====================================================================
Proses Pembelajaran
Hakekat Belajar
Suatu hal yang lazim dalam memahami tentang suatu
konsepsi adalah munculnya berbagai pandangan dan paham yang berbeda, termasuk
berkenaan dengan hakekat belajar.
Berikut beberapa pandangan dan paham tentang makna
belajar dari beberapa pakar, antara lain yang akan dikemukakan oleh Skinner,
Chaplin, Reber dan Biggs. Lebih banyak kita pahami pendapat-pendapat ahli
tentang belajar, akan membawa kita kepada pemahaman yang lebih mendalam serta
kemampuan yang handal dalam mengelola serta merancang kegiatan pembelajaran
sebagai tugas utama selaku praktisi pendidikan di lapangan, yang tentunya
dengan tidak melupakan starting point dari konsep perubahan sebagai inti
dari makna dan batasan tentang belajar, menurut
Skinner : Belajar adalah suatu proses adapatasi (penyesuaian
tingkah laku) yang berlangsung secara progresif.
Chaplin : Belajar adalah perolehan
perubahan tingkah laku yang relatit menetap sebagai akibat latihan dan
pengalaman.
Hitzman : Belajar adalah suatu perubahan
yang terjadi dalam diri organisme, manusia atau hewan, disebabkan oleh
pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut.
Wittig : Belajar adalah perubahan yang relatif
menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu
organisme sebagai hasil pengalaman.
Reber : Proses memperoleh suatu pengetahuan
dan atau suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil
latihan yang diperkuat.
Biggs : Belajar adalah kegiatan pengisian atau pengembangan
kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya dan atau pengabsahan
terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah dipelajari.
Selain beberapa pengertian tentang belajar dari beberapa
ahli di atas, juga kita mengenal beberapa aliran ataupun paham tentang belajar,
diantaranya adalah :
1. Teori Belajar
menurut Ilmu Jiwa Daya
Menurut teori
ini, jiwa manusia terdiri dari bermacam-macam daya. Masing-masing daya dapat
dilatih dalam rangka memenuhi fugsingya. Yang penting bukan penguasaan bahan
atau materinya, melainkan hasil dari pembentukan dari daya-daya itu. Belajar
merupakan perubahan fungsional.
2. Teori Belajar
Menurut Ilmu Jiwa Asosiasi
Manusia
bereaksi dengan lingkungannya secara keseluruhan, tidak hanya secara
intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial dsb. Belajar adalah
penyesuaian diri dengan lingkungan. Belajar merupakan pengayaan materi
pengetahuan dan atau perkayaan pola-pola sambutan prilaku baru.
3. Teori Belajar
menurut Ilmu Jiwa Gestalt
Belajar
merupakan perubahan prilaku dan pribadi secara keseluruhan. Dan aliran ini ada
dua teori belajar yakni konektionisme dan conditioning. Teori konektionisme
menyatakan belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon.
Teori conditioning, suartu proses belajar merupakan pembiasaan terhadap suatu
tindakan tertentu, secara berulang-ulang.
Dari berbagai pandangan maupun teori belajar tersebut,
ternyata berbeda. Namun menunjukkan beberapa kesamaan tentang beberapa ciri
perubahan sebagai hasil belajar yakni :
1. Perubahan itu
intensional (sengaja dan disadari dilakukannya).
2. Perubahan itu
positif (sesuai dengan apa yang diharapkan) baik dipandang dari segi siswa
maupun tuntutan masyarakat orang dewasa.
3. Perubahan itu
efektif (memiliki pengaruh dan makna tertentu) relatif tetap dan setiap saat
diperlukan dapat direproduksi dan dipergunakan.
4. Manisfestasi
hasil belajar secara umum dapat berupa : kebiasaan, keterampilan, pengamatan,
berfikir asosiatif dan daya ingat, berfikir rasional dan kritis, sikap,
inhibis, apresiasi dan tingkah laku afektif. Secara sederhana dapat pula
dikatakan bahwa manisfestasi hasil belajar dapat berupa pertambahan materi
pengetahuan, penguasaan pola-pola prilaku dan perubahan dalam pola-pola
kepribadian.
