Selasa, Agustus 09, 2016

Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Latar Belakang
Secara historis, ide untuk membentuk lembaga khusus untuk melakukan pengawasan perbankan telah dimunculkan semenjak diundangkannya UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa tugas pengawasan terhadap bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.Dengan melihat ketentuan tersebut, maka telah jelas tentang pembentukkan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan independen harus dibentuk. Dan bahkan pada ketentuan selanjutnya dinyatakan bahwa pembentukkan lembaga pengawasan akan dilaksanakan selambatnya 31 Desember 2002. Dan hal tersebutlah, yang dijadikan landasan dasar bagi pembentukkan suatu lembaga independen untuk mengawasi sector jasa keuangan.
Akan tetapi dalam prosesnya, sampai dengan tahun 2010. Perintah untuk pembentukkan lembaga pengawasan ini, yang kemudian dikenall dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), masih belum terealisasi. Kondisi tersebut menyebabkan dalam kurun waktu hampir satu decade, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidah dapat menjadi pengawas perkembangan perbankan yang belakangan ada banyak fenomena-fenomena negative. Seperti Kasus Bank Century yang melakukan penyimpangan tanpa ada ketakutan bertindak dan dikarenakan memang tidak ada lembaga tertentu yang menjadi pengawas. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini bisa menjadi penting, apabila dalam perkembangan praktek perbankan dan pengawasan perlu dilakukan dengan cara yang tepat dan sesuai dengan kepentingan..
Disisi yang lain, para pakar ekonomi mengemukakan pendapat mengenai OJK ini, bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mutlak dibentuk guna mengantisipasi kompleksitas sistem keuangan global. Namun, RUU OJK harus dibahas simultan dengan paket RUU Keuangan lain, sperti RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), RUU Pasar Modal serta amandemen UU Bank Indonesia, Perasuransian dan Dana Pensiun. Hal tersebut terungkap dalam seminar Reformasi. Sektor Keuangan memperkuat Fondasi, Daya Saing dan Stabilitas Perekonomian Nasional. Pembentukan OJK diperlukan guna mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan OJK merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di Indonesia. Pemerintah mempunyai komitmen tinggi dan menjalankan mandat untuk melakukan reformasi di sektor keuangan.
   

A.    Pengertian dan Landasan Hukum OJK
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan sebuah lembaga baru yang dirancang untuk melakukan pengawasan secara ketat lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Adapun tujuan utama pendirian OJK adalah: Pertama, meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang jasa keuangan. Kedua, menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Ketiga, meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan. Keempat, melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan. Adapun sasaran akhirnya adalah agar krisis keuangan seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang lalu tidak terulang kembali.
Menurut UU No 21 tahun 2011 Bab I pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan OJK "adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini."
Pada dasarnya UU mengenai OJK hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Diharapkan dengan dibentuknya OJK ini dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan agar adanya pengaturan juga pengawasan yang lebih terintegrasi.
Sebagaimana diketahui bahwa krisis yang melanda di tahun 1998 telah membuat sistem keuangan Indonesia porak poranda. Sejak itu maka lahirlah kesepakatan membentuk OJK yang menurut undang-undang tersebut harus terbentuk pada tahun 2002. Meskipun OJK dibidani berdasarkan kesepakatan dan diamanatkan oleh UU, nyatanya sampai dengan 2002 draf pembentukan OJK belum ada, sampai akhirnya UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) tersebut direvisi, menjadi UU No 24  tahun 2004 yang menyatakan tugas BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Setelah lebih dari tiga tahun akhirnya sidang paripurna DPR pada tanggal 19 Desember 2003 menyelesaikan amandemen Undang-Undang Bank Indonesia. Usulan amendemen ini semula diajukan semasa pemerintahan Presiden Gus Dur. Undang-undang hasil amendemen ini disebut oleh Menteri Keuangan Boediono sebagai undang-undang bank sentral modern. Salah satu masalah krusial yang memperlambat proses amendemen ini adalah menentukan siapa yang berwenang mengawasi industri perbankan. Terjadi tarik ulur yang alot antara Bank Indonesia dan pemerintah yang dalam kaitan ini diwakili oleh Departemen Keuangan. Kompromi yang dicapai akhirnya menetapkan bahwa OJK akan dibentuk paling lambat tahun 2010. Sebelum diamandemen bunyi ketentuannya adalah Lembaga Pengawas Jasa Keuangan/LPJK (yang kemudian menjadi OJK) paling lambat sudah harus dibentuk pada akhir Desember 2002.
Secara historis, ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. RUU ini disamping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (bank sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU (kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank.

B. Lembaga Jasa Keuangan
Industri Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Khusus) berisi beberapa lembaga atau perusahaan yang dibentuk atau didirikan untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang bersifat khusus, umumnya berkaitan dengan upaya mendukung program pemerintah bagi kesejahteraan masyarakat.
Lembaga atau perusahaan jasa keuangan tersebut adalah:
  1. Lembaga atau Perusahaan Penjaminan Kredit Perusahaan Penjaminan Kredit adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokoknya melakukan penjaminan kredit. Pembentukan Lembaga atau Perusahaan Penjaminan Kredit dimaksudkan untuk membantu Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam rangka mengakses pendanaan dari perbankan dan lembaga keuangan lainnya.
  2. Perusahaan Penjaminan Infrastruktur Perusahaan Penjaminan Infrastruktur adalah persero yang didirikan untuk tujuan memberikan penjaminan pada proyek kerja sama pemerintah, badan usaha di bidang infrastruktur dengan cara penyediaan penjaminan infrastruktur.
  3. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) adalah lembaga yang secara khusus dibentuk untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong program ekspor nasional. Pembentukan LPEI ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
  4. Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan adalah lembaga atau perusahaan yang dibentuk dengan tugas menyediakan fasilitas pembiayaan perumahan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kesinambungan pembiayaan perumahan yang terjangkau oleh masyarakat. Saat ini, PT Sarana Multigriya Finansial (Persero), atau biasanya disingkat PT SMF (Persero) adalah satu-satunya Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan yang didirikan di Indonesia.
  5. Perusahaan Pegadaian Perusahaan Pegadaian adalah perusahaan yang didirikan dengan maksud untuk membantu program pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya golongan menengah ke bawah melalui penyaluran pinjaman kepada usaha skala mikro, kecil, dan menengah atas dasar hukum gadai dan fidusia.
  6. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah lembaga yang didirikan dengan tugas dan fungsi menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pensiun. BPJS dibentuk sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Lembaga Keuangan Mikro Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga keuangan yang secara khusus didirikan dengan maksud untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggotanya dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.

C. Pembentukan Status dan Temfat Kedudukan OJK

Pasal 2
1. Dengan Undang-Undang ini dibentuk OJK.
2. OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 3
1. OJK berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. OJK dapat mempunyai kantor di dalam dan di luar wilayah Negara Kesatuan     Republik Indonesia yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya UU ini selain pertimbangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali dirubah, yakni:
          Sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional.
              Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan.
          Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan
         Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.
Harapan penataan melalui UU No.21 Tentang Otoritas Jasa Keuangan :
         Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan.
          Agar pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi.
D.  Tujuan, Fungsi, dan Tugas OJK
Fungsi OJK adalah:
  1. Mengawasi aturan main yang sudah dijalankan dari forum stabilitas keuangan
  2. Menjaga stabilitas sistem keuangan
  3. Melakukan pengawasan non-bank dalam struktur yang sama seperti sekarang
  4. Pengawasan bank keluar dari otoritas BI sebagai bank sentral dan dipegang oleh lembaga baru
Tujuan dalam pembentukan OJK:
  1. Untuk mencapainya, BI dalam melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan dengan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
  2. Mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis.
  3. Menciptakan satu otoritas yang lebih kuat dengan memiliki sumber daya manusia dan ahli yang mencukupi
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
  1. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
  2. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
  3. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan, OJK mempunyai wewenang:
  1. Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang meliputi :
  • Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
  • Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
  • Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank;
  • Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:  manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank.
  • Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
  • Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
  • Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK
  • Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
  • Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
  • Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
  • Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
  • Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
  • Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;
  • Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
  • Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;
  • Melakukan penunjukan pengelola statuter;
  • Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
  • Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.


     
Kesimpulan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan sebuah lembaga baru yang dirancang untuk melakukan pengawasan secara ketat lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Adapun tujuan utama pendirian OJK adalah: Pertama, meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang jasa keuangan. Kedua, menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Ketiga, meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan. Keempat, melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan. Adapun sasaran akhirnya adalah agar krisis keuangan seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang lalu tidak terulang kembal
Agar pembentukan Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan kajian-kajian akademis untuk lebih mematangkan konsep dan format lembaga itu sehingga keberadaan OJK benar-benar bermanfaat bagi pembangunan struktur kelembagaan perekonomian nasional.
Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang bertugas mengawasi dan menjaga stabilitas keuangan yang pada masa-masa sekarang ini sangat rawan dan beresiko tinggi.
Otoritas Jasa Keuangan harus di bangun dengan adanya komunikasi dan koordinasi yang efektif antar lembaga yang terkait.
Diharapkannya dalam pembentukan Otoritas Jasa Keuangan bisa menghindari jalan buntu dari undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR
2.      Daftar Pustaka
-http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Artikel+dan+Kertas+Kerja/Artikel/peran_otoritas_muslimin_anwar.htm
-http://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/toswari/2016/08/22/peran-otoritas-jasa-keuangan-ojk-dan-bi/
-http://news.okezone.com/read/2016/08/03/20/399711/mayoritas-pegawai-bi-tolak-ojk
-http://robbyalexandersirait.wordpress.com/2016/08/06/sedikit-menilik-otoritas-jasa-keuangan-menurut-uu-no-21-tentang-otoritas-jasa-keuangan/

kinerja guru, motivasi kerja dan kedisiplinan

KINERJA GURU, MOTIVASI KERJA , DAN KEDISIPLINAN

A.    Kinerja Guru
1.          Pengertian Kinerja Guru
Kinerja (performance) menurut Bangun (2012: 231) adalah hasil pekerjaan yang dicapai seseorang berdasarkan persyaratan-persyaratan pekerjaan (job requirement). Kinerja merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk melaksanakan, menyelesaikan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan harapan dan tujuan yang telah ditetapkan (Supardi, 2014: 45).
Kinerja sering disebut dengan prestasi yang merupakan hasil atau apa yang keluar (outcomes) dari sebuah pekerjaan dan kontribusi sumber daya manusia terhadap organisasi. Bila diaplikasikan dalam aktivitas pada lembaga pendidikan berdasarkan pendapat di atas, maka  kinerja yang dimaksud adalah: (a) prestasi kerja pada penyelenggara lembaga pendidikan dalam melaksanakan program pendidikan mampu menghasilkan ulusan atau output  yang semakin meningkat kualitasnya; (b) mampu memperlihatkan/ mempertunjukkan kepada masyarakat (dalam hal ini peserta didik) berupa pelayanan yang baik; (c) biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk menitipkan anaknya sebagai peserta didik dalam memenuhi kebutuhan belajarnya tidak memberatkan dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat; dan (d) dalam melaksanakan tugasnya para pengelola lembaga pendidikan seperti kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikannya semakin baik dan berkembang serta mampu mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat yang selalu berubah sesuai dengan kemajuan dan tuntutan zaman (Supardi, 2014: 46).
Whitmore secara sederhana mengemukakan, kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang (dalam Uno, 2012: 59-60). Pengertian yang menurut Whitmore merupakan pengertian yang menuntut kebutuhan paling minim untuk berhasil. Kinerja menuntut adanya pengekspresian potensi seseorang, dan tanggung jawab atau kepemilikan yang menyeluruh. Jika tidak, maka hal ini tidak akan menjadi potensi seseorang, tetapi sebagian akan menjadi milik orang lain.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang telah dicapai oleh seseorang dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan berdasarkan atas standarisasi atau ukuran dan waktu yang disesuaikan dengan jenis pekerjaannya dan sesuai dengan norma dan etika yang telah ditetapkan.
Menurut undang-undang No. 14 Tahun 2005 tantang Guru dan Dosen Pasal 1 ayat (1), guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru sebagai pendidik menurut Sagala (2013: 6) adalah tokoh yang paling banyak bergaul dan berinteraksi dengan para murid dibandingkan dengan para personel lainnya di sekolah. Guru bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, melakukan penelitian dan pengkajian, dan membuka komunikasi dengan masyarakat.
Kinerja guru menurut Supardi (2014: 54) merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan tugas pembelajaran di madrasah dan bertanggung jawab atas peserta didik di bawah bimbingannya dengan meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Oleh karena itu, kinerja guru itu dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan seorang guru dalam menjalankan tugasnya di madrasah serta menggambarkan adanya suatu perbuatan ang ditampilkan guru dalam atau selama melakukan aktivitas pembelajaran. Guru yang memiliki kinerja baik dan profesional dalam implementasi kurikulum memiliki ciri-ciri: mendesain program pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan menilai hasil belajar peserta didik (Supardi, 2014: 59, mengutip Basyirudin dan Usman, 2002: 83).
Perencanaan pembelajaran dibuat oleh guru meliputi: (1) penentuan tujuan pembelajaran, (2) pemilihan materi sesuai dengan waktu, (3) strategi optimum, (4) alat dan sumber, serta (5) kegiatan belajar peserta didik, dan (6) evaluasi (Rasyidin, 1988: 63-64, Nurdin dan Usman, 2002: 86 dalam Supardi, 2014: 60).
Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari rencana pelaksanaan pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran menurut Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah meliputi: kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup (Lampiran Permendiknas RI nomor 41 tahun 2007, dalam Supardi, 2014: 60).
