik dan merupakan layanan yang disediakan dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan serta bagaimana efektivitas program tersebut akan ditentukan.

Bagan 3.3 Alur penemuan Model Layanan Pendidikan Inklusif

Model Layanan Pendidikan Inklusif

1. 
Kelas Terapy (Omisi)

Gambar 3.4 Kelas Terapy

ž Kelas terapy (Omisi), ABK belajar di kelas terapy dalam penanganan khusus. Peserta didik ditangani dengan kurikulum total membuat sendiri. Karena secara kemampuan ABK belum mampu di masukkan dalam kelas reguler baik secara sosialisasi dan akademik, ABK belum ada pengakuan di kelas reguler akan tetapi berada di kelas terapi dengan peanganan sesuai dengan kebutuhan dari hambatannya.

2. Kelas Pendampingan

Gambar 3.5.1 Kelas Pendampingan

ž 
Kelas pendampingan (Substitusi), ABK belajar dengan anak normal di kelas reguler dalam kelompok khusus yang disesuaikan dengan jenis ketunaannya. Namun pada waktu tertentu ABK di tarik ke ruang pusat sumber dan GPK menjelaskan ulang dari materi reguler yang belum ABK faham.

Gambar 3.5.2 Kelas Pendampingan

Kegiatan life skill dalam pembuatan keset untuk melatih konsentrasi dan motorik halus.

Gambar 3.5.3 Kelas Pendampingan

Kegiatan bina diri dalam melipat baju untuk melatih mandiri dan melatih kerapian dalam melaksanakan kegiatan.

3. Kelas Inklusif (Duplikasi/ Modifikasi)

Gambar 3.6 Kelas Inklusif

ž Kelas inklusif (duplikasi dan modifikasi), ABK Tidak banyak perubahan pada kurikulum di kelas inklusif ini, karena semua di sesuaikan dengan kondisi peserta didiknya. Mampu dalam pembelajaran peserta didik akan menggunakan kurikulum duplikasi, tapi jika ada sebagian pembelajaran tidak mampu maka akan di buatkan kurikulum modifikasi.

D. APLIKASI PRAKTIS DALAM PELAKSANAAN MODEL LAYANAN

Penerapan Model Layanan Pendidikan Inklusif ini di khususkan pada penanganan layanan untuk ABK pada pendidikan inklusif. Beberapa manfaat dari dari model layanan pendidikan inklusif ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Mampu mengubah suasana belajar yang menyenangkan disesuaikan dengan kebutuhan dan hambatan ABK.

2. Memotivasi ABK untuk percaya diri terhadap pembelajaran yang sudah di sesuikan kurikulum dan kelasnya.

Penerapan Model Layanan Pendidikan Inklusif dalam proses pembelajaran disimulasikan sebagai berikut :

1. Kegiatan Observasi dan Assesment

2. Penilaian hasil observasi dan assesment untuk memilihkan layanan ABK.

3. Membagi ABK terhadap model layanannya. Program ini hanya akan dilakukan jika peserta didik kesulitan dalam pembelajaran dengan sistim pull out ke pusat sumber, terutama pada model layanan kelas pendampingan.

4. Materi pembelajaran di buatkan modulnya untuk mempermudah layanan.

5. Jadwal disingkronkan dengan jadwal reguler.

6. Guru menyiapkan seperangkat pembelajaran dengan disesuaikan dari masing-masing layanan yang sudah di tuang dalam Program Pembelajaran Individual (PPI).

7. Guru mempersiapkan penilaian dengan matang.

E. DATA HASIL APLIKASI PRAKTIS MODEL LAYANAN

Data hasil aplikasi praktis model layanan pendidikan inklusif ini di peroleh dengan menggunakan dua instrument yaitu instrument observasi dan instrument assesment. Data observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi ABK berada pada jenis hambatan apa, yang dimulai dari siswa, guru, orang tua. Setelah itu kita lanjutkan dalam penanganan dan melaksanakan instrumen assesment. Dalam assesment ini GPK bisa menentukan jenis layanan apa yang pas bagi ABK.

