HIGIENE DAN SANITASI PADA PEDAGANG MAKANAN JAJANAN
TRADISIONAL DI LINGKUNGAN SEKOLAH DASAR DI KELURAHAN DEMANG LEBAR DAUN
PALEMBANG TAHUN 2009
Febria Agustina , Rindit Pambayun , Fatmalina Febry
Abstract
Food
is a basic requirement for human life. Food is very likely contaminated so that
it can cause a disease called food borned disease. Children often become
victims of disease. This is generally caused by not implemented sanitation and
hygiene practices are adequate.
This study is a descriptive research
design based on a cross-sectional approach. The population of research was 23
people, so that the sample is all part of the population. Univariat results of
this analysis will be presented in the form of a frequency distribution table.
Results of research based on the
characteristics of the respondent indicate there are 73.9% of respondents age
24-54 years, 52.2% of respondents diversiform sex male, 47.8% of respondents
have worked as traders traditional foods for 1-10 years, there were respondents
with the highest level education was of bachelor degree 4.3%, and respondents
with the lowest level education was no education that is not as much as 8.7%.
In addition, research also shows that there are 47.8% of respondents individual
hygiene are not good, 65.2% of respondents who do not have good sanitation in
terms of equipment, 30.4% of respondents in the present circumstances food
hygiene are not good, and 47, 8% of respondents who have the means higgler sanitation
are not good too.
Abstrak
Makanan merupakan kebutuhan
mendasar bagi hidup manusia. Makanan tersebut sangat mungkin sekali
terkontaminasi sehingga dapat menyebabkan suatu penyakit yang disebut penyakit
bawaan makanan. Anak-anak sering menjadi korban penyakit tersebut. Hal ini
umumnya disebabkan oleh belum diterapkannya praktik higiene dan sanitasi yang
memadai.
Penelitian
ini merupakan penelitian deskriptif yang didesain berdasarkan pendekatan cross sectional. Populasi berjumlah 23
orang, sehingga sampel merupakan seluruh bagian dari populasi. Hasil analisis
univariat ini akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
Hasil
penelitian berdasarkan karakteristik responden menunjukkan terdapat 73,9%
responden berusia 24-54 tahun, 52,2% responden berjenis kelamin laki-laki,
47,8% responden telah bekerja sebagai pedagang makanan jajanan tradisional
selama 1-10 tahun, terdapat responden dengan tingkat pendidikan tertinggi yaitu
tamat akademi sebanyak 4,3%, serta responden dengan pendidikan terendah yaitu
tidak sekolah sebanyak 8,7%. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan
terdapat 47,8% responden higiene perorangannya tidak baik, 65,2% responden
memiliki sanitasi yang tidak baik dari segi peralatannya, 30,4% responden
menyajikan makanan jajanan dalam keadaan sanitasi yang tidak baik, dan 47,8%
responden yang memiliki sarana penjaja yang sanitasinya tidak baik.
PENDAHULUAN
Makanan merupakan kebutuhan
mendasar bagi hidup manusia. Makanan yang dikonsumsi beragam jenis dengan
berbagai cara pengolahannya (Santoso, 1999). Makanan-makanan tersebut sangat
mungkin sekali menjadi penyebab terjadinya gangguan dalam tubuh kita sehingga
kita jatuh sakit. Salah satu cara untuk memelihara kesehatan adalah dengan
mengkonsumsi makanan yang aman, yaitu dengan memastikan bahwa makanan tersebut
dalam keadaan bersih dan terhindar dari wholesomeness
(penyakit). Banyak sekali hal yang dapat menyebabkan suatu makanan menjadi
tidak aman,
Salah satu di antaranya dikarenakan terkontaminasi (Thaheer, 2005).
Kontaminasi yang terjadi pada
makanan dan minuman dapat menyebabkan makanan tersebut dapat menjadi media bagi
suatu penyakit. Penyakit yang ditimbulkan oleh makanan yang terkontaminasi
disebut penyakit bawaan makanan (food-borned
diseases) (Susanna, 2003).
Penyakit
bawaan makanan merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang
paling banyak dan paling membebani yang pernah dijumpai di zaman modern ini.
Penyakit tersebut menimbulkan banyak korban dalam kehidupan manusia dan
menyebabkan sejumlah besar penderitaan, khususnya di
kalangan bayi, anak, lansia dan mereka yang kekebalan tubuhnya terganggu (WHO,
2006).
Badan Pusat Pengawasan Obat dan
Makanan mencatat bahwa selama tahun 2004 di Indonesia terjadi 82 kasus keracunan makanan yang menyebabkan
6.500 korban sakit dan 29 orang meninggal dunia. Sebanyak 31% kasus keracunan
itu disebabkan makanan yang berasal dari jasa boga dan buatan rumah tangga (Antara, 2004).
Anak-anak merupakan kelompok yang
berisiko tinggi tertular penyakit melalui makanan maupun minuman (Antara,
2004). Anak-anak sering menjadi korban penyakit bawaan makanan akibat konsumsi
makanan yang disiapkan di rumah sendiri atau di kantin sekolah atau yang dibeli
di penjaja kaki lima (WHO, 2006).
Frekuensi kejadian luar biasa
(KLB) keracunan makanan pada anak di sekolah meningkat pada tahun 2004. KLB
tertinggi terjadi pada anak sekolah dasar (SD) yaitu 19 kejadian dengan jumlah
korban sakit sebanyak 575 orang (Sekretariat
Jenderal Jejaring Intelijen Pangan, 2005).