Selain perencanaan, proses pembelajaran dan kemampuan membina hubungan dilakukan juga terhadap kemampuan guru dalam melakukan penilaian. Penilaian yang dilakukan guru pada saat awal, proses maupun pada akhir pembelajaran. Pada awal pembelajaran penilaian dapat dilakukan melalui pre test dan apersepsi. Penilaian pada proses pembelajaran dapat dilakukan melalui observasi, tanya jawab dan diskusi. Dan penilaian pada akhir kegiatan proses pembelajaran dapat dilakukan melalui post test, pemberian tugas, dan sebagainya. Penilaian yang dilakukan meliputi hasil belajar dan prestasi belajar (Supardi, 2014: 64).
Penilaian awal, proses dan akhir pembelajaran adalah awal proses pembelajaran dilakukan penilaian mengenai peserta didik untuk mengetahui tingkat perkembangan kognitif, afektif dan kesiapan mempelajari bahan baru, bahan yang telah dipelajari sebelumnya (entering behavior), pengalaman berhubungan dengan bahan pelajaran. Selama berlangsungnya proses pembelajaran, peserta didik harus dipantau dan dinilai terus menerus, untuk mengetahui hingga manakah bahan telah dikuasai, bahan manakah yang harus dipahami, apa sebab kegagalan memahami bahan tertentu, metode dan alat manakah yang ternyata paling besar atau paling kecil manfaatnya, dan bahan manakah yang harus diajarkan kembali, kepada peserta didik mana. Pada akhir pelajaran perlu lagi diadakan penilaian untuk mengetahiu: Apakah yang telah mereka kuasai dari seluruh pelajaran, apa yang tak berhasil mereka kuasai, apakah masih perlu diberikan ulangan, latihan inforcement bagi peserta didik tertentu (Nurdin dan Usman, dalam Supardi, 2014: 64-65).
Selain perencanaan, pelaksanaan, kemampuan membina hubungan dan evaluasi pembelajaran, pada KTSP kinerja seorang guru dinilai dalam program remedial dan pengayaan sebagai tindak lanjut dari evaluasi pebelajaran. Program pengayaan merupakan program belajar yang diberikan kepada peserta didik yang cepat dalam menguasai kompetensi dan materi pokok bahan pelajaran. Pemberia pengayaan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik yang memiliki kecepatan dalam belajar dapat lebih ditingkaatkan lagi hasil belajarnya serta dapat mempertahankan hasil belajar yang telah dicapai serta memperoleh kesempatan berkembang secara optimal. Melalui program pengayaan peserta didik diberikan kesempatan untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan dan keterampilan dalam bidang mata pelajaran yang digelutinya (Supardi, 2014: 67).
Program pembelajaran perbaikan atau remedial merupakan bentuk pembelajaran khusus yang diberikan guru kepada seorang atau sekelompok peserta didik yang memmiliki masalah dan kelambanan dalam belajar. Disebut pengajaran khusus karena peserta didik yang dilayani adalah peserta didik yang memliki masalah dalam belajar (kurang atau tidak menguasai indikator/kompetensi dasar/materi pokok, kesalahan memahami konsep, dan sebagainya), sehingga diperlukan strategi, metode dan media pembelajaran yang khusus disesuaikan dengan permasalahan belajar yang dialami peserta didik.
Kinerja guru juga dapat ditunjukkan dari seberapa besar kompetensi-kompetensi yang dipersyaratkan dipenuhi. Kompetensi tersebut meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional (Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10).
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengolah pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perencanan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai kemampuan yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian adalah kepribadian yang mantap, skill dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Kompetensi profesi adalah kemampuan penyesuaian bahan mata pelajaran pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif denga peserta didik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (Supardi, 2014: 69).
Kinerja guru berkaitan erat dengan kompetensi yang dikuasai oleh guru, kompetensi tersebut dijabarkan melalui hasil dari kerja yang sudah dijalankan oleh guru. Kompetensi tersebut juga berhubungan dengan sikap dalam keseharian, apapun kondisi di lingkungan kerjanya, guru harus stabil dalam menyikapinya. Jika kompetensi guru terkuasai dengan sangat baik, maka kinerja guru berjalan dengan sangat baik pula.
Mengenai kompetensi yang harus dikuasai oleh guru, sudah dijabarkan pada Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan kompetensi tersebut sebagai cerminan dari kinerja guru. Kinerja guru berkaitan erat dengan penjabaran penguasaan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru.
Berdasarkan uraian di atas, kinerja guru adalah hasil kerja guru berdasarkan kemampuan maupun karakter guru mengenai sikap, perilaku, serta kemampuan yang relatif stabil ketika menghadapi situasi dan kondisi di tempat kerjanya, yang terbentuk oleh sikap dan perilakunya tersebut.
2.          Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja
Timpe mengemukakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi prestasi kerja atau kinerja seseorang antara lain adalah lingkungan, perilaku manajemen, desain jabatan, penilaian kinerja, umpan balik dan administrasi pengupahan (dalam Supardi, 2014: 50). Sedangkan Kopelman menyatakan bahwa: kinerja organisasi ditentukan oleh empat faktor antara lain yaitu: (1) lingkungan, (2) karateristik individu, (3) karakterstik organisasi, dan (4) karakteristik pekerjaan (dalam Supardi, 2014: 50).
Dengan demikian, dapat diartikan bahwa kinerja pegawai sangat dipengaruhi oleh karakteristik individu yang terdiri atas pengetahuan, keterampilan, kemampuan, motivasi, kepercayaan, nilai-nilai, serta sikap. Karakteristik individu sangat dipengaruhi oleh karakteristik organisasi dan karakteristik pekerjaan. Karakteristik-karakteristik tersebut dapat dilihat seperti gambar berikut ini:
3.          Penilaian Kinerja Guru
Penilaiaian kinerja menurut Bangun (2012: 232) dapat ditinjau ke dalam jumlah dan kualitas pekerjaan yang diselesaikan karyawan pada periode tertentu. Yamin dan Maisah (2010: 137) mengemukakan bahwa penilaian kinerja guru umumnya dilakukan secara formal atau terstruktur. Sedangkan Michel menyatakan bahwa aspek yang dilihat dalam menilai kinerja individu (termasuk guru), yaitu: quality of work, proptness, initiatif, capability, and communication (Michel dikutip oleh Supardi, 2014: 70). Berdasarkan pendapat di atas kinerja guru dinilai dari penguasaan keilmuan, keterampilan tingkah laku, kemampuan membina hubungan, kualitas kerja, inisiatif, kapasitas diri serta kemampuan dalam berkomunikasi.
Penilaian kinerja terhadap guru sangat diperlukan. Karena penilaian kinerja guru bermanfaat dalam mengetahui tentang perbaikan prestasi kerja, adaptasi kompensasi, keputusan penempatan, kebutuhan latihan dan pengembangan perencanaan dan pengembangan karier, penyimpangan proses staffing, ketidakakuratan informasional, kesalahan desain pekerjaan, kesempatan kerja yang adil, dan tentangan eksternal (Handoko dalam Supardi, 2014: 72).