Pengertian Proses Pembelajaran
Istilah pembelajaran berhubungan erat dengan pengertian
belajar dan mengajar, yang mana belajar-mengajar dan pembelajaran terjadi
secara bersama-sama. Proses pembelajaran dapat pula terjadi tanpa kehadiran
guru atau tanpa kegiatan mengajar dan belajar secara formal. Akan tetapi proses
pembelajaran dapat dilakukan di manapun dan kapanpun tanpa terikat formalitas
lembaga pendidikan. Sedangkan mengajar atau belajar secara formal yang dimaksud
penulis dalam skripsi ini yaitu meliputi segala hal yang guru lakukan di kelas
atau di luar kelas dalam suatu jam mata pelajaran atau di luar jam mata
pelajaran yang masih ada ikatan dengan peraturan sekolah. Hal ini diperkuat
oleh pernyataan Wijaya Kusumah dalam artikelnya bahwa Strategi dan pendekatan
pembelajaran tidak lagi bertumpu pada guru tetapi berorientasi pada siswa
sebagai subyek (student centered). Guru bukan lagi satu-satunya sumber
belajar bagi siswa. Tanpa guru, pembelajaran tetap dapat dilaksanakan karena
adanya sumber belajar yang lain.
Istilah pembelajaran lebih menggambarkan usaha
guru untuk membuat belajar para siswanya. Kegiatan pembelajaran tidak akan
berarti jika tidak menghasilkan kegiatan belajar pada para siswanya. Kegiatan
belajar hanya bisa berhasil jika si pembelajar secara aktif mengalami sendiri
proses belajar. Seorang guru tidak dapat “mewakili” belajar untuk siswanya.
Seorang siswa belum dapat dikatakan telah belajar hanya karena ia sedang berada
dalam satu ruangan dengan guru yang sedang mengajar. Ada satu syarat mutlak
yang harus dipenuhi agar terjadi kegiatan belajar. Syarat itu adalah adanya
interaksi antara pebelajar (learner) dengan sumber belajar. Jadi,
belajar hanya terjadi jika dan hanya jika terjadi interaksi antara
pebelajar dengan sumber belajar. Tanpa terpenuhi syarat itu, mustahil kegiatan
belajar akan terjadi.
Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya
perubahan pada diri seorang. Inilah yang merupakan sebagai inti proses
pembelajaran. Perubahan teresebut bersifat; 1. Intensional, yaitu perubahan
yang terjadi karena pengalaman atau praktek yang dilakukan, proses belajar
dengan sengaja dan disadari, buka terjadi karena kebetulan, 2. Positif-aktif,
perubahan yang bersifat positif-aktif. Perubahan bersifat positif yaitu
perubahan yang bermanfaat sesuai dengan harapan pelajar, disamping menghasilkan
sesuatu yang baru dan lebih baik dibanding sebelumnya, sedangkan perubahan yang
bersifat aktif yaitu perubahan yang terjadi karena usaha yang dilakukan
pelajar, bukan terjadi dengan sendirinya, 3. Efektif fungsional, perubahan yang
bersifat efektif yaitu dimana adanya perubahan yang memberikan penaruh dan
manfaat bagi pelajar. Adapun yang bersifat fungsional yaitu perubahan yang
relatif tetap serta dapat diproduksi atau dimanfaatkan setiap kali dibutuhkan.
Dapat penulis simpulkan dalam pembehasan di atas
bahwasanya terjadinya perubahan menjadi lebih baik pada diri siswa tidak hanya
disebabkan oleh faktor penyampaian materi pembelajaran oleh guru yang baik dan
mudah dicerna oleh peserta didik, akan tetapi perubahan itu murni dari kehendak
peserta didik itu sendiri. Oleh karena itu tugas pendidik dalam proses
pembelajaran adalah menjadikan peserta didik mau dan mampu belajar secara
efektif dan efesian (tepat sasaran). Dan media pembelajaran adalah sarana yang
cukup meringankan tugas guru untuk proses pembelajaran.