Sejumlah survei terhadap kejadian
luar biasa (KLB) penyakit bawaan makanan yang berjangkit di seluruh dunia
memperlihatkan bahwa sebagian besar kasus penyakit bawaan makanan terjadi
akibat kesalahan penanganan pada saat penyiapan makanan tersebut baik di rumah,
jasa katering, kantin rumah sakit, sekolah atau di pangkalan militer atau pada
saat jamuan makan atau pesta (WHO, 2006).
Berdasarkan
Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
942/Menkes/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan
Jajanan, terdapat beberapa aspek yang diatur dalam penanganan makanan jajanan,
yaitu penjamah makanan, peralatan, air, bahan makanan, bahan tambahan makanan,
penyajian dan sarana penjaja. Beberapa aspek tersebut sangat mempengaruhi
kualitas makanan.
Banyak jajanan yang kurang
memenuhi syarat kesehatan sehingga justru mengancam kesehatan anak (Khomsan,
2003). Sebagian besar makanan jajanan anak sekolah merupakan makanan yang
diolah secara tradisional yang dijajakan oleh pedagang kaki lima.
Penelitian Djaja (2003) di 3 (tiga) jenis tempat pengelolaan makanan (TPM) menyimpulkan
bahwa pedagang kaki lima berisiko 3,5 kali lipat terhadap terjadinya
kontaminasi makanan dibandingkan dengan usaha jasaboga, restoran dan rumah
makan. Kontaminasi makanan pada pedagang kaki lima dapat terjadi karena
sanitasi dapur pengolahan makanan dan tempat penyajian makanan mungkin belum
memenuhi persyaratan kesehatan.
Makanan tradisional pada umumnya
memiliki kelemahan dalam hal keamanannya terhadap bahaya biologi atau
mikrobiologi, kimia atau fisik. Adanya bahaya atau cemaran tersebut seringkali
terdapat dan ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan,
belum diterapkannya praktik sanitasi dan higiene yang memadai dan kurangnya
kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani makanan tradisional (Nanuwasa,
2007).
Menurut Tamaroh (2002) dalam
Zulkifli (2008) beberapa faktor yang menentukan keamanan makanan di antaranya
jenis makanan olahan, cara penanganan bahan makanan, cara penyajian, waktu
antara makanan matang dikonsumsi dan suhu penyimpanan baik pada bahan makanan
mentah maupun makanan matang dan perilaku penjamah makanan itu sendiri.
Menurut Kusmayadi (2007) terdapat
4 (empat) hal penting yang menjadi prinsip higiene dan sanitasi makanan
meliputi perilaku sehat dan bersih orang yang mengelola makanan, sanitasi
makanan, sanitasi peralatan dan sanitasi tempat pengolaha Makanan dapat
terkontaminasi mikroba karena beberapa hal, di antaranya adalah menggunakan lap
kotor untuk membersihkan meja, perabotan bersih dan lain-lainnya serta makanan disimpan tanpa tutup sehingga
serangga dan tikus dapat menjangkaunya serta pengolah makanan yang sakit atau
karier penyakit (Slamet, 1994).
Suatu
penelitian yang dilakukan oleh Arisman (2000) di Kota Palembang didapatkan
hasil bahwa hanya 6,6% penjamah makanan yang mengenakan celemek pada saat
bekerja dan ditemukan 11,1% penjamah makanan yang mempunyai perilaku suka
menggaruk kepala dan hidung pada saat sedang bekerja.
Penelitian
Arisman (2000) juga menyimpulkan bahwa di Palembang, sarana penjaja makanan
berupa lemari makanan yang dipajang di warung dan kantin sebagian besar dalam
keadaan tidak tertutup. Kalaupun ada, penutup itu hanya berupa kain bekas gorden
tipis yang jarang sekali dirapatkan terutama ketika tamu sedang ramai. Oleh
karena itu, beberapa lalat dapat dengan mudah mencemari makanan yang dijajakan.
Berdasarkan
pengamatan awal yang dilakukan peneliti, di Kelurahan Demang Lebar Daun
Palembang terdapat 5 (lima) sekolah dasar yang letaknya cukup strategis dan
sering dilalui banyak kendaraan bermotor. Beberapa pedagang makanan jajanan
tradisional cukup mudah ditemui di sekolah-sekolah tersebut. Pedagang tersebut
kerap kali menunjukkan perilaku yang tidak sehat dalam menjamah makanan,
misalnya menjajakan makanan dalam keadaan terbuka tepat di pinggir jalan yang
banyak dilalui oleh kendaraan bermotor.
Berdasarkan
latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang higiene sanitasi pada pedagang makanan jajanan tradisional di
lingkungan Sekolah Dasar di Kelurahan Demang Lebar Daun Palembang berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia n makanan Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi
Makanan Jajanan yang telah dimodifikasi.
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan higiene dan sanitasi pada
pedagang makanan jajanan tradisional di lingkungan Sekolah Dasar di Kelurahan
Demang Lebar Daun Palembang tahun 2009.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif yang didesain berdasarkan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
pedagang makanan jajanan tradisional di lingkungan Sekolah Dasar di Kelurahan
Demang Lebar Daun Palembang. Sampel yang pada saat penelitian berjumlah 23
orang.
Data
yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer yang terdiri dari
identitas dan karakteristik penjamah makanan jajanan tradisional, meliputi
umur, jenis kelamin, pendidikan dan lama bekerja yang diperoleh dengan cara
wawancara menggunakan alat bantu berupa kuesioner. Selain itu juga diperlukan
data primer berupa penerapan higiene sanitasi pada pedagang makanan jajanan
tradisional yang meliputi higiene perorangan penjamah makanan jajanan
tradisional, sanitasi peralatan, sanitasi penyajian serta sanitasi sarana
penjaja makanan jajanan tradisional yang diperoleh dari hasil observasi
menggunakan checklist Data sekunder
pada penelitian ini berupa gambaran umum 5 (lima) sekolah di lingkungan Sekolah
Dasar Kelurahan Demang Lebar Daun Palembang.