F. ANALISIS HASIL APLIKASI PRAKTIS MODEL LAYANAN

Data yang kita siapkan membuktikan bahwa penerapan model layanan pada pendidikan inklusif dalam pengajaran ABK lebih efektif dan terarah. Disamping itu Guru bisa lebih fokus dalam menjadwalkan ABK kapan menyatu dengan temannya di reguler dan kapan menggunakan waktunya untuk pull out menuju model layanan yang sudah disiapkan.

G. DISEMINASI

Desiminasi diselenggarakan pada kegiatan Musyawarah Guru GPK dan musyawarah Guru reguler di sekolah. Desiminasi ini dilaksnakan bersamaan dengan pertemuan wali santri dalam penandatanganan PPI yang dilaksanakan pada hari Minggu, 16 Oktober 2016 saat acara Majlas di sekolah. Hasil inovasi model layanan pendidikan inklusif ini dapat ditindaklanjuti, diadopsi, diadaptasi atau dimodifikasi dengan beberapa ketentuan sebagai berikut :

1. Dasar Kurikulum tetap mengikuti dari kurikulum reguler.

2. Kurikulum akan di modifikasi ketika ABK memiliki kesulitan dalam mengikuti pembelajaran.

3. Sebelum ditentukan jenis model layanannya, dimulai dengan observasi dan assesment terlebih dahulu.

4. Konten materi disesuaikan dengan model layanan baik secara kelas, dan kurikulumnya.

5. Suasana pembelajaran yang menyenangkan, santai merupakan landasan utama yang harus tercipta dalam menumbuhkan motivasi dan percaya diri ABK dalam pembelajaran.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) sering mengalami banyak kendala dalam pelaksanaannya baik di sekolah maupun di dalam kelas. Hal ini disebabkan, belum pahamnya guru reguler dalam menangani ABK, GPK yang perlu belajar banyak dalam menangani Abk, mengingat GPK belum ada yang berlatar belakang spikolog atau PLB, kesulitannya ABK mengikuti kelas reguler dikarenakan belum pahamnya materi pembelajaran di kelas reguler sehingga mempengaruhi percaya diri ABK.

Strategi penanganan ABK dengan menciptakan Model Layanan Pendidikan Inklusif yang disesuaikan dengan kebutuhan ABK dan kemampuannya. Kurikulum yang dirancang dari masing model kelas pada masing-masing layanan yang berguna sebagai pedoman ketercapaian guru terhadap tujuan yang telah ditentukan lewat proses belajar mengajar. Adapun jenis kurikulum yang digunakan adalah kurikulum tersendiri sesuai kebutuhan ABK (Omisi, Substitusi, Modifikasi dan Duplikasi)yang harus disesuaikan pada program pembelajaran, dikarenakan pada anak berkebutuhan khusus memiliki hambatan yang cukup variatif.

Dalam penerapan Model Layanan Pendidikan Inklusif telah mampu meningkatkan layanan semakin baik. Proses pengembangan kurikulum yang di sesaikan kelas dan model layanannya, sangatlah berguna membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dan mengatasi hambatan belajar yang dialami siswa semaksimal mungkin dalam latarinklusi.Pembelajaran inklusif menekankan pada siswa, agar memiliki kesempatan yang sama dengan siswa non inklusif.

B. Saran

Karya model layanan pendidikan inklusif ini di rancang untuk mengefektifkan pelaksanaan dalam pelayanan siwa ABK yang disesuaikan dengan kelas dan kurukulum yang sesuai dengan kebutuhan dan akademiknya. Dengan harapan penanganan ABK semakin bisa fokus dan pelan tapi pasti untuk mengefektifkan pembelajaran Life skill lebih fokus lagi.

Guru yang mengajarkan siswa pada sekolah inklusif, haruslah guru yang memiliki keterampilan komunikasi dengan siswa nya. Hal lain yang perlu diperhatikan oleh seorang guru yang kelak mengajar di sekolah inklusif adalah guru yang kreatif dalam mengembangkan materi dari kurikulum reguler tersebut, khususnya untuk anak yang memiliki kebutuhan khusus.