Agar penilaian kinerja guru mudah dilaksanakan serta membawa manfaat diperlukan pedoman dalam penilaian kinerja. Pedoman penilaian terhadap kinerja guru mencakup: (1) Kemampuan dalam memahami materi bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya (subject mastery and content knowledge). (2) Keterampilan metodologi yaitu merupakan keterampilan cara penyampaian bahan pelajaran dengan metode pembelajaran yang bervariasi (metodological skills atau technical skills). (3) Kemampuan berinteraksi dengan peserta didik sehingga tercipta suasana pembelajaran yang kondusif yang bisa memperlancar pembelajaran. (4) Di samping itu, perlu juga adanya sikap profesional (professional standard-professional attitude), yang turut menentukan keberhasilan seorang guru di dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan panggilan sebagai seorang guru (Manusung, 1988: 77-78, Supardi, 2014: 72).
Dengan melihat dari dua subjek utama dalam manajemen sumber daya manusia, yaitu guru dan kepala sekolah. Kegunaan penilaian kinerja pada umumnya memenuhi dua tujuan, yaitu: (1) Meningkatkan kinerja guru dengan cara membantu mereka menyadari dan menggunakan potensi mereka sepenuhnya dalam menjalankan misi-misi organisasi, serta; (2) Menyediakan informasi kepada guru dan kepala madrasah yang akan dipakai dalam keputusan-keputusan pekerjaan terkait (Cascio, 1998: 303, Supardi, 2014: 73).
Penilaian kinerja guru haruslah secara berkesinambungan dilaksanakan, karena dengan penilaian kinerja guru akan memberikan dampak positif bagi guru untuk terus memperbaiki apa yang menjadi kekurangannya setelah pelaksanaan penilaian kinerja guru dilaksanakan. Penilaian kinerja guru juga memberikan kesempatan kepada guru untuk meningkatkan kinerja guru, dan memberikan kesempatan kepada guru untuk memperoleh informasi terbaru yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Informasi tersebut dalam bentuk pengembangan meode dan media pembelajaran, metode penguasaan kelas, dan lain sebagainya.
4.          Indikator Pengukuran Kinerja Guru
Mengacu pada pendapat Michel di atas mengenai aspek yang dilihat dalam menilai kinerja individu (termasuk guru), Supardi (2014: 70) mengemukakan indikator yang berkaitan dengan variabel kinerja guru meliputi: (a) kualitas kerja, (b) kecepatan/ketepatan guru, (c) inisiatif dalam kerja, (d) kemampuan kerja, dan (e) komunikasi.
a.    Kualitas kerja. Indikator kualitas kerja guru terdiri dari menguasai bahan pelajaran, mengelola proses belajar mengajar, mengelola kelas.
b.    Kecepatan/ketepatan kerja. Indikator kecepatan/ketepatan kerja guru berhubungan dengan penggunaan media atau sumber belajar, menguasai landasan pendidikan, merencanakan program pembelajaran.
c.    Inisiatif dalam kerja. Indikator inisiatif dalam kerja guru terdiri dari memimpin kelas, mengelola interaksi belajar mengajar, melakukan penilaian hasil belajar siswa.
d.   Kemampuan  kerja. Indikator kemampuan kerja guru meliputi penggunaan berbagai metode dalam pembelajaran, memahami dan melaksanakan fungsi dan layanan bimbingan penyuluhan.
e.    Komunikasi. Indikator komunikasi dalam hal ini dapat memahami dan menyelenggarkan administrasi sekolah, memahami dan dapat menafsirkan hasil-hasil penelitian untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Kelima indikator di atas merupakan aplikasi dari kinerja guru. Kualitas kerja, berhubungan langsung dengan kemampuan guru dalam menguasai segala sesuatu berkaitan dengan proses pembelajaran, yang terdiri atas bahan pelajaran, pengelolaan proses belajar mengajar dan pengelolaan kelas. Kecepatan/ketepatan kerja, merupakan indikator yang berkaitan dengan penggunaan media pembelajaran yang sesuai dengan isi materi pembelajaran, bahkan berhubungan langsung dengan ketepatan guru dalam merencanakan program pembelajaran dengan waktu yang tersedia. Inisiatif dalam kerja, merupakan kemampuan guru dalam mengelola kelas dengan baik dan benar, sampai dengan penilaian yang dilakukan. Kemampuan kerja, meruupakan indikator yang berhubungan dengan metode yang sesuai dalam proses pembelajaran sekaligus kemampuan dalam memberikan layanan bimbingan penyuluhan kepada siswa-siswa yang membutuhkan bimbingan dan arahan. Komunikasi, merupakan indikator yang sangat mutlak wajib dikuasai oleh guru. Dengan komunikasi yang baik, maka guru akan dengan mudah untuk mengembangkan kemampuannya dan menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tugasnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan tugas pembelajaran di sekolah dan bertanggung jawab atas peserta didik di bawah bimbingannya dengan meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Oleh karena itu, kinerja guru dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan seorang guru dalam menjalankan tugasnya di sekolah serta menggambarkan adanya suatu perbuatan yang ditampilkan guru dalam atau selama melakukan aktivitas pembelajaran. Indikator kinerja guru meliputi: (a) kualitas kerja, (b) kecepatan / ketepatan, (c) inisiatif, (d) kemampuan, dan (e) komunikasi.
B.           Motivasi Kerja
1.          Pengertian Motivasi Kerja
Sebelum mengacu pada pengertian motivasi, terlebih dahulu kita menelaah pengidentifikasian kata motif dan kata motivasi. Motif menurut Winkel (dalam Uno, 2013: 3) adalah daya penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan aktifitas tertentu, demi mencapai tujuan tertentu. Istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat. Motif tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu (Adi dalam Uno, 2013: 3).
Motif menurut Gerungan (dalam Uno, 2013: 3) dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (1) motif biogenetis, yaitu motif-motif yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan organisme demi kelanjutan hidupnya, misalnkan lapar, haus, kebutuhan akan kegiatandan istirahat, mengambil napas, seksualitas, dan sebagainya; (2) motif sosiogenetis, yaitu motif-motif yang berkembang berasal dari lingkungan kebudayaan tempat orang tersebut berada. Jadi, motif inini tidak berkembang dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan setempat. Misalnya, keinginan mendengarkan musik, makan pecel, makan coklat, dan lain-lain; (3) motif teologis, dalam motif ini manusia adalah sebagai makhluk yang berketuhanan, sehingga ada interaksi antara manusia dengan Tuhan-Nya, seperti ibadahnya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk merealisasikan norma-norma sesuai agamanya.
Dari sudut sumber yang menimbulkannya, menurut Uno (2013: 4) motif dibedakan dua macam, yaitu intrisik dan motif ekstrinsik. Motif instrinsik, timbulnya tidak memerlukan rangsangan dari luar karena memang telah ada dalam diri individu sendiri, yaitu sesuai atau sejalan dengan kebutuhannya. Sedangkan motif ekstrinsik timbul karena adanya rangsangan dari luar individu, misalnya dalam bidang pendidikan terdapat minat yang positif terhadap kegiatan pendidikan timbul karena melihat manfaatnya.