Proses Belajar
Belajar merupakan suatu proses perubahan yang terjadi
pada diri siswa sebagai hasil dari sejumlah pengalaman yang ditempuh, baik
bersifat pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Karena belajar merupakan suatu
proses perubahan pada diri seseorang siswa, makan belajar hanya akan terjadi
apabila siswa memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk berubah sesuai dengan
potensi dan kemampuannya.
Proses belajar dapat terjadi bukan saja oleh adanya suatu
kesadaran (berpikir), tetapi juga dapat terjadi oleh naluri, yang ada
pada diri individu. Persoalannya, apa itu naluri? Naluri, atau yang sering
disebut juga insting, adalah suatu kemampuan yang dimiliki manusia di
samping adalah kemampuannya bernalar (pengoperasian otak berpikir).
Dalam naluri, atau insting peranan otak tidak lagi dominan. Mental-emosional
individu juga turut ambil bagian dalam berperan menggerakkan individu melakukan
suatu aktivitas. Dalam konsep Freud (Sigmund Freud, 1856-1939), naluri atau
insting adalah representansi psikologis bawaan dari eksitasi (keadaan tegang
dan terangsang) pada tubuh yang diakibatkan oleh munculnya suatu kebutuhan
tubuh. Menurut Freud naluri akan menghimpun sejumlah energy psikis apabila suatu
kebutuhan muncul, dan pada gilirannya naluri ini akan menekan atau mendorong
individu untuk bertindak kearah pemuasan kebutuhan yang nantinya bisa
mengurangi ketegangan yang ditimbuljan oleh tekanan energy psikis tersebut.
Contoh, apabila tubuh membutuhkan makan, maka energi psikis akan terhimpun
dalam naluri lapar yang. Mendorong dan menggerakkan individu untuk bertindak
memuaskan kebutuhan akan makanan (memakan makanan). Dari sini diperoleh
gambaran bahwa pada naluri terdapat empat macam unsur, yaitu : sumber, upaya,
objek, dan dorongan. Sumber dari naluri adalah kebutuhan upaya
adalah mengisi kekurangan atau memuaskan kebutuhan; sedangkan objeknya dalah
hal-hal yang bisa memuaskan kebutuhan (misalnya makanan bagi naluri lapar).
Naluri itu bersifat mendorong atas diri Individu untuk bertindak dan bertingkah
laku (Freud, dalam Teori-teori Kepribadian, E. Koswara, 1991) Naluri juga
diartikan, misalnya : 1) sebagai dorongan hati, atau nafsu yang dibawa sejak
lahir ; merupakan pembawaan alami yang secara tidak didasari mendorong indivudu
berbuat sesuatu; 2) perbuatan atau reaksi yang sangat majemuk dan tidak pernah
dipelajari lebih dulu, misalnya dalam mempertahankan kelangsungan hidup ;3)
sebagai serangakaian kegiatan reflex (kegiatan psiko-fisik yang berlangsung
diluar perintah otak) yang terkoordinasi; dan 4) sebagai sederetan
reaksi-reaksi psiko-fisik yang tidak bergantung kepada pengalaman-pengalaman
terdahulu (Kamus Besar Bahsa Indonesia, 1999).