HASIL PENELITIAN
1.
Karakteristik Responden
a.
Umur
Berikut ini
merupakan distribusi responden berdasarkan umur responden dalam Tabel 1.
Tabel 1
Distribusi
Responden Berdasarkan Umur
No
|
Umur
|
n
|
%
|
1.
|
< 24 tahun
|
3
|
13,0
|
2.
|
24-54 tahun
|
17
|
73,9
|
3.
|
≥ 55 tahun
|
3
|
13,0
|
Total
|
23
|
100
|
Berdasarkan
Tabel 1 dari 23 pedagang makanan jajanan tradisional sebagai responden terdapat
73,9% responden berusia 24-54 tahun dan masing-masing 13% responden berusia
kurang dari 24 tahun dan responden yang
berusia 55 tahun atau lebih.
b.
Jenis Kelamin
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat
dilihat dalam Tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 2
Distribusi
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
No
|
Jenis Kelamin
|
n
|
%
|
1.
|
Laki-laki
|
12
|
52,2
|
2.
|
Perempuan
|
11
|
47,8
|
Total
|
23
|
100
|
Berdasarkan Tabel 5.2 dari 23 pedagang makanan jajanan
tradisional sebagai responden terdapat 52,2% responden berjenis kelamin
laki-laki dan 47,8% responden berjenis kelamin perempuan.
c.
Masa Kerja
Distribusi responden berdasarkan masa kerja responden
sebagai pedagang makanan jajanan tradisional dapat dilihat dalam Tabel 3 sebagai berikut.
Tabel 3
Distribusi Responden
Berdasarkan Masa Kerja
No
|
Masa Kerja
|
n
|
%
|
1.
|
1-10 tahun
|
11
|
47,8
|
2.
|
11-20 tahun
|
10
|
43,5
|
3.
|
> 20 tahun
|
2
|
8,7
|
Total
|
23
|
100
|
Berdasarkan Tabel 3 dari 23 responden terdapat 47,8%
responden telah bekerja sebagai pedagang makanan jajanan tradisional selama
1-10 tahun dan hanya 8,7% responden telah bekerja lebih dari 20 tahun.
d.
Pendidikan
Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat
dilihat dalam Tabel 4 sebagai berikut.
Tabel 4
Distribusi Responden
Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No
|
Pendidikan
|
n
|
%
|
1.
|
Tidak sekolah
|
2
|
8,7
|
3.
|
Tamat SD
|
7
|
30,4
|
4.
|
Tamat SLTP
|
5
|
21,7
|
5.
|
Tamat SMA
|
8
|
34,8
|
6.
|
Tamat Akademi
|
1
|
4,3
|
Total
|
23
|
100
|
Berdasarkan Tabel 4, tingkat pendidikan tertinggi
responden adalah tamat Akademi sebanyak 4,3%, sedangkan pendidikan terendah
adalah tidak sekolah sebanyak 8,7% dari 23 responden.
2.
Higiene Perorangan
Pedagang Makanan Jajanan
Distribusi responden berdasarkan higiene perorangan
responden dapat dilihat dalam Tabel 5 sebagai berikut.
Tabel 5
Distribusi Responden Berdasarkan Higiene Perorangan
No
|
Kategori
|
n
|
%
|
1.
|
Baik
|
12
|
52,2
|
2.
|
Tidak baik
|
11
|
47,8
|
Total
|
23
|
100
|
Berdasarkan Tabel 5 dari 23 responden terdapat 52,2%
responden yang higiene perorangan yang sudah baik, sedangkan sisanya sebesar
47,8% responden higiene perorangannya tidak baik
Sanitasi Peralatan
Distribusi responden berdasarkan sanitasi peralatan
responden dapat dilihat dalam Tabel 6 sebagai berikut.
Tabel 6
Distribusi Responden Berdasarkan Sanitasi Peralatan
No
|
Kategori
|
n
|
%
|
1.
|
Baik
|
8
|
34,8
|
2.
|
Tidak baik
|
15
|
65,2
|
Total
|
23
|
100
|
Berdasarkan Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa hanya 34,8% responden yang sanitasi peralatannya
sudah baik, sedangkan sisanya sebesar 65,2% responden memiliki sanitasi yang
tidak baik dari segi peralatannya.
3.
Sanitasi Penyajian Makanan Jajanan
Distribusi responden berdasarkan sanitasi penyajian
makanan jajanan tradisioanl pada responden
dapat dilihat dalam Tabel 7
sebagai berikut.
Tabel 7
Distribusi Responden Berdasarkan Sanitasi Penyajian
No
|
Kategori
|
n
|
%
|
1.
|
Baik
|
16
|
69,6
|
2.
|
Tidak baik
|
7
|
30,4
|
Total
|
23
|
100
|
Berdasarkan Tabel 7 terdapat 69,6% responden yang
sanitasi penyajiannya yang sudah baik, sedangkan 30,4% responden menyajikan
makanan jajanan dalam keadaan sanitasi yang tidak baik.
4.
Sanitasi Sarana Penjaja
Distribusi responden berdasarkan sanitasi sarana penjaja
responden dapat dilihat dalam Tabel 8 sebagai berikut.
