Model Layanan Pendidikan Inklusif
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan inklusif dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi isu yang sangat menarik dalam sistim pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan pendidikan inklusif memberikan perhatian pada pengaturan para peserta didik yang memiliki kelainan atau kebutuhan khusus untuk bisa mendapatkan pendidikan pada sekolah-sekolah umum atau reguler sebagai ganti kelas pendidikan khusus part-time, pendidikan khusus full-time, atau sekolah luar biasa (sergegasi).
Oleh sebab itu, pendidikan inklusif adalah Pendidikan yang memberikan kesempatan kepada ABK mengikuti pendidikan dalam sistem persekolahan reguler dengan memperhatikan dan menyesuaikan kebutuhan individual anak. Sistem persekolahan reguler disesuaikan dengan kebutuhan individual anak.Serta sekolah yang menampung semua murid (education for all). Sekolah ini menyediakan program layanan pendidikan yang layak, menantang tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid untuk menggali potensi yang ada.
Sekolah inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dgn kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga pendidikan dan kependidikan, systempembelajaran sampai pada sistem penilaiannya.
Dikarenakan Pendidikan Inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil 1994). Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback, 1980)
Kenyataannya, Pendidikan Inklusif di Indonesia Pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikut-sertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik. Belum menyeluruhnya pemahaman tentang inklusif ini yang menjadikan tidak semua sekolah bisa melaksanakan dan melayani pendidikan inklusif dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan beberapa permasalahan seperti tersebut diatas masih kita jumpai terjadi di sekolah-sekolah yang ada anak berkebutuhannya. Sekolah yang masih melayani ABK dengan menyamakan dengan reguler yang menjadikan ABK mogok dan tidak tertanganinya sesuai dengan kemampuanya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya inovasi dalam menangani ABK sehingga permasalahan-permasalahan tersebut dapat diselesaikan. Selain itu inovasi model layanan juga harus diciptakan dengan harapan peserta didik bisa tertangani sesuai dengan kebutuhannya. Model layanan pendidikan yaitu; pertama disebut sebagai kelas terapy, kelas ini menggunakan kurikulum Omisi, kedua kelas Pendampingan menggunakan kurikulum substitusi dan ketiga kelas inklusi menggunakan kurikulum duplikasi/ modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhannya.
Model layanan akan lebih memudahkan guru dalam melayani peserta didik dan peserta didik juga mudah dalam mendapatkan pembelajaran di model layanan yang dibuat. Model layanan yang menyesuaikan kurikulumnya ini mempermudah kita dalam menjalankan Pendidikan Inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Maka dari itu, dengan model layanan ini diharapkan akan mampu menciptakan suasana pembelajaran yang lebih kondusif dan sesuai kebutuhan. Sehingga peserta didik mampu mengikuti pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang disesuaikan dengan program kelas dan kemampuannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, masalah pada inovasi “Model Layanan Pendidikan Inklusif” ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Bagaimana “Model Layanan Pendidikan Inklusif” mampu meningkatkan pelayanan terhadap peserta didik ABK yang disesuaikan dengan kebutuhannya ?
C. Tujuan
“Model Layanan Pendidikan Inklusif” Dalam inovasi model layanan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan peserta didik dalam pendidikan inklusif.
D. Manfaat
Penerapan layanan pada pendidikan inklusif “Model Layanan Pendidikan Inklusif” diharapkan dapat bermanfaat bagi :
a. Sekolah
Inovasi layanan “Model Layanan Pendidikan Inklusif” ini akan membantu memberikan solusi dari berbagai kesulitan yang di temukan dalam menangani ABK. Sehingga model layanan ini lebih bisa kondusif, model layanan yang bisa di pilih GPK.
b. Guru Pembimbing Khusus (GPK)
Inovasi layanan “Model Layanan Pendidikan Inklusif” ini akan membantu memberikan solusi dari berbagai kesulitan yang di temukan dalam menangani ABK. Sehingga model layanan ini lebih bisa kondusif, partisipatif, menarik dan menyenangkan bagi siswa sesuai dengan kemampuannya.
c. Siswa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
· Siswa Reguler
Menumbuhkan rasa syukur atas karunia Tuhan, ada jiwa menerima, menghormati, dan menolong terhadap teman yang kurang beruntung.
· Siswa ABK
Menumbuhkan motivasi, percaya diri, dan semangat belajar lebih tinggi
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep/ Teori yang melandasi Karya Tulis Ilmiyah
Karya tulis ini dilandasi oleh tiga konsep landasan, yaitu landasan religi, landasan filosofi, dan landasan yuridis.