Robbins (dalam Priansa, 2014: 201) mendefinisikan motivasi sebagai proses yang menunjukkan intensitas individu, arah, dan ketekunan dari upaya menuju pencapaian tujuan. Motivasi menurut Danim (2012: 23) dapat diartikan sebagai setiap daya gerak atau daya dorong yang muncul pada diri individu untuk secara sadar mengabdikan diri bagi pencapaian tujuan organisasi. Motivasi (Uno, 2013: 1) adalah dorongan dasar yang menggerakan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri seseorang yang menggerakan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam dirinya. Oleh karena itu, perbuatan sesorang yang didasarkan atas motivasi tertentu mengandung tema sesuai dengan motivasi yang mendasarinya.
Motivasi juga dapat dikatakan sebagai perbedaan antara dapat melaksanakan dan mau melaksanakan. Motivasi lebih dekat pada mau melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan. Motivasi adalah kekuatan baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Atau dengan kata lain, motivasi dapat diartikan sebagai pendorong mental terhadap perorangan atau orang-orang sebagai anggota masyarakat. Motivasi dapat juga diartikan sebagai proses untuk mencoba memengaruhi orang atau orang-orang yang dipimpinnya agar melakukan pekerjaan yang diinginkan sesuai dengan tujuan tertentu yang ditetapkan lebih dahulu.
Untuk membahas motivasi kerja, terlebih dahulu dikemukakan pandangan kerja itu sendiri. Pandangan kerja dan bekerja dewasa ini menurut Uno (2013: 66-68), bukanlah seperti pandangan konservatif yang menyatakan bahwa kerja jasmaniah adalah bentuk hukuman sehingga tidak disukai orang. Akan tetapi dewasa ini, kerja dan bekerja sudah menjadi kebutuhan. Oleh karena itu, visi modern melihat kerja sebagai: (1) aktivitas dasar dan dijadikan bagian esensial dari kehidupan manusia. Seperti bermain bagi anak-anak, maka kerja selaku aktivitas sosial—bisa memberikan kesenangan dan arti tersendiri bagi kehidupan orang dewasa, (2) kerja memberikan status dan mengikat sesorang kepada individu lain dan masyarakat, (3) pada umumnya, wanita maupun pria menyukai pekerjaan, jadi mereka suka bekerja, (4) moral pekerja dan pegawai tidak mempunyai kaitan langsung dengan kondisi fisik atau material dari pekerjaan, (5) insentif kerja banyak sekali bentuk-bentuknya, diantaranya ialah uang, dalam kondisi normal merupakan insentif yang paling tidak penting.
Dengan adanya motivasi keja, seorang guru mempunyai kekuatan dalam dirinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kekuatan itu bisa dari dalam dirinya, bisa juga dari orang lain. Selain itu, motivasi kerja dapat dikatakan sebagai proses memengaruhi orang-orang yang dipimpinnya agar melakukan pekerjaan yang diinginkan guna mencapai tujuan yang diinginkan dan sudah ditetapkan. Dengan motivasi kerja, hasil yang dicapai diharapkan akan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan kajian teori dan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa bahwa motivasi kerja guru adalah keseluruhan proses pemberian motif  atau dorongan kerja pada para bawahan terutama para guru sebagai agen pendidikan dan pengajaran, agar tujuan pendidikan dan pengajaran dapat tercapai sesuai dengan rencana apa yang diharapkan.
2.          Hakikat Motivasi Kerja
Purwanto (dalam Uno, 2013: 64) mengatakan bahwa fungsi motivasi bagi manusia adalah: (1) sebagai motor penggerak bagi manusia, ibarat bahan bakar pada kendaraan, (2) menentukan arah perbuatan, yakni ke arah perwujudan suatu tujuan atau cita-cita, (3) mencegah penyelewengan dari jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan, dalam hal ini makin jelastujuan,maka makin jelas pula bentangan jalan yang harus ditempuh, (4) menyeleksi perbuatan diri, artinya menentukan perbuatan mana yang harus dilakukan, yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyampingkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan itu.
Dalam melakukan pekerjaan, biasanya seseorang tidak selamanya hanya dipengaruhi oleh motivasi ekstrinsik seperti pemenuhan keuangan semata, tetapi motivasi instrinsik merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Motivasi instrinsik tersebut antara lain kebanggaan akan dirinya dapat melakukan sesuatu pekerjaan yang orang lain belum tentu mampu melakukannya, kecintaan terhadap pekerjaan itu atau minat yang besar terhadap tugas atau pekerjaan yang dilakukannya selama ini. Oleh sebab itu, motivasi kerja tidak hanya berwujud kepentingan ekonomis saja, tetapi bisa juga berbentuk kebutuhan psikis untuk lebih melakukan pekerjaan secara aktif.
Berdasarkan beberapa pandangan para ahli tentang motivasi di atas, maka dikemukakan inti dari pandangan tersebut sebagai berikut: (a) Para ahli teori menyajikan penafsiran yang sedikit berbeda danmenekankan pada faktor yang berbeda-beda. Hal ini menunjukan bahwa tidak terdapat suatu rumusan yang baku tentang motivasi, dimana terdapat perbedaan pada faktor yang bervariasi. (b) Motivasi erat hubungannya dengan perilaku dan prestasi kerja, Hal ini memberi arti bahwa makin baik motivasi seseorang dalam melakukan pekerjaannya maka makin baik pula prestasi kerjanya atau sebaliknya. (c) Motivasi diarahkan untuk mencapai tujuan. Pemberian motivasi haruslah diarahkan untuk pencapaian tujuan. Itulah sebanya perumusan tujuan dalam suatu organisai haruslah jelas dan rasional. Hanya dengan kejelasan tujuan maka semua personal yang terlihat dalam organisai dpat dengan mudah memahami dan melaksanakannya. (d) Perbedaan fisiologis, psikologis, dan lingkukan merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan pimpinan dalam memotivasi karyawan atau bawahan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa setiap karyawan atau bawahan memiliki perbedaan fisiologis, psikologis, serta berasal dari lingkungan yang berbeda.
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa pemberian motivasi tidak dapat dipisahkan dengan konsep kebutuhan manusia. Salah satu teori jenjang sangat populer berkaitan dengan kebutuhan dari Maslow. Maslow (dalam Uno, 2013: 68) mengatakan terdapat lima jenjang kebutuhan, yaitu (1) the physiological needs (kebutuhan fisiologis), (2) security needs (kebutuhan rasa aman), (3) social needs (kebutuhan rasa memiliki dan rasa cinta), (4) self-respect needs (kebutuhan harga diri) , dan (5) self-fulfillment needs (kebutuhan perwujudan diri).