Tabel 8
Distribusi Responden Berdasarkan Sanitasi Sarana Penjaja
No
|
Kategori
|
n
|
%
|
1.
|
Baik
|
12
|
52,2
|
2.
|
Tidak baik
|
11
|
47,8
|
Total
|
23
|
23
|
Berdasarkan Tabel 8 dari 23 responden terdapat 52,2%
responden memiliki sa yang sudah baik dan terdapat 47,8% responden yang
memiliki sarana penjaja yang sanitasinya tidak baik.
PEMBAHASAN
1.
Karakteristik Responden
a.
Umur
Berdasarkan
hasil penelitian dari 23 pedagang makanan jajanan tradisional sebagai responden
terdapat 73,9% responden yang berusia 24-54 tahun dan masing-masing 13%
responden yang berusia kurang dari 24
tahun dan responden yang berusia 55 tahun atau lebih.
Beberapa
penelitian mengaitkan berbagai kategori umur penjamah makanan dengan perilaku
dan pengetahuan penjamah makanan. Sebuah
survei di Inggris menunjukkan bahwa 81% penduduk usia 55 tahun atau lebih
selalu memastikan agar makanannya disajikan dalam keadaan panas dan memakannya
segera setelah disajikan, sementara pemuda usia kurang dari 24 tahun yang
melakukannya hanya 54% (WHO, 2006). Penelitian tersebut senada dengan
penelitian Marsaulina (2004) di DKI
Jakarta yang menyimpulkan adanya hubungan antara kebersihan perorangan
dengan umur penjamah makanan. Semakin tinggi umur penjamah makanan maka semakin
baik kebersihan penjamah makanan.
b.
Jenis Kelamin
Hasil
penelitian menunjukkan jumlah yang hampir sama pada dua kelompok responden
berdasarkan jenis kelamin. Dari 23 pedagang makanan jajanan tradisional sebagai
responden terdapat 52,2% responden berjenis kelamin laki-laki dan 47,8%
responden berjenis kelamin perempuan.
Hasil
penelitian ini agak berbeda dari hasil penelitian Susanna (2003), dimana jumlah
pedagang laki-laki lebih sedikit dibandingkan responden perempuan. Penelitian lainnya mengaitkan perbedaan perilaku
seseorang berdasarkan karakteristik jenis kelamin. Survei
terhadap keamanan makan melalui telepon dan observasi di Amerika Serikat yang
melibatkan 7.000 dan 2.130 penduduk. Survei ini mengungkap adanya perbedaan
antara pria dan wanita dalam hal mencuci tangan. Di semua kota besar di tempat
survei dilakukan, kaum wanita lebih sering mencuci tangannya daripada pria
yaitu masing-masing sebesar 74% dan 61%.
c.
Masa Kerja
Berdasarkan pada hasil penelitian
dari 23 responden terdapat 47,8% responden telah bekerja sebagai pedagang
makanan jajanan tradisional selama 1-10 tahun dan hanya 8,7% responden telah
bekerja lebih dari 20 tahun.
Hasil penelitian ini agak berbeda
dari penelitian Marsaulina (2004) dimana sebagian besar (56%) responden telah
bekerja sebagai penjamah makanan kurang dari 2 (dua) tahun. Penelitian ini juga
mengkaitkan masa kerja dengan pengetahuan penjamah makanan. Penelitian Marsaulina (2004) menyatakan mulai
pengalaman kerja 1 (satu) tahun ke atas, proporsi pengetahuan ke arah baik
makin meningkat, terlebih lagi pada pengalaman kerja di atas 2 (dua) tahun.
Dengan demikian dapat disimpulkan, hubungan pengetahuan dan pengalaman kerja
bermakna setelah mencapai 1 (satu) tahun atau lebih
d.
Pendidikan
Hasil penelitian menunjukkan dari
23 responden terdapat 34,8% responden tamat SMA, 30,4% responden tamat SD,
21,7% responden berpendidikan SLTP, 8,7% responden tidak pernah sekolah, 4,3%
responden tamat akademi serta tidak ada responden yang tidak tamat SD dan tamat
Perguruan Tinggi.
2.
Beberapa penelitian mengaitkan tingkat
pendidikan penjamah makanan dengan kebersihan penjamah makanan. Penelitian Marsaulina (2004) menyimpulkan ada
hubungan antara kebersihan dengan pendidikan, terutama setelah mencapai tingkat
SMP
3.
Higiene Perorangan
Pedagang Makanan Jajanan
Berdasarkan
pada hasil penelitian dari 23 responden terdapat 52,2% responden yang higiene
perorangannya sudah baik dan terdapat 47,8% responden yang higiene
perorangannya tidak baik. Berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 942/Menkes/SK/2003 terdapat beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi penjamah makanan jajanan yaitu sebagai berikut:
a.
Berdasarkan pada
pengamatan dan wawancara langsung tentang riwayat penyakit yang mudah menular,
ternyata tidak seorang pun responden yang sedang menderita penyakit mudah
menular pada saat penelitian, seperti menderita batuk, pilek, influenza, diare
dan penyakit perut sejenis diare. Penjamah makanan dapat menjadi sumber
pencemaran terhadap makanan, terutama apabila penjamah makanan sedang menderita
suatu penyakit atau karier.
b.
Berdasarkan pada
pengamatan dan wawancara langsung pada responden saat penelitian, ternyata
semua responden tidak memiliki luka dan atau bisul pada tubuhnya. Luka menyebabkan bakteri pada kulit akan
masuk ke bagian dalam kulit dan terjadilah infeksi. Adanya luka koreng atau
luka bernanah mempunyai risiko yang besar dalam menularkan penyakit kepada
makanan (Depkes RI, 2001).