Pertama adalah Landasan religi : manusia diciptakan sebagai makhluk
Individu sekaligus sosial.
Kedua adalah Landasan filosofis : pengakuan kebinekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik.
Ketiga adalah Landasan yuridis : landasan pada segi undang-undang dalam pengembangan dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif. Adapun perundang-undangan yang menjadi landasan dalam pengembangan dan implementasi kurikulum dalam program inklusif, antara lain sebagai berikut :
1. UUD ’45 Pasal 31 tentang setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan.
2. UU Sisdiknas No. 20(2003) Pasal 5 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya :
a) Pasal 5 ayat (1) : setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
b) Pasal 5 ayat (2) : warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
c) Pasal 5 ayat (3) : warganegara di daerah terpencil atau terbelakang,
serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
d) Pasal 5 ayat (4) : warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
e) Pasal 6 ayat (1) setiap warganegara yang berusia tujuh sampai
dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
f) Pasal 12 ayat (1.b) : setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
g) Pasal 36 ayat (1) : pengembangan kurikulum dilakukan dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
h) Pasal 36 ayat (2) : kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, serta peserta didik.
i) Penjelasan Pasal 15 : Pendidikan khusus merupakan
j) penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusiff atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
3. Kesepakatan UNESCO di Salamanca tentang inklusif education (1994)
4. Deklarasi Bandung “Menuju Inklusi” (2004), Permendiknas RI No. 70 (2009),
5. Pergub Jatim No.6 (2011)tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif provinsi jawa timur
Sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil 1994)
Gambar 2.1 Adapted: Sapon-Shevin : O’Neil 1994
Dari sini jelas bahwa dalam melaksanakan pendidikan Inklusif di butuhkan penerapan yang pas sehingga terbangun kesadaran dan konsensus hilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif. Mudah untuk segera mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran. Serta melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak.
Gambar 2.2 Film Laskar Pelangi
B. Kurikulum
Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didikberkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya, kurikulum reguler perludilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Dasar Pengembangan Kurikulum untuk melakukan modifikasi danpengembangan kurikulum dalam program inklusif harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun perundang-undangan yang menjadi landasan dalam pengembangan dan implementasi kurikulum dalam program inklusif. Terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, khususnya:
a) Pasal 1 ayat (13) : Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
b) Pasal 1 ayat (15) : Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
c) Pasal 17 ayat (1) : Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTS/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/MAK/ atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
d) Pasal 17 ayat (2) : sekolah dan komite sekolah atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, dibawah supervisi Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK dan Departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) perlu memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Hal ini dikarenakan mengingat mereka memiliki hambatan internal antara lain fisik, kognitif dan sosial emosional. Pendidikan bagi anak tersebut dapat di lakukan baik dalam system segregatif di sekolah luar biasa (SLB) maupun system inklusif pada sekolah umum atau regular yang menyelenggarakan pendidikan inklusif.
Kategori ABK disini adalah peserta didik yang mengalami hambatan visual impairments, hearing impairment, mental retardation, physical and health disabilities, communication disorders, slow learner, learning disabilities, gifted and talented, ADHD, autis dan multiply handicapped.
Dalam pembelajaran inklusif, model kurikulum bagi ABK dapat dikelompokan menjadi empat, yakni:
a. Duplikasi Kurikulum
Yakni ABK menggunakan kurikulum yang tingkat kesulitannya sama dengan siswa rata-rata atau regular. Model kurikulum ini cocok untuk peserta didik tunanetra, tunarungu wicara, tunadaksa, dan tunalaras. Alasannya peserta didik tersebut tidak mengalami hambatan intelegensi. Namun demikian perlu memodifikasi proses, yakni peserta didik tunanetra menggunkan huruf Braille, dan tunarungu wicara menggunakan bahasa isyarat dalam penyampaiannya.
b. Modifikasi Kurikulum
Yakni kurikulum siswa rata-rata atau regular disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan atau potensi ABK. Modifikasi kurikulum ke bawah diberikan kepada peserta didik tunagrahita dan modifikasi kurikulum ke atas (eskalasi) untuk peserta didik gifted and talented.
c. Substitusi Kurikulum
Yakni beberapa bagian kurikulum anak rata-rata ditiadakan dan diganti dengan yang kurang lebih setara. Model kurikulum ini untuk ABK dengan melihat situasi dan kondisinya.
d. Omisi Kurikulum
Yaitu bagian dari kurikulum umum untuk mata pelajaran tertentu ditiadakan total, karena tidak memungkinkan bagi ABK untuk dapat berfikir setara dengan anak rata-rata.