Sejalan dengan  jenjang kebutuhan tersebut, Kenneth dikutip oleh Uno (2013: 68) mengemukakan berbagai kebutuhan yang memengaruhi perilaku individu dalam organisai sebagai berikut: (1) kebutuhan hidup, (2) kebutuhan keamanan, (3) kebutuhan berafiliasi, (4) kebutuhan akan adanya penghargaan, (5) kebutuhan untuk tidak bergantung pada orang lain, dan (6) kebutuhan akan prestasi dan kompetensi.
Berbagai ciri yang dapat diamati bagi seseorang yang memiliki motivasi kerja, antara lain sebagai berikut : (1) kinerjanya tergantung pada usaha dan kemampuan yang dimilikinya dibandingkan dengan kinerja melalui kelompok, (2) memiliki kemampuan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang sulit, dan (3) sering kali terdapat umpan balik yang konkret tentang bagaimana seharusnya ia melaksnakan tugas secara optimal, efektif dan efesien (Uno, 2013: 69).
Dari berbagai tahapan pemberian motivasi yang dipaparkan di atas ada dua tahapan yang disepakati para pakar sebagai faktor penentu perlu tidaknya seseorang diberikan motivasi. Kedua faktor menurut Uno (2013: 70) tersebut adalah (1) Kebutuhan, dan (2) pengarahan perilaku. Analisis terhadap kebutuhan sebagai dasar pemberian motivasi kepada seseorang dapat dijelaskan sebagai berikut. Seorang guru misalnya, akan termotivasi untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan apabila ia mengetahui bahwa ada kebutuhan yang tidak terpenuhi. Dengan bekerja, satu kebutuhan yang tidak terpenuhidapat terpuaskan. Faktor kedua adalah pengarahan perilaku, yaitu para guru sepakat bahwa karena dipengaruhi oleh kebutuhan, para guru mengarahkan perilaku mereka kearah pencapaian tujuan tersebut. Artinya, seorang guru yang merasa kebutuhannya tidak terpuaskan, berusaha untuk memuaskan dengan acara mengarahkan perilakunya sehingga tujuan (kepuasan) dapat dicapai.
3.          Teori Motivasi
       Menurut Bangun (2012: 316-321) teori motivasi mulai dikenal pada tahun 1950-an. Secara khusus, pada awalnya ada tiga teori motivasi antara lain, teori hierarki kebutuhan (the hierarchy of needs theory), teori dua faktor (two factor theory), dan teori X dan Y.
a.    Teori Hierarki Kebutuhan
       Teori ini pertama sekali dikemukakan oleh Abraham Maslow, mungkin bisa dikatakan teori inilah yang paling populer bila dibanding dengan teori-teori motivasi lainnya. Teori ini menjelaskan bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan (need) yang munculnya sangat bergantung pada kepentingannya secara individu. Berdasarkan hal tersebut, maslow membagi kebutuhan manusia tersebut menjadi lima tingkatan, sehingga teori motivasi ini disebut sebagai “the five hierarchy need” mulai dari kebutuhan yang pertama sampai pada kebutuhan yang tertinggi. Adapun kelima tingkatan kebutuhan tersebut antara lain, kebutuhan fisiologis (psysiological need), kebutuhan rasa aman, (safety need), kebutuhan sosial (social need), kebutuhan harga diri (esteem need), dan kebutuhan untuk aktualisasi diri (need for self actualization).
b.    Teori Dua Faktor
       Teori dua faktor pertama sekali dikemukakan oleh Frederick Herzberg. Dalam teori ini dikemukakan bahwa, pada umumnya para karyawan baru cenderung untuk memusatkan perhatiannya pada pemuasan kebutuhan lebih rendah dalam pekerjaan pertama mereka, terutama keamanan.Berdasarkan hasil penelitiannya, Herzberg membagi dua faktor yang memengaruhi kerja seseorang dalam organisasi, antara lain faktor kepuasan dan ketidakpuasan.
       Faktor kepuasan atau motivator factor dikatakan sebagai faktor pemuas karena dapat memberikan kepuasan kerja seseorang dan juga dapat meningkatkan prestasi para pekerja, tetapi faktor ini tidak dapat menimbulkan ketidakpuasan bila hal itu tidak terpenuhi. Jadi faktor kepuasan bukanlah merupakan lawan dari faktor ketidakpuasan. Faktor kepuasan disebut juga sebagai motivasi intrinsik (intrinsic motivation).
       Faktor ketidakpuasan (dissatisfaction), biasa juga disebut sebagai hygiene factor atau faktor pemeliharaan merupakan faktor yang bersumber dari ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor tersebut, antara lain, kebijakan dan administrasi perusahaan (company policy and administration), pengawasan (supervision), penggajian (salary), hubungan kerja (interpersonal relation), kondisi kerja (working condition), keamanan kerja (job security), dan status pekerjaan (job status). Faktor ketidakpuasan ini biasa juga disebut sebagai motivasi ekstrinsik (extrinsic motivation).
c.    Teori X dan Y
       Teori X dan Y pertama sekali dikemukakan oleh Douglas McGregor. Dalam teori ini akan dikemukakan dua pandangan berbeda mengenai manusia, pada dasarnya yang satu adalah negatif yang ditandai dengan teori X, dan yang lainnya adalah bersifat positif yang ditandai dengan teori Y. Mc.Gregor menyimpulkan bahwa pandangan seorang manajer mengenai sifat manusia didasarkan pada suatu pengelompokan dengan asumsi-asumsi tertentu. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, manajer menetapkan perilakunya terhadap bawahannya.
       Implikasi manajerial dari Teori X dan Y dapat diuraikan secara sederhana dalam proses manajemen adalah sebagai berikut: (1) Tetapkan tujuan dan susun rencana untuk mencapainya. (2) Laksanakan rencana melalui kepemimpinan. (3) Kendalikan dan buatlah penilaian atas hasil yang dicapai dengan membandingkannya dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya.
4.          Indikator Motivasi Kerja Guru
Indikator penelitian ini merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Herzberg, bahwa kepuasan dan ketidakpuasan seseorang dalam bekerja dapat ditinjau dari dua aspek, keduanya dalam penelitian ini dijadikan indikator yaitu (a) aspek intrinsik (dapat dinilai dengan keberhasilan, pengakuan dan pengembangan) dan (b) aspek ekstrinsik (dinilai dengan kebijaksanaan, hubungan antar personal, kepuasan akan gaji, supervisi dan kondisi kerja).