Model layanan ini sebaiknya juga dapat diterapkan di sekolah umum lainnya. Dalam pengelolaan kurikulum untuk siswa yang berkebutuhan khusus, dikelola dengan lebih baik. Misalnya pemerintah yang fokus terhadap dunia pendidikan, membuat petunjuk atau berupa soal yang dikhususkan untuk siswa yang berkebutuhan khusus guna membantuk para guru pembimbing, oleh karenanya hasil karya inovasi model layanan ini akan membawa manfaat lebih luas yang nantinya akan mampu menuntaskan permasalahan penanganan dalam melayani ABK untuk mencapai tujuan nasional pendidikan di indonesia.

PENDIDIKAN INKLUSI

PENDIDIKAN INKLUSI

Oleh:

Olifia Rombot, S.Sos., M.Pd.

A.Latar Belakang Masalah

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. [1]

Pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga  berhak mendapatkan pendidikan”; Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (2) yang menegaskan “setiap warga ank a wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Undang-undang inilah yang menjadi bukti kuat hadirnya pendidikan inklusi ditengah masyarah.

Pada pendidikan dasar, kehadiran pendidikan inklusi perlu mendapat perhatian lebih. Pendidikan inklusif sebagai layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus (ABK) belajar  bersama anak normal (non-ABK) usia sebayanya di kelas ank ar/biasa yang terdekat dengan tempat tinggalnya.  Menerima ABK di Sekolah Dasar terdekat merupakan mimpi yang indah yang dirasakan orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus.

Sayangnya, SD Inklusi yang sudah “terlanjur” menerima tidak langsung dengan mudahnya menangani anak-anak yang sekolah dengan kebutuhan khusus itu. Kurikulum harus dapat disesuaikan dengan kelas yang heterogen dengan karakteristik ABK dan regular. Guru belum siap untuk menangani anak-anak dikelasnya dengan karakteristik yang berbeda. Akhirnya, guru-guru yang berhadapan langsung dengan ABK di kelas mengeluh dan sulit untuk mengajar satu metode yang sama dan dengan perlakuakuan yang sama sehingga tujuan pembelajaran tidak tercapai seperti yang diharapkan. Pengembangan kurikulum dapat dilakukan sebagai upaya menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan tujuan pembelajaran dapat tercapai dalam pendidikan inklusi.

Pendidikan inklusi di SD belum beriiringan dengan visi pendidikan belum berdasarkan inklusi ethos yang mengedepankan keragaman dan kesamaan hak dalam memperoleh pedidikan. Kurikulum dan metode pengajaran yang kaku dan sulit diakses oleh ABK masih ditemukan pada kelas inklusi. Pengintergrasian kurikulum belum dapat dilakukan oleh guru Karena kemampuan guru yang terbatas.  Guru-guru belum mendapatkan training yang praktikal dan kebanyakan yang diberikan sifatnya hanya sebatas sosialisasi saja. Wali kelas dan atau guru bidang studi yang kedapatan dikelasnya ada ABK masih menunjukkan sikap “terpaksa” dalam mendampingi ABK memahami materi.

[1] Permendiknas No. 70 tahun 2009, pasal 1

B.Isu-Isu Kritis Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar

Saat ini, pada pendidikan anak sekolah dasar makin banyak kita temui anak dengan kebutuhan khusus (ABK).  Kelapa SD daerah Palmerah yang ditunjuk sebagai sekolah inklusi oleh gugus dan pengawas sekolah mengatakan semakin banyak ABK yang dibawa orang ke SD ini. Dari tahun ketahun meningkat 10% jumlahnya.[1] Di daerah Tangerang Selatan ada juga SD yang sudah mengobservasi angka ABK sejak tahun 2009 dan sudah dapat dideteksi pada Pendidikan Usia Dini (PAUD).[2] Sekolah reguler dengan orientasi inklusif adalah lembaga yang paling efektif  untuk mengatasi diskriminasi, menciptakan komunitas ramah, membangun suatu masyarakan inklusi untuk mencapai tunjuan pendidikan nasional. [3]

Berdasarkan difinisi dan turunan dari UU tentang pendidikan Inklusi anak yang tergolong ABK adalah mereka dengan kesulitan belajar, anak lambat belajar, anak dengan ganguan autis, anak dengan gangguan intelektual, anak dengan gangguan fisik dan motorik, anak dengan gangguan emosi dan perilaku, anak berkelainan majemuk dan anak berbakat. [4] Pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah harus MENERIMA/mengakomodasi semua anak, tanpa kecuali ada perbedaaan secara fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi lain, termasuk anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa, minoritas dan kelompok anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud dengan one school for all”.