BAB III
MODEL LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF
A. IDE DASAR
Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki model pelayanan dalam pendidikan inklusif, namun dalam pelaksanaanya di serahkan kepada sekolah masing-masing dalam menjalankan pendidikan inklusif. Pemahaman yang masih belum bisa menyeluruh dan melihat permasalahan yang ada di sekolah masing-masing, akhirnya ada tiga model layanan. Pertama yaitu model kelas terapy (Omisi). Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam kurikulum umum untuk mata pelajaran tertentu ditiadakan total, karena tidak memungkinkan bagi ABK untuk dapat berfikir setara dengan anak rata-rata. Kedua yaitu model kelas pendampingan (supstitusi). Model kelas pendampingan ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam bagian kurikulum anak rata-rata ditiadakan dan diganti dengan yang kurang lebih setara. Model kurikulum ini untuk ABK dengan melihat situasi dan kondisinya. Ketiga yaitu model kelas inklusif (duplikasi dan modifikasi). Model kelas ini menyertakan peserta didik dalam kurikulum peserta didik di kelas reguler. Tidak banyak perubahan pada kurikulum di kelas inklusif ini, karena semua di sesuaikan dengan kondisi peserta didiknya. Mampu dalam pembelajaran peserta didik akan menggunakan kurikulum duplikasi, tapi jika ada sebagian pembelajaran tidak mampu maka akan di buatkan kurikulum modifikasi.
Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie Hardin.Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif yang mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus. Model ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal.rinitarosalinda.blogspot.co.id
B. RANCANGAN MODEL LAYANAN
Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti:
ž Kelas terapy (Omisi), ABK belajar di kelas terapy dalam penanganan khusus. Peserta didik ditangani dengan kurikulum total membuat sendiri. Karena secara kemampuan ABK belum mampu di masukkan dalam kelas reguler baik secara sosialisasi dan akademik, ABK belum ada pengakuan di kelas reguler akan tetapi berada di kelas terapi dengan peanganan sesuai dengan kebutuhan dari hambatannya.
ž Kelas pendampingan (Substitusi), ABK belajar dengan anak normal di kelas reguler dalam kelompok khusus yang disesuaikan dengan jenis ketunaannya. Namun pada waktu tertentu ABK di tarik ke ruang pusat sumber dan GPK menjelaskan ulang dari materi reguler yang belum ABK faham.
ž Kelas inklusif (duplikasi dan modifikasi), ABK Tidak banyak perubahan pada kurikulum di kelas inklusif ini, karena semua di sesuaikan dengan kondisi peserta didiknya. Mampu dalam pembelajaran peserta didik akan menggunakan kurikulum duplikasi, tapi jika ada sebagian pembelajaran tidak mampu maka akan di buatkan kurikulum modifikasi.
Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkebutuhan khusus berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (kelas inklusif). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkebutuhan khusus dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkebutuhan khusus yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
Model kurikulum PPI yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program, PPI yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education Program (IEP) merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusif. Konsep pendidikan inklusif yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih. Thomas M. Stephens menyatakan bahwa IEP merupakan pengelolaan yang melayani kebutuhan unik peserta didik dan merupakan layanan yang disediakan dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan serta bagaimana efektivitas program tersebut akan ditentukan.
Tujuan akhir kegiatan pembelajaran ABK
Bagan 3.2 Tujuan akhir kegiatan pembelajaran ABK
C. PROSES PENEMUAN/ PEMBAHARUAN
Penemuan model layanan ini diawali dengan adanya permasalahan dalam pembelajaran, bagaimana GPK mengobservasi dan assesment terhadap ABK yang selanjutnya siswa dipilihkan kelas dan kurikulum apa yang pas bagi ABK tanpa meninggalkan kelasnya. Dalam artian pengkondisian ini hanya menyesuaikan program model layanannya bagi ABK yang didapati memiliki dan harus ditangani dari ke tiga model layanan yang sudah ada. Disadari oleh permasalahan di dalam pembelajaran, GPK melakukan kajian literature dan referensi tentang pembelajaran yang menyenangkan, menarik, dan memberi rasa nyaman.
Kemudian model layanan ini diperoleh pada saat melakukan evaluasi terhadap layanan ABK yang tidak nyaman baik untuk ABK maupun untuk GPKnya. Dari evaluasi yang selalu dilakukan oleh GPK dan sekolah, sehingga bisa menentukan model layanan yang harus dibuat untuk memudahkan dalam pengajaran.
Proses penemuan selanjutnya memasukkan model layanan di sinergikan dengan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan hambatan peserta didik. Dengan model layanan yang sudah di sesuaikan diharapkan ABK bisa terlayani dengan baik. GPK bisa merancang pembelajaran lebih terinci lagi sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan hambatannya.