Berdasarkan pada hasil penelitian terdapat 73,9%
responden memiliki rambut yang tampak bersih dan rapi. Hasil pengamatan
terhadap pakaian yang tampak bersih menunjukkan
persentase yang sama. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semua
responden memiliki kuku yang dipotong pendek. Tetapi terdapat 34,8% yang
memiliki kuku yang tampak kotor dan berwarna hitam. Hasil penelitian ini senada
dengan penelitian Susanna (2003) yang menyatakan 36% responden memiliki kuku
yang kotor. Penelitian tersebut
menyatakan ada hubungan yang bermakna antara kuku tangan penjamah
makanan dengan kontaminasi makanan. Menurut
Fathonah (2005) kuku tangan sering menjadi sumber kontaminan atau mengakibatkan
kontaminasi silang.
c. Berdasarkan
pengamatan, tidak ditemukan seorang pun pedagang makanan jajanan yang
mengenakan celemek selama menjamah makanan di lokasi berdagang di lingkungan
sekolah dasar.
Hasil
penelitian ini serupa dengan penelitian Susanna (2003) yang menyatakan 85%
penjamah makanan tidak mengenakan celemek ketika menjamah makanan serta
penelitian Arisman (2000) di Palembang yang
menyatakan hanya 6,6% penjamah makanan yang mengenakan celemek pada saat
bekerja.
Celemek merupakan kain penutup baju yang
digunakan sebagai pelindung agar pakaian tetap bersih. Menurut Moehyi (1992)
pakaian kerja yang bersih akan menjamin sanitasi dan higiene pengolahan makanan
karena tidak terdapat debu atau kotoran yang melekat pada pakaian yang secara
tidak langsung dapat menyebabkan pencemaran makanan.
Pengamatan juga dilakukan terhadap
penggunaan penutup kepala pada penjamah makanan. Dari 23 responden ditemukan
hanya 60,9% responden yang menggunakan penutup kepala. Hasil penelitian ini
serupa dengan penelitian Arisman (2000) dimana tidak ada penjamah makanan di
Palembang yang mengenakan tutup kepala sebagai pelindung saat menjamah makanan.
d. Sebagian
besar (86,9%) responden tidak mencuci tangan saat hendak menjamah makanan. Hasil penelitian ini senada dengan
penelitian Susanna (2003) yang menyatakan 43% penjamah makanan tidak mencuci
tangan sebelum menjamah makanan. Kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum
melayani pembeli merupakan sumber kontaminan yang cukup berpengaruh terhadap
kebersihan bahan makanan.
e. Depkes RI (2001) menyatakan kebersihan
tangan sangat penting bagi setiap orang terutama bagi penjamah makanan.
Kebiasaan mencuci tangan sangat membantu dalam mencegah penularan bakteri dari
tangan kepada makanan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, 69,6% pedagang
makanan jajanan tradisional menjamah makanan dengan tangan tanpa alas atau
perlengkapan lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Susanna (2003) yang
menyatakan 64% penjamah makanan tidak memakai alat untuk mengambil/memegang
makanan. Sentuhan tangan merupakan penyebab yang paling umum terjadinya
pencemaran makanan. Mikroorganisme yang melekat pada tangan akan berpindah ke
dalam makanan dan akan berkembang biak dalam makanan, terutama dalam makanan
jadi.
Menurut
Moehyi (1992) memegang makanan secara langsung selain tampak tidak etis juga
akan mengurangi kepercayaan pelanggan. Jadi, selain untuk mencegah pencemaran
juga tidak sesuai dengan etika jika memegang makanan dengan tangan, lebih-lebih
jika hal itu terlihat oleh pelanggan.
Hasil
pengamatan pada saat penelitian menunjukkan ada beberapa pedagang makanan
jajanan tradisional yang merokok pada saat menjajakan makanan. Tetapi kegiatan
merokok dilakukan pada saat menunggu pembeli oleh pedagang laki-laki. Hal ini
serupa dengan penelitian Susanna (2003) yang menyatakan adanya kebiasaan
merokok yang sering terlihat pada saat penjamah makanan sedang menunggu
pembeli. Menurut Depkes RI (2001) kebiasaan merokok di lingkungan pengolahan
makanan mengandung banyak risiko antara lain bakteri atau kuman dari mulut dan
bibir dapat dipindahkan ke tangan sehingga tangan menjadi kotor dan akan
mengotori makanan, abu rokok dapat jatuh ke dalam makanan serta dapat
menimbulkan bau asap rokok yang dapat mengotori udara.
4.
Sanitasi Peralatan
Hasil
penelitian terhadap peralatan dapat disimpulkan bahwa hanya 34,8% responden yang sanitasi peralatannya
sudah baik, sedangkan sisanya sebesar 65,2% responden memiliki sanitasi yang
tidak baik dari segi peralatannya.
Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 942/Menkes/SK/2003 mengatur tentang
cara untuk menjaga kebersihan peralatan.
Berdasarkan
pengamatan selama penelitian tidak ditemukan satupun responden yang melakukan
pencucian peralatan dengan benar. Beberapa responden mencuci peralatan tanpa
menggunakan sabun, peralatan hanya dicelupkan ke dalam seember air pencuci yang
sudah kotor. Hal ini serupa dengan penelitian Hidayat (1995) di dua propinsi
yaitu Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta yang ternyata umumnya tempat cuci gelas
atau piring yang digunakan hanya satu ember untuk mencuci alat-alat makan yang
kotor untuk digunakan seharian.