Indonesia menuju pendidikan inklusi secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk difabel. Setiap ABK berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). ABK memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya.

Sejak tahun 2001, pemerintah mulai uji coba perintisan sekolah inklusi seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah didaerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Jogyakarta dengan 35 sekolah. Pada sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintis itu memang diuntukkan anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang belum ada informasi yang berarti dari sekolah-sekolah tersebut.

Delapan sekolah di Kecamatan Tanah Grogot, Kabupaten Paser telah menerapkan kelas inklusi untuk anak berkebutuhan khusus (ABK), yang telah berjalan selama dua tahun belakangan ini. Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Tanah Grogot Rusnawati saat ditemui dikantornya menjelaskan kedelapan sekolah dasar (SD) tersebut diantaranyanya adalah SDN 014 , SDN 08, SDN 020, SDN 07, SDN 019, SDN 05, SDN 026, SDN 024 Tanah Grogot.[5] Namun disanyangkan pada tahun ajaran 2016/2017 SDN yang disebutkan menolak menerima ABK dengan alas an tidak adanya guru  pembimbing khusus / guru kelas yang memiliki kompetensi untuk menangani ABK di sekolah-sekolah tersebut.

Di Kabupaten Bantul dari total 374 SD, baru 8 SD yang sudah menerapkan pendidikan secara inklusif. Mereka memberikan kesempatan bagi penderita cacat atau anak berkebutuhan khusus untuk mengeyam pendidikan di sekolahnya, sepanjang IQ-nya mampu mengi kuti kegiatan akademik. [6]Menurut Ketua Paguyuban Penyandang Cacat Indonesia Cabang Bantul, Jayusman, jumlah penderita cacat di Bantul mencapai 9.704 orang yang terdiri dari tunanetra, tunadaksa, tunarungu, tunawicara, dan tunagrahita. Ia berharap penderita cacat bisa mengakses ke pendidikan formal. Masalahnya adalah sarana dan prasana belum menunjang menjadi isu utama.

Di sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD  Muhamadiyah.[7]Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah teman sekelas yang sedang belajar.

Di Indonesia telah dilakukan Uji coba dibeberapa daerah sejak tahun 2001, secara formal pendidikan inklusi dideklarasikan di Bandung tahun 2004 dengan beberapa sekolah reguler yang mempersiapkan diri untuk implementasi pendidikan inklusi. Awal tahun 2006 ini tidak ada tanda-tanda untuk itu, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul kepada publik, isu ini tenggelam ketika isu menarik lainnya seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan lain-lain.

Pentingnya pendidikan inklusi terus menerus dikembangkan karena memiliki kelebihan dan manfaat. Menurut Staub dan Peck (1994/1995) ada lima manfaat atau kelebihan program inklusi yaitu:

Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non ABK di sekolah menengah, hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat sering berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus.Anak non ABK menjadi semakin toleran pada orang lain setelah memahami kebutuhan individu teman ABK.Banyak anak non ABK yang mengakui peningkatan selfesteem sebagai akibat pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka di kelas dan di sekolah.Anak non ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etikaAnak non ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa mereka merasa bahagia bersahabat dengan ABK

Dengan demikian orang tua murid yang tidak memiliki anak dengan kebutuhan khusus tidak perlu kuatir bahwa pendidikan inklusi dapat merugikan pendidikan anaknya justru malah akan menguntungkan.

[1] Hasil wawancara singkat dengan Kepala SD di bilangan Jakarta yang ditunjuk sebagai SD Inklusi. Nama dan Sekolah dirahasiakan untuk kepentingan sekolah.