Akhir dari pelaksanaan dalam menentukan layanan ABK diperkuat dengan Model kurikulum PPI, kurikulum yang dipersiapkan guru program PPI yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait. Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education Program (IEP) merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusif. Konsep pendidikan inklusif yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih. Thomas M. Stephens menyatakan bahwa IEP merupakan pengelolaan yang melayani kebutuhan unik peserta didik dan merupakan layanan yang disediakan dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan serta bagaimana efektivitas program tersebut akan ditentukan.
Bagan 3.3 Alur penemuan Model Layanan Pendidikan Inklusif
Model Layanan Pendidikan Inklusif
1.
Kelas Terapy (Omisi)
Gambar 3.4 Kelas Terapy
ž Kelas terapy (Omisi), ABK belajar di kelas terapy dalam penanganan khusus. Peserta didik ditangani dengan kurikulum total membuat sendiri. Karena secara kemampuan ABK belum mampu di masukkan dalam kelas reguler baik secara sosialisasi dan akademik, ABK belum ada pengakuan di kelas reguler akan tetapi berada di kelas terapi dengan peanganan sesuai dengan kebutuhan dari hambatannya.
2. Kelas Pendampingan
Gambar 3.5.1 Kelas Pendampingan
ž
Kelas pendampingan (Substitusi), ABK belajar dengan anak normal di kelas reguler dalam kelompok khusus yang disesuaikan dengan jenis ketunaannya. Namun pada waktu tertentu ABK di tarik ke ruang pusat sumber dan GPK menjelaskan ulang dari materi reguler yang belum ABK faham.
Gambar 3.5.2 Kelas Pendampingan
Kegiatan life skill dalam pembuatan keset untuk melatih konsentrasi dan motorik halus.
Gambar 3.5.3 Kelas Pendampingan
Kegiatan bina diri dalam melipat baju untuk melatih mandiri dan melatih kerapian dalam melaksanakan kegiatan.
3. Kelas Inklusif (Duplikasi/ Modifikasi)
Gambar 3.6 Kelas Inklusif
ž Kelas inklusif (duplikasi dan modifikasi), ABK Tidak banyak perubahan pada kurikulum di kelas inklusif ini, karena semua di sesuaikan dengan kondisi peserta didiknya. Mampu dalam pembelajaran peserta didik akan menggunakan kurikulum duplikasi, tapi jika ada sebagian pembelajaran tidak mampu maka akan di buatkan kurikulum modifikasi.
D. APLIKASI PRAKTIS DALAM PELAKSANAAN MODEL LAYANAN
Penerapan Model Layanan Pendidikan Inklusif ini di khususkan pada penanganan layanan untuk ABK pada pendidikan inklusif. Beberapa manfaat dari dari model layanan pendidikan inklusif ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Mampu mengubah suasana belajar yang menyenangkan disesuaikan dengan kebutuhan dan hambatan ABK.
2. Memotivasi ABK untuk percaya diri terhadap pembelajaran yang sudah di sesuikan kurikulum dan kelasnya.
Penerapan Model Layanan Pendidikan Inklusif dalam proses pembelajaran disimulasikan sebagai berikut :
1. Kegiatan Observasi dan Assesment
2. Penilaian hasil observasi dan assesment untuk memilihkan layanan ABK.
3. Membagi ABK terhadap model layanannya. Program ini hanya akan dilakukan jika peserta didik kesulitan dalam pembelajaran dengan sistim pull out ke pusat sumber, terutama pada model layanan kelas pendampingan.
4. Materi pembelajaran di buatkan modulnya untuk mempermudah layanan.
5. Jadwal disingkronkan dengan jadwal reguler.
6. Guru menyiapkan seperangkat pembelajaran dengan disesuaikan dari masing-masing layanan yang sudah di tuang dalam Program Pembelajaran Individual (PPI).
7. Guru mempersiapkan penilaian dengan matang.
E. DATA HASIL APLIKASI PRAKTIS MODEL LAYANAN
Data hasil aplikasi praktis model layanan pendidikan inklusif ini di peroleh dengan menggunakan dua instrument yaitu instrument observasi dan instrument assesment. Data observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi ABK berada pada jenis hambatan apa, yang dimulai dari siswa, guru, orang tua. Setelah itu kita lanjutkan dalam penanganan dan melaksanakan instrumen assesment. Dalam assesment ini GPK bisa menentukan jenis layanan apa yang pas bagi ABK.