Beberapa
responden lainnya mengeringkan peralatan dengan menggunakan lap/serbet yang
berfungsi untuk berbagai keperluan. Misalnya, untuk membersihkan sarana penjaja
yang kotor, mengeringkan peralatan yang basah, bahkan untuk menyeka keringat di
dahi. Selain itu, peralatan yang sudah dicuci diletakkan di atas makanan atau
di sarana penjaja dalam keadaan terbuka.
Hal ini
serupa dengan hasil penelitian Susanna (2003) yang menyatakan penempatan piring
dilakukan pada tempat terbuka dan tidak bersih serta penggunaan kain lap pada
saat mengeringkan piring, sendok dan garpu. Hal tersebut dapat memberi kontribusi terhadap kontaminasi kuman pada
makanan. Penelitian senada yang dilakukan oleh Tofani (2007) di Surabaya
menyimpulkan bahwa pencucian alat pada pedagang makanan jajanan di salah satu
sekolah dasar negeri di Surabaya termasuk kurang (51,67%).
Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa 78,3% pedagang makanan jajanan tradisional
menggunakan kembali peralatan sekali pakai. Peralatan sekali pakai tersebut
berupa botol plastik bekas, misalnya botol air mineral, botol minuman teh,
minuman elektrolit dan sebagainya. Botol ini digunakan untuk mewadahi bahan
makanan atau makanan, seperti saos dan cuka pempek yang bersifat asam serta
minyak bekas menggoreng yang masih dalam keadaan panas.
Botol-botol
tersebut merupakan botol yang berkode ”angka 1” yang direkomendasikan hanya
sekali pakai. Bila terlalu sering dipakai, apalagi digunakan untuk menyimpan
air hangat apalagi panas, akan mengakibatkan lapisan polimer pada botol
tersebut akan meleleh dan mengeluarkan zat karsinogenik yang dapat menyebabkan
kanker dalam jangka panjang (The Society
of Plastic Industry 1998; Badan POM RI 2008).
Hasil
pengamatan juga menunjukkan ada 39,1% pedagang makanan jajanan yang menggunakan
peralatan dengan fungsi yang bercampur baur. Menurut Depkes RI (2000) peralatan yang digunakan campur baur akan
menimbulkan kontaminasi silang (cross
contamination).
Berdasarkan
pengamatan, 21,7% pedagang makanan jajanan tradisional yang menggunakan
peralatan yang sudah patah, gompel, penyok, tergores atau retak. Menurut Depkes
RI (2000) peralatan yang sudah retak, gompel atau pecah selain dapat
menimbulkan kecelakaan (melukai tangan) juga menjadi sumber pengumpulan kotoran
karena tidak akan dapat dibersihkan sempurna.
5.
Sanitasi Penyajian Makanan Jajanan
Berdasarkan
hasil penelitian terdapat 30,4% responden yang menyajikan makanan jajanan dalam
keadaan sanitasi yang tidak baik. Hasil pengamatan menunjukkan sebanyak 56,5%
responden menjajakan dagangannya dalam keadaan terbuka. Kalaupun ada yang
ditutup, hanya sesekali saja ketika sedang tidak ada pembeli. Penutup yang
digunakan sebagian berupa selembar plastik yang sudah tampak kotor.
Hal ini
serupa dengan penelitian Hidayat (1995) di dua propinsi yaitu Jawa Tengah dan
DIY Yogyakarta. Penelitian ini menyatakan umumnya penutup makanan jajanan tidak
ada atau kurang memadai, misalnya hanya ditutup selembar kertas atau daun
pisang. Sehingga lalat banyak menghinggapi makanan jajanan tersebut. Penelitian
Arisman (2000) juga menyimpulkan bahwa di Palembang, sarana penjaja makanan
berupa lemari makanan yang dipajang di warung dan kantin sebagian besar dalam
keadaan tidak tertutup. Kalaupun ada, penutup itu hanya berupa kain bekas
gorden tipis yang jarang sekali dirapatkan terutama ketika tamu sedang ramai.
Menjajakan makanan dalam keadaan
terbuka dapat meningkatkan risiko tercemarnya makanan oleh lingkungan, baik
melalui udara, debu, asap kendaraan, bahkan serangga. Makanan yang dijajakan di
pinggir jalan akan sangat mudah terpapar debu dan asap kendaraan yang
berterbangan.
Berdasarkan pada pengamatan
terdapat 60,9% responden membungkus makanan jajanan dengan menggunakanpembungkus
yang dapat mencemari makanan, misalnya menggunakan kertas koran dan kantong kresek berwarna.
Beberapa kertas non kemasan
(kertas koran dan majalah) yang sering digunakan untuk membungkus pangan,
terdeteksi mengandung timbal (Pb) melebihi batas yang ditentukan. Banyak
makanan jajanan seperti gorengan dibungkus dengan koran karena pengetahuan yang
kurang, padahal bahan yang panas dan
berlemak mempermudah berpindahnya timbal ke makanan tersebut (Jaringan
Informasi Pangan dan Gizi, 2008). Menurut Sartono (2002) timbal
terdapat pada kertas koran dan majalah karena terdapat pada tinta cetak. Efek
toksik timbal terutama pada otak dan sistem saraf pusat. Akibat keracunan
timbal ialah gangguan sistem saraf pusat, saluran cerna dan dapat juga timbul
anemia.
Kantong plastik kresek berwarna terutama yang berwarna
hitam kebanyakan merupakan produk daur ulang yang sering digunakan untuk
mewadahi makanan. Dalam proses daur ulang tersebut riwayat penggunaan
sebelumnya tidak diketahui, apakah bekas wadah pestisida, limbah rumah sakit,
kotoran hewan atau manusia, limbah logam berat dan lain-lain. Dalam proses
tersebut juga ditambahkan berbagai bahan kimia yang menambah dampak bahayanya
bagi kesehatan (BPOM RI, 2009).