[2] TK & SD Inklusif “Gemilang” di daerah Ciputat, Tangerang Selatan. Penulis pernah terlibat sebagai guru, pembuat dan mengembangkan kurikulum pendidikan inklusi sejak tahun 2009

[3] Jurnal Pendidikan Inklusi https://ml.scribd.com/doc/141223454

[4] http://file.upi.edu/Direktori/FIP/ /195412071981121

[5]http://radarkaltim.prokal.co/read/news/3011-delapan-sekolah-terapkan-kelas-inklusi-abk.html

[6]http://edukasi.kompas.com/read/2009/10/21/17303324/baru.8.sd.terapkan.pendidikan.inklusif

[7] http://sekolah-mandiri.sch.id/node/18

C.Kedala – Kendala Implementasi Pendidikan inklusi

Ada beberapa kendala yang ditemukan dalam mengimplementasikan pendidikan inklusi. Kendala-kendala itu misalnya minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.

Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.

Sekolah inklusi yang berhubungan langsung de­ngan Angka Kredit sebagai bahan untuk kenaikan pang­kat. Disisi lain, GPK disam­ping bertugas di Sekolah Luar Biasa (SLB) sebagai sekolah induknya, mereka juga harus datang ke sekolah inklusi yang menjadi tang­gung jawabnya. Tidak ja­rang, jarak yang ditempuh tidaklah dekat, artinya tidak bisa hanya dengan berjalan kaki. Berkaitan dengan hal tersebut tidak dipungkiri mereka harus me­nge luarkan biaya perjalanan, hal ini diharapkan menjadi per­hatian, khususnya dari pe­mangku tugas yang diberi wewenang dalam penye­leng­garaan sekolah inklusi.

Hal lain yang juga mesti ja­di perhatian  bagi penye­leng­­gara sekolah inklusi ada­lah, penerimaan dan pe­ngakuan warga sekolah ter­ha­dap keberadaan Guru Pem­bimbing Khusus (GPK) di sekolah inklusi. Ke­ha­diran mereka dinan­ti­kan dan di­butuhkan oleh warga seko­lah khususnya guru kelas dan guru mata pelajaran. Mereka dalam bertugas bukan ber­diri sen­diri, namun saling ber­ko­laborasi dalam me­nangani Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Tidak jarang terjadi mi­sun­derstanding antara pihak sekolah inklusi mengenai peran dari Guru Pem­bim­bing Khusus (GPK) di seko­lahnya. Tanggung jawab ter­hadap anak berkebutuhan khusus dikelasnya tetap dipegang oleh guru kelas, bukan diserahkan sepe­nuh­nya kepada GPK. Melain­kan antara guru kelas dan GPK saling bekerjasama dalam melayani anak berke­butuhan khusus, mulai dari mengidentifikasi anak, me­nga­sesmen anak, sampai kepada menyusun Program Pembelajaran Individual (PPI) bagi anak tersebut. Program Pembelajaran In­di­vidual (PPI) ini terkadang ju­ga tidak semua anak ber­ke­butuhan khusus mem­bu­tuhkannya. Disinilah GPK berperan yaitu sebagai tem­pat berbagi pengalaman bagi guru kelas dan guru mata pelajaran, karena tidak semua guru di sekolah regu­ler paham siapa dan bagai­mana menghadapi  Anak  Berkebutuhan Khusus serta apa pembelajaran yang di­bu­tuhkan mereka sesuai dengan kekhususan anak tersebut.

Rendahnya peran beru­pa kinerja guru inklusif, dalam hal ini GPK,  guru kelas dan guru mata pela­jaran, diperkuat oleh te­muan penelitian yang dila­kukan oleh Tim Helen Kel­ler Internasional (2011)  di beberapa provinsi, salah satunya Daerah Khusus Ibu­kota  Jakarta. Menjelaskan bahwa guru dalam mem­peroleh pengetahuan dan keterampilan  hanya mela­lui program sosialisasi. Da­lam konteks birokrasi pro­gram sosialisasi lebih ditu­jukan untuk persamaan per­sepsi dalam pelaksanaan  suatu program daripada peningkatan kompetensi. Artinya guru belum men­dapat bekal kompetensi yang memadai dalam me­nga­jar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) pada seko­lah penyelenggara inklusi. Sekolah inklusi adalah seko­lah yang memberikan ke­sem­patan kepada Anak Ber­kebutuhan Khusus untuk belajar bersama-sama de­ngan anak pada umumnya di kelas yang sama.

Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi perlu didukung oleh tenaga pen­didik keahlian khusus da­lam proses pembelajaran dan pembinaan anak-anak berkebutuhan khusus secara umum. Salah satu tenaga khusus yang diperlukan adalah Guru Pembimbing Khusus (GPK). Dalam Per­men­diknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pedoman Im­ple­mentasi Pendidikan In­klusi, ada 8 (delapan) kom­ponen yang harus men­da­pat­kan perhatian dari pe­mang­ku kepentingan (stake­holder) sekolah inklusif, yaitu : (1) peserta didik, (2)kurikulum, (3) tenaga pendidik, (4) kegiatan pem­be­laran, (5) penilaian dan sertifikasi, (6) manajemen sekolah, (7) penghargaan dan saksi, (8) pember­dayaan masyarakat. Tenaga Pendidik yang terdapat da­lam point ke tiga adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas utama men­didik, mengajar, membim­bing, mengarahkan, me­la­tih, menilai, dan menge­valuasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusi.

Tenaga pendidik meli­pu­ti: guru kelas, guru mata pela­jaran, (Pendidikan Agam, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan Guru Pembimbing Khusus (GPK). Guru Pembimbing Khusus adalah guru yang bertugas mendampingi anak berke­bu­tu­han khusus dalam pro­ses belajar mengajar di kelas reguler yang berkua­lifikasi Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau yang per­nah mendapatkan pelatihan ten­tang penyelenggaraan seko­lah inklusif. Guru Pem­bimbing Khusus adalah guru yang memiliki kuali­fikasi /latar belakang pendi­dikan luar biasa yang bertu­gas  menjembatani kesulitan Anak Berkesulitan Belajar (ABK) dan guru kelas/ma­pel dalam proses pem­bela­jaran serta melakukan tugas khusus yang tidak dilakukan oleh guru pada umumnya. Subagya (2011).

Dengan demikian, me­ngi­ngat pentingnya peran dan tugas dari Guru Pem­bimbing Khusus (GPK) dalam penyelenggaraan se­ko­lah inklusi, yang men­cakup segala permasalahan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah. Maka antara kewajiban dan hak mereka semestinyalah adanya ke­seimbangan. Sesuatu yang telah seimbang, alhasilnya akan dipetik sesuai dengan yang diharapkan. Dengan adanya anggaran tersendiri bagi Guru Pembimbing Khusus (GPK) sesuai kapa­sitasnya sebagai GPK, maka sekolah inklusi yang sebe­narnya akan terwujud, bu­kan sekedar pelabelan dan formalitas semata.[9]

[9]arianhaluan.com/mobile/detailberita/46562/guru-pembimbing-khusus-dalam-inklusi

 

DAFTAR PUSTAKA

Eggen dan Kauchak Don,.(2012). Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta: Indeks.

Berita Pendidikan Inklusi. Sumber website: http://radarkaltim.prokal.co/read/news/3011-delapan-sekolah-terapkan-kelas-inklusi-abk.html

Pribadi, A. (2009). Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat.

Pengertian Pembelajaran di Sekolah. Sumber website: http://www.sekolahdasar.net/2010/12/.html#ixzz48zqqcISG(diakses 19 Mei 2016)

Jurnal Pendidikan Inklusi. Sumber website: arianhaluan.com/mobile/detailberita/46562/guru-pembimbing-khusus-dalam-inklusi

Jurnal Pendidikan Inklusi. Sumber website: https://ml.scribd.com/doc/141223454(Diakses 12 Mei 2016)

Koran Kompas.Com. Sumber website: http://edukasi.kompas.com/read/2009/10/21/17303324/baru.8.sd.terapkan.pendidikan.inklusif

Pendididkan Inklusi. Sumber Website: http://file.upi.edu/Direktori/ /195412071981121- (diakses 15 Mei 2016)

Undang-Undang  Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat (1)

Peraturan Kementerian Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009, pasal 1

Published at : 10 April 2017

.