Indikator motivasi kerja dari aspek intrinsik lebih mengedepankan aspek dari diri guru tersebut, di mana guru yang bermotivasi kerja tinggi dapat dinilai dari keberhasilan dalam proses pembelajaran melalui prestasi belajar siswa yang diraih. Selain itu, pengakuan dari orang lain dan proses pengembangan kerjanya juga merupakan aspek intrinsik dalam motivasi kerja guru. Sedangkan aspek ekstrinsik dapat dilihat dari kebijaksanaan yang diambil dalam proses pembelajaran, hubungan antar personal guru dengan guru lainnya, kepuasan akan gaji atau honor yang diterima. Penilaian lain dari motivasi kerja guru dari aspek ekstrinsik dapat dilihat dari supervisi yang dilakukan atasan guru tersebut dan kondisi kerja sehari-hari, guru akan bermotivasi tinggi jika guru nyaman dalam lingkungan kerjanya dan mempunyai pimpinan yang dapat memotivasi untuk semakin lebih baik dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, motivasi adalah dorongan dari dalam diri dan luar diri seseorang untuk melakukan sesuatu yang terlihat dari dimensi internal dan eksternal. Motivasi kerja guru adalah suatu proses yang dilakukan untuk menggerakkan guru agar perilaku mereka dapat diarahkan pada upaya-upaya yang nyata untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Indikator kinerja dapat diukur melalui: (a) aspek intrinsik, (b) aspek ekstrinsik.
C.          Kedisiplinan
1.                            Pengertian Kedisiplinan
       Disiplin menurut Slamet (2007: 215) dari akar kata “disciple” yang berarti belajar. Disiplin kerja menurut Robbins (dalam Slamet, 2007: 215) dapat diartikan sebagai suatu sikap dan perilaku yang dilakukan secara sukarela dengan penuh kesadaran dan kesediaan mengikuti peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi atau atasan, baik tertulis maupun tidak tertulis.
       Menurut Siagian (2009: 305) disiplin merupakan tindakan manajemen untuk mendorong para anggota organisasi memenuhi tuntutan berbagai ketentuan (standar yang harus dipenuhi). Dengan perkataan lain, pendisiplinan pegawai adalah suatu bentuk pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku karyawan sehingga para karyawan tersebut secara sukarela berusaha bekerja secara kooperatif dengan para karyawan yang lain serta meningkatkan prestasi kerjanya.
       Kedisiplinan juga dapat berarti peraturan yang dilakukan dengan ketegasan jiwa dengan penuh tanggung jawab. Sementara itu, menurut Simamora yang dikutip oleh Slamet (2007: 215-216), mendefinisikan disiplin sebagai bentuk pengendalian diri pekerja, dan pelaksanaan yang teratur dan menunjukkan kesungguhan tim kerja. Dengan demikian kedisiplinan merupakan fungsi operatif manajemen sumber daya manusia yang terpenting, karena semakin baik disiplin pekerja, maka akan semakin tinggi prestasi kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin pekerja yang baik, sulit buat organisasi untuk mencapai hasil yang optimal. Berdasarkan konteks tersebut dapat dikemukakan bahwa disiplin merupakan arahan untuk melatih dan membentuk seseorang melakukan sesuatu menjadi lebih baik. Oleh karena itu disiplin adalah suatu proses yang dapat menumbuhkan perasaan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan tujuan organisasi secara obyektif, melalui kepatuhannya menjalankan peraturan organisasi.
       Kedisiplinan dalam penelitian ini adalah keadaan mengajar guru di mana guru tergabung dalam warga yang telah ada dengan senang hati. Atau dengan kata lain kedisiplinan kerja guru adalah suatu sikap atau perilaku seseorang yang menunjukan nilai-nilai ketaatan, kesetiaan dan ketertiban yang terbentuk dalam serangkaian proses pendidikan dan pelatihan agar guru sebagai warga sekolah tunduk pada peraturan atau tata tertib yang telah ada dengan senang hati untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah.
       Berdasarkan uraian di atas dapat diijelaskan bahwa kedisiplinan guru adalah tingkah laku atau perilaku yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar. kedisiplinan kerja guru masing-masing  berbeda-beda, ada guru yang memiliki disiplin kerja yang tinggi, tetapi ada pula guru yang memiliki kedisiplinan belajar yang rendah.
2.Jenis Disiplin
       Siagian (2007: 305-306) menyatakan ada dua jenis disiplin dalam organisasi, yaitu yang bersifat preventif dan yang bersifat korektif.
a. Pendisiplinan Preventif
       Pendisiplinan yang bersifat preventif adalah tindakan yang mendorong para karyawan untuk taat kepada berbagai ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Artinya melalui kejelasan dan penjelasan tentang pola sikap, tindakan dan perilaku yang diinginkan dari setiap anggota organisasi diusahakan pencegahan jangan sampai para karyawan berperilaku negatif.
b.Pendisiplinan Korektif
       Jika ada karyawan yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang berlaku atau gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan, kepadanya dikenakan sanksi disipliner. Berat atau ringannya suatu sanksi tentunya tergantung pada bobot pelanggaran yang telah terjadi. Pengenaan sanksi biasanya mengikuti prosedur yang sifatnya hierarki.
       Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 20, menjelaskan bahwa dimensi kedisiplinan guru tertuang dalam kewajiban-kewajiban guru dalam bidang pembelajaran adalah: (a) merencanakan pembelajaran, (b) melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, dan (c) menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.
       Guru harus memahami tentang disiplin-disiplin yang harus ditaatinya, kemudian mengimplementasikan ke dalam kerjanya sehari-hari. Guru yang disiplin akan lebih dihormati dan ditaati oleh peserta didik, sehingga akan lebih mudah membawa peserta didik mau dibawa kemana sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
3.Prinsip-prinsip Disiplin
       Prinsip-prinsip untuk menciptakan disiplin menurut Slamet (2007: 217-218) adalah suatu prinsip yang harus diciptakan agar tegaknya disiplin dalam suatu organisasi. Prinsip-prinsip yang harus diciptakan adalah:
a.    Pemimpin mempunyai perilaku positif. Untuk dapat menjalankan disiplin yang baik dan benar, seorang pemimpin harus dapat menjadi peran sebagai model atau panutan bagi bawahannya. Oleh karena itu seorang pimpinan harus dapat mempertahankan perilaku yang positif sesuai dengan harapan staf.
b.    Penelitian yang cermat. Dampak dari tindakan indisipliner cukup serius, pimpinan harus memahami akibatnya. Data dikumpulkan secara faktual, dapatkan informasi dari staf yang lain, tanyakan secara pribadi rangkaian pelanggaran yang telah dilakukan, analisa, dan bila perlu minta pendapat dari pimpinan lainnya.
c.    Kesegeraan. Pimpinan harus peka terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh bawaan sesegera mungkin dan harus diatasi dengan cara yang bijaksana. Karena, bila dibiarkan menjadi kronis, pelaksanaan disiplin yang akan ditegakkan dapat dianggap lemah, tidak jelas dan akan mempengaruhi hubungan kerja dalam organisasi tersebut.
d.    Lindungi kerahasiaan (privacy). Tindakan indisipliner akan mempengaruhi ego staf, oleh karena itu akan lebih baik apabila permasalahan didiskusikan secara pribadi, pada ruangan tersendiri dengan suasan yang rileks dan tenang. Kerahasiaan harus tetap dijaga karena mungkin dapat mempengaruhi masa depannya.
e.    Fokus pada masalah. Pimpinan harus dapat melakukan penekanan pada kesalahan yang dilakukan bawahan dan bukan pada pribadinya, kemukakan bahwa kesalahan yang dilakukan tidak dapat dibenarkan.