Berdasarkan pada wawancara
langsung kepada responden, didapatkan kesimpulan bahwa terdapat 56,52% pedagang
makanan jajanan tradisional yang tidak selalu menyajikan makanan kurang dari 6
(enam) jam setelah pengolahan. Biasanya pengolahan makanan dilakukan di rumah
sekitar pukul 5.00 WIB, sedangkan makanan akan habis setelah pukul 11.00 WIB
bahkan ada yang sampai sore hari sekitar pukul 16.00 WIB. Dengan kata lain,
waktu simpan makanan jajanan pada pedagang makanan jajanan berkisar 6-11 jam
setelah pengolahan Hal serupa dapat dilihat dari hasil penelitian Djaja (2003)
yang menyatakan bahwa waktu simpan makanan pada pedagang kaki lima berkisar
406,7 menit atau 6,8 jam. Waktu penyimpanan dan penyajian (6–7 jam) akan
memberi cukup kesempatan bagi bakteri untuk berkembang biak menjadi 1 (satu)
juta dalam waktu 6 (enam) jam. Hal ini akan meningkatkan kontaminasi dan jumlah
bakteri dalam makanan yang disajikan tempat pengolahan makanan. Dengan demikian
hal ini dapat meningkatkan risiko konsumen untuk mendapatkan penyakit bawaan
makanan.
6.
Sanitasi Sarana Penjaja
Berdasarkan hasil penelitian dari
23 responden terdapat 52,2% responden memiliki sarana penjaja yang sudah baik
dan terdapat 47,8% responden yang memiliki sarana penjaja yang sanitasinya
tidak baik.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar (78,3%) responden memiliki sarana penjaja yang terbuka,
sehingga tidak dapat melindungi makanan dari pencemaran. Hal serupa ditunjukkan
pada penelitian Arisman (2000) yang menyimpulkan bahwa di Palembang sarana
penjaja makanan berupa lemari makanan yang dipajang di warung dan kantin
sebagian besar dalam keadaan tidak tertutup.
Kontruksi sarana penjaja yang
tidak tertutup tersebut dapat memungkinkan terjadinya pencemaran. Menurut
Moehyi (1992) apabila tempat memajang makanan tertutup rapat kemungkinan
terjadinya pencemaran makanan akan menjadi kecil.
Berdasarkan pengamatan, bahan
sarana penjaja makanan jajanan tradisional dibuat dari kayu, papan, kaca dan
seng. Bahan dari kayu dan papan yang tidak dicat biasanya sudah dalam keadaan
kotor, lembab dan berwarna kehitaman karena jamur. Sarana penjaja makanan
jajanan yang dibuat dari kayu yang dicat lebih mudah dibersihkan dibandingkan
dengan papan yang tidak dicat.
Selain itu, ada juga sarana
penjaja makanan yang dibuat dari seng dan kaca. Namun sarana penjaja ini juga
masih tampak tidak bersih dikarenakan pedagang makanan enggan membersihkannya
terutama ketika pembeli sedang ramai.
Persyaratan lain mengenai sarana penjaja
makanan adalah konstruksi sarana penjaja harus tersedia tempat untuk air
bersih, penyimpanan bahan makanan, penyimpanan makanan jadi/siap disajikan,
penyimpanan peralatan, tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan) dan tempat
sampah.
Berdasarkan pengamatan, tidak ada
satupun sarana penjaja makanan jajanan tradisional yang memiliki fasilitas yang
lengkap seperti yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 942/Menkes/SK/2003.
Sarana penjaja yang dimiliki oleh pedagang makanan jajanan tradisional
biasanya hanya tersedia satu atau dua ruang penyimpanan saja yang digunakan
untuk menyimpan berbagai peralatan, makanan jadi dan sebagainya yang digabung.
Penelitian serupa yang dilakukan
Hidayat (1995) di dua propinsi yaitu Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta umumnya
pedagang makanan jajanan tradisional tidak menyediakan tempat cuci tangan dan
tempat sampah.
KESIMPULAN
Distribusi penerapan higiene dan
sanitasi pada pedagang makanan jajanan tradisional di lingkungan Sekolah Dasar
di Kelurahan Demang Lebar Daun Palembang tahun 2009 dapat dilihat pada hal-hal
sebagai berikut:
1. Distribusi
karakteristik responden antara lain terdapat 73,9% responden berusia 24-54 tahun, 52,2% responden
berjenis kelamin laki-laki, 47,8% responden telah bekerja sebagai pedagang
makanan jajanan tradisional selama 1-10 tahun, terdapat responden dengan
tingkat pendidikan tertinggi yaitu tamat akademi sebanyak 4,3%, serta responden
dengan pendidikan terendah yaitu tidak sekolah sebanyak 8,7%.
2. 52,2%
responden yang higiene perorangan yang sudah baik, sedangkan sisanya sebesar
47,8%
responden higiene perorangannya tidak baik.
3. Hanya
terdapat 34,8% responden yang sanitasi peralatannya sudah baik, sedangkan
sisanya sebesar 65,2% responden memiliki sanitasi yang tidak baik dari segi
peralatannya.
4. Terdapat
69,6% responden yang sanitasi penyajiannya yang sudah baik, sedangkan 30,4%
responden menyajikan makanan jajanan dalam keadaan sanitasi yang tidak baik.
5. Terdapat
52,2% responden memiliki sarana penjaja yang sudah baik dan terdapat 47,8%
responden yang memiliki sarana penjaja yang sanitasinya tidak baik.