F. ANALISIS HASIL APLIKASI PRAKTIS MODEL LAYANAN
Data yang kita siapkan membuktikan bahwa penerapan model layanan pada pendidikan inklusif dalam pengajaran ABK lebih efektif dan terarah. Disamping itu Guru bisa lebih fokus dalam menjadwalkan ABK kapan menyatu dengan temannya di reguler dan kapan menggunakan waktunya untuk pull out menuju model layanan yang sudah disiapkan.
G. DISEMINASI
Desiminasi diselenggarakan pada kegiatan Musyawarah Guru GPK dan musyawarah Guru reguler di sekolah. Desiminasi ini dilaksnakan bersamaan dengan pertemuan wali santri dalam penandatanganan PPI yang dilaksanakan pada hari Minggu, 16 Oktober 2016 saat acara Majlas di sekolah. Hasil inovasi model layanan pendidikan inklusif ini dapat ditindaklanjuti, diadopsi, diadaptasi atau dimodifikasi dengan beberapa ketentuan sebagai berikut :
1. Dasar Kurikulum tetap mengikuti dari kurikulum reguler.
2. Kurikulum akan di modifikasi ketika ABK memiliki kesulitan dalam mengikuti pembelajaran.
3. Sebelum ditentukan jenis model layanannya, dimulai dengan observasi dan assesment terlebih dahulu.
4. Konten materi disesuaikan dengan model layanan baik secara kelas, dan kurikulumnya.
5. Suasana pembelajaran yang menyenangkan, santai merupakan landasan utama yang harus tercipta dalam menumbuhkan motivasi dan percaya diri ABK dalam pembelajaran.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) sering mengalami banyak kendala dalam pelaksanaannya baik di sekolah maupun di dalam kelas. Hal ini disebabkan, belum pahamnya guru reguler dalam menangani ABK, GPK yang perlu belajar banyak dalam menangani Abk, mengingat GPK belum ada yang berlatar belakang spikolog atau PLB, kesulitannya ABK mengikuti kelas reguler dikarenakan belum pahamnya materi pembelajaran di kelas reguler sehingga mempengaruhi percaya diri ABK.
Strategi penanganan ABK dengan menciptakan Model Layanan Pendidikan Inklusif yang disesuaikan dengan kebutuhan ABK dan kemampuannya. Kurikulum yang dirancang dari masing model kelas pada masing-masing layanan yang berguna sebagai pedoman ketercapaian guru terhadap tujuan yang telah ditentukan lewat proses belajar mengajar. Adapun jenis kurikulum yang digunakan adalah kurikulum tersendiri sesuai kebutuhan ABK (Omisi, Substitusi, Modifikasi dan Duplikasi)yang harus disesuaikan pada program pembelajaran, dikarenakan pada anak berkebutuhan khusus memiliki hambatan yang cukup variatif.
Dalam penerapan Model Layanan Pendidikan Inklusif telah mampu meningkatkan layanan semakin baik. Proses pengembangan kurikulum yang di sesaikan kelas dan model layanannya, sangatlah berguna membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dan mengatasi hambatan belajar yang dialami siswa semaksimal mungkin dalam latarinklusi.Pembelajaran inklusif menekankan pada siswa, agar memiliki kesempatan yang sama dengan siswa non inklusif.
B. Saran
Karya model layanan pendidikan inklusif ini di rancang untuk mengefektifkan pelaksanaan dalam pelayanan siwa ABK yang disesuaikan dengan kelas dan kurukulum yang sesuai dengan kebutuhan dan akademiknya. Dengan harapan penanganan ABK semakin bisa fokus dan pelan tapi pasti untuk mengefektifkan pembelajaran Life skill lebih fokus lagi.
Guru yang mengajarkan siswa pada sekolah inklusif, haruslah guru yang memiliki keterampilan komunikasi dengan siswa nya. Hal lain yang perlu diperhatikan oleh seorang guru yang kelak mengajar di sekolah inklusif adalah guru yang kreatif dalam mengembangkan materi dari kurikulum reguler tersebut, khususnya untuk anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Model layanan ini sebaiknya juga dapat diterapkan di sekolah umum lainnya. Dalam pengelolaan kurikulum untuk siswa yang berkebutuhan khusus, dikelola dengan lebih baik. Misalnya pemerintah yang fokus terhadap dunia pendidikan, membuat petunjuk atau berupa soal yang dikhususkan untuk siswa yang berkebutuhan khusus guna membantuk para guru pembimbing, oleh karenanya hasil karya inovasi model layanan ini akan membawa manfaat lebih luas yang nantinya akan mampu menuntaskan permasalahan penanganan dalam melayani ABK untuk mencapai tujuan nasional pendidikan di indonesia.