f.     Peraturan dijalankan secara konsisten. Peraturan dijalankan secara konsisten, tanpa pilih kasih. Setiap pegawai yang bersalah harus dibina sehingga mereka tidak merasa dihukum dan dapat menerima sanksi yang dilakukan secara wajar.
g.    Fleksibel. Tindakan disipliner ditetapkan apabila seluruh informasi tentang pegawi telah dianalisa dan dipertimbangkan. Hal yang menjadi pertimbangan antara lain adalah tingkat kesalahannya, prestasi pekerjaan yang lalu, tingkat kemampuannya dan pengaruhnya terhadap organisasi.
h.    Mengandung nasihat. Jelaskan secara bijaksana bahwa pelangaran yang dilakukan tidak dapat diterima. File pegawai yang berisi catatan khusus dapat digunakan sebagai acuan, sehingga mereka dapat memahami kesalahannya.
i.      Tindakan konstruktif. Pimpinan harus yakin bahwa bawahan telah memahami perilakunya bertentangan dengan tujuan organisasi dan jelaskan kembali pentingnya peraturan untuk staf maupun organisasi. Upayakan agar staf dapat merubah perilakunya sehingga tindakan indisipliner tidak terulang lagi.
j.      Follow Up (Evaluasi). Pimpinan harus secara cermat mengawasi dan menetapkan apakah perilaku bawahan sudah berubah. Apabila perilaku bawahan tidak berubah, pimpinan harus melihat kembali penyebabnya dan mengevaluasi kembali batasan akhir tindakan indisipliner.
       Prinsip disiplin di atas, juga dapat diterapkan dalam mendisiplinkan guru, mulai dari teladan kepala sekolah selaku pimpinan, dan akibat yang timbul akibat indisipliner yang dilakukan oleh guru.  Selain itu, evaluasi oleh kepala sekolah terhadap kedisiplinan guru hendaknya dijalankan secara berkesinambungan dengan tetap menjaga kerahasiaan sanksi yang diberikan kepada guru yang indisipliner.
4.Tujuan Disiplin
       Tujuan disiplin menurut Slamet (2007: 218-219) difokuskan untuk mengoreksi penampilan kerja agar peraturan kerja dapat diberlakukan secara konsisten. Tidak bersifat menghakimi dalam memberlakukan hukuman atas tindakan indisipliner. Guna mengatasi adanya tindakan indisipliner, perlu adanya adanya proses untuk mengatasinya, yaitu melalui bimbingan, teguran secara lisan, teguran secara tertulis, dan skors. Setiap pentahapan dapat berhenti dalam setiap tahap saja. Hal ini dimungkinkan kalau disiplin telah tercipta lagi.
a.    Teguran secara lisan terbatas dalam hal mengingatkan pegawai untuk kesalahan yang kecil dan baru pertama kali dilakukan. Sebagai suatu tindakan koeksi, biasanya teguran dilakukan secara pribadi dengan cara yang bersahabat dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan.
b.    Teguran secara tertulis dilakukan apabila pelanggaran diulangi kembali, tidak menunjukkan perbaikan atau pelanggarannya cukup serius. Dalam teguran secara tertulis, harus dicantumkan nama pegawai, nama pimpinan, permasalahannya, rencana perbaikan, dan batas waktu perbaikan serta konskwensinya apabila pelanggaran diulangi.
c.    Keputusan terakhir atau terminasi dilakukan karena pimpinan melihat bahwa kesalahan yang dilakukan oleh bawahan sudah sangat serius dan selama batas waktu perbaikan perilaku bawahan tidak memperlihatkan perubahan. Keputusan terakhir biasanya dilakukan dengan melibatkan pimpinan organisasi.
          Tujuan disiplin tersebut juga dapat digunakan pada guru dalam suatu sekolah yang melakukan tindakan indisipliner. Dimana kepala sekolah dalam melaksanakan tujuan disiplin, dapat melalui teguran secara lisan, teguran secara tertulis dan dapat melalui tindakan dengan keputusan terakhir dengan skors dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada tingkat kesalahannya maupun kebijakan dari institusi atau organisasi.
5.Implementasi Prosedur Disiplin
       Prosedur disiplin menurut Slamet (2007: 219) dapat ditegakkan dengan melakukan suatu upaya (a) persiapan, di mana tanggung jawab yang dilanggar sebagai bukti. (b) objektif, dalam arti pelanggaran yang dilakukan harus diteliti dengan cermat, dengan bukti yang nyata, sebelum tindakan disipiner yang dilakukan. Tindakan indisipliner harus dilakukan dengan adil tidak pilih kasih. (c) kerahasiaan, dalam arti catatan harus dijaga kerahasiaannya. Wawancara dilakukan dengan rileks di ruangan tertutup dan tenang. Hormati hak individu, beri kesempatan untuk mengemukakan pendapat. Diskusikan masalahnya bukan pribadinya.
       Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan juga oleh kepala sekolah selaku pimpinan, bahwasanya untuk mendisiplinkan guru haruslah melalui tahapan-tahapan yang telah ditetapkan. Tahapan tersebut dapat melalui persiapan terhadap penghargaan dan sanksi yang diberikan. Selanjutnya, pemberian penghargaan dan sanksi harus bersifat objektif serta harus dijaga kerahasiaannya.
6.          Indikator Kedisiplinan
       Indikator variabel kedisiplinan dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Slamet (2007: 219), yang mengemukakan prosedur disiplin dapat ditegakkan dengan melakukan suatu upaya (a) persiapan, dimana tanggung jawab yang dilanggar sebagai bukti. (b) objektif, dalam arti pelanggaran yang dilakukan harus diteliti dengan cermat, dengan bukti yang nyata, tindakan indisipliner harus dilakukan dengan adil. (c) kerahasiaan dalam arti catatan harus dijaga kerahasiaannya.
       Berdasarkan uraian tentang kedisiplinan, disiplin pada hakikatnya adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dalam bentuk tidak melakukan sesuatu tindakan yang tidak sesuai dan bertentangan dengan sesuatu yang telah ditetapkan dan melakukan sesuatu yang mendukung dan melindungi sesuatu yang telah ditetapkan. Disiplin kerja guru merupakan kemampuan seorang guru untuk secara teratur, tekun secara terus-menerus dan bekerja sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dengan tidak melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Indikator kedisiplinan terlihat melalui: (a) Persiapan, (b) Objektif, (c) Kerahasiaan.

Daftar Pustaka.
Kartono, Kartini. 1990. Psikology Umum. Bandung : CV. Mandar Maju.
Terry D. Evaluation: A Practical Guide for Teachers. New York: McGraw-Hill Book Company
Hasibuan Malayu S. P. Drs. 1996. Manajemen Dasar, _Pengertian dan. Masalah. Jakarta : PT Gunung Agung
Sondang P Siagian. 1995. Teori Motivasi dan Aplikasinya. PT. Rineka Cipta. Jakarta