SARAN
1. Sebaiknya
diberikan pelatihan dan penyuluhan tentang higiene dan sanitasi makanan kepada
seluruh pedagang makanan jajanan secara berkesinambungan.
2. Sebaiknya
dilakukan pengawasan dan pembinaan terhadap seluruh pedagang makanan jajanan,
terutama pedagang yang menjajakan makanan di sekolah-sekolah.
Perlu adanya
peningkatan pengetahuan siswa sebagai konsumen makanan jajanan tentang keamanan
dan keracunan makanan
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Antara, Dr. Nyoman Semadi. 2004, Menyehatkan
Makanan di Sekolah [on line], dari http://balipost@indo.net.id, [25 April 2008]
2.
Arisman. 2000, Identifikasi
Perilaku Penjamah Makanan yang Berisiko Sebagai Sumber Keracunan Makanan, Laporan
Hasil Penelitian Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya, Palembang.
3.
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia. 2008. Jenis Bahan Kemasan Plastik, Buletin
Keamanan Pangan 14 : 14-15.
4.
. 2009. Peringatan Publik / Public
Warning Tentang Kantong Plastik “Kresek”, Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik
Indonesia, Jakarta.
5.
Depkes RI. 2000,
Prinsip-Prinsip Hygiene dan Sanitasi
Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
6.
. 2001, Kumpulan Modul Kursus Penyehatan Makanan Bagi Pengusaha Makanan
da Minuman, Yayasan Pesan, Jakarta.
7.
Djaja, I Made. 2008, Kontaminasi E.Coli Pada Makanan Dari Tiga
Jenis Tempat Pengelolaan Makanan (TPM) di Jakarta Selatan 2003, Makara
Kesehatan 12 (1): 36-41.
8.
Fardiaz, Dedi.
2002, Panduan Pengolahan Pangan Yang Baik Bagi Industri Rumah Tangga, Amankan
Dan Bebaskan Produk Dari Bahan Berbahaya [on line]. Deput Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Dan Bahan Berbahaya
Direktorat Surveilan Dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan Pengawas Obat Dan
Makanan, dari http://www.ebookpangan.com > [29 Juli 2009].
9. Fathonah, Siti. 2005, Higiene dan Sanitasi Makanan, Fakultas
Teknik Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Hidayat, Tjetjep S, Tritrin T. Mujianto & Djoko
Susanto. 1995. ’Pola Kebiasaan Jajan
Murid Sekolah Dasar dan Ketersediaan Makanan Jajanan Tradisional di Lingkungan Sekolah
Dasar di Propinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta’, in Widyakarya Nasional:
Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta, Kantor
Menteri
10. Negara Urusan Pangan Republik Indonesia, Jakarta, pp.
597-603.
11. Jaringan Informasi Pangan dan
Gizi. 2008, Serba-Serbi Kemasan Pangan.
Lembar Berita Jaringan Informasi Pangan dan Gizi 16 (1) : 1-6.
12. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
942/Menkes/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan
Jajanan, Depkes RI.
13. Khomsan, Ali.
2003, Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan,
PT Grasindo, Jakarta.
14. Kusmayadi, Ayi dan Dadang Sukandar. 2007, Cara
Memilih dan Mengolah Makanan untuk Perbaikan Gizi Masyarakat [on line]. Special Programme For Food
Security: Asia Indonesia, dari webmaster@deptan.go.id. Diakses [12 Mei
2009]
15. Marsaulina, Irnawati.2004, Study Tentang
Pengetahuan Perilaku Dan Kebersihan Penjamah Makanan Pada Tempat Umum
Pariwisata Di DKI Jakarta (TMII, TIJA,
TMR). Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
16. Moehyi,
Syahmin. 1992, Penyelenggaraan Makanan
Institusi dan Jasa Boga, Penerbit Bhratara, Jakarta.
17. Nanuwasa,
Franklin dan Munir. 2007, Tata Laksana
Higiene Hidangan, Keracunan Hidangan, Jenis Bakteria, dari http://www.ihsmakassar.com. [29 November 2008].
18.
Santoso, Soegeng dan Anne Lies Ranti. 1999. Kesehatan dan Gizi. Penerbit PT
Rineka Cipta, Jakarta.
19.
Sartono. 2002. Racun & Keracunan, Widya Medika, Jakarta.
20. Sekretariat Jenderal Jejaring
Intelijen Pangan. 2005. Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan, Food Watch Sistem Keamanan Pangan Terpadu,
Juli 2005
21. Slamet, Juli Soemirat. 1994, Kesehatan Lingkungan, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
22. Susanna, Dewi dan Budi Hartono. 2003, ‘Pemantauan Kualitas Makanan Ketoprak dan
Gado-Gado di Lingkungan Kampus UI Depok Melalui Pemeriksaan Bakteriologis’ Makara Seri Kesehatan 7(1) : 21-29.
23. Thaheer, Hermawan. 2005, Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point),
PT. Bumi
Aksara, Jakarta.
24. Tofani,
Fitri. 2007. Studi Kondisi Hiegene Dan
Sanitasi Makanan Jajanan Pada Sekolahan Di Sekolah Dasar Negeri Kalisari II
Kecamatan Mulyorejo Surabaya [Skripsi],
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Unair, Surabaya.
25. WHO.
2006, Penyakit Bawaan Makanan : Fokus
Pendidikan Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
26. Zulkifli,
H. 2008. ‘Dampak Pelatihan Keamanan
Pangan Terahadap Pengetahuan, Keterampilan dan Sikap Penjamah Makanan di
Instalasi Gizi Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang’, Majalah Ilmiah Tambo Gizi
4 (2) : 69-76.