Suatu peristiwa belajar yang digerakan oleh naluri, atau
berlangsung secara “tidak disadari” oleh individu dapat dicontohkan, misalnya
seorang siswa yang prestasi belajarnya kurang baik suatu saat ikut mengalami
kesedihan yang dialami oleh rekan dalam kelompok sebayanya, yang tidak naik
kelas karena prestasi belajarnya yang lebih buruk daripadanya. Dari kenyataan
itu siswa tersebut, berdasarkan nalurinya (misalnya oleh naluri “tanatos” atau
naluri kematian, yang muncul dalam bentuk rasa takut tidak naik kelas, dan
takut dimarahi orang tuanya sendiri kalau tidak naik kelas. Tidak naik kelas
dan dimarahi oleh orang tua bagi siswa ini merupakan “kematian”), akhinya
belajar agar tidak sampai mengalami apa yang dialami oleh teman dalam kelompok
sebayanya tersebut. Misalnya, ia selalu berusaha mengerjakan pekerjaan rumah,
atau tugas-tugas yang diberikan guru di sekolah, dan bersikap lebih patuh pada
gurunya. Semua itu dilakukan bukan oleh kesadarannya, namun oleh naluri
“tanatos” yang muncul dalam bentuk rasa takutnya. Atau, seseorang yang secara
refleks ikut melakukan gerakan-gerakan suatu jurus bela diri yang sedang
diperagakan oleh seseorang lainnya. Gerakan-gerakan yang secara refleks itu
dilakukan oleh dorongan nalurinya dalam mepertahankan diri. Lain halnya dengan
yang digerakkan oleh kesadaran. Individu belajar karena kesadarannya, misalnya
atas kesadaran tentang manfaat belajar itu sendiri. Ia percaya bahwa belajar
bermanfaat meningkatkan kualitas dirinya. Dengan belajar. Antara lain ia akan
dapat mengetahui sesuatu yang sebelumya tidak diketahui; ia akan memahami sesuatu
yang tadinya tidak dipahami; dan ia akan dapat melakukan sesuatu (bersifat
psikomotoris) yang sebelumnya tak dapat dilakukannya.
Proses yang disebut sebagai belajar ini didefinisikan
bermacam-macam. Definisi tersebut dirumuskan berdasarkan pada sudut pandang dan
pendekatan yang digunakan. Misalnya, 1) belajar sebagai suatu proses
pertumbuhan yang dihasilkan oleh pertumbuhan berkondisi stimulus dan respon ;
2) belajar sebagai suatu gejala aktivitas ppsiko-fisik individu dalam proses
“menjadi”. Atau , 3) belajar sebagai suatu bentuk aktivitas
tertentu yang berlangsung di dalam aktivitas interaksi antar individu dengan
individu lainnya suatu kelompok sosial.
Sementara, para behaviourist (penganut psikologi
behaviour) memastikan bahwa belajar pada dasarnya adalah menghubungkan
sebuah respons tertentu pada sebuah stimulus yang tadinya tidak berhubungan. Respons
tertentu ini kemudian diperkuat ikatannya melalui bermacam-macam cara yang
terkondisi.
Sedangkan bagi penganut teori “Gestalt” (sebuah teori
yang berasal dari Jerman, hijrah ke Amerika bersama tokoh-tokohnya, W. Kohler,
K. Koffa, dan M. Wertheimer), hakikat belajar adalah penemuan hubungan
unsur-unsur di dalam ikatan keseluruhan. Dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi berikutnya, belajar didefinisikan, misalnya sebagai
proses perubahan tingkah laku yang terjadi dalam suatu situasi yang berarti
secara individual. Proses yang terjadi secara individual di dalam suatu
situasi, bukan terjadi di dalam suatu ruang hampa. Situasi belajar ini
ditandai dengan adanya motif-motif yang ditetapkan dan, atau diterima oleh
peserta belajar. Pelaku belajar menerapkan sendiri motif belajarnya, atau
pihak luar dirinya (misalnya guru) yang menetapkan motif tersebut.
Kadang-kadang suatu proses belajar tidak dapat mencapai
hasil yang maksimal disebabkan oleh tidak adanya kekuatan pendorong\, misalnya
karena individu tidak atau belum mengetahui tujuan dan manfaat belajar, serta
tidak memiliki motivasi belajar yang kuat. Motivasi yang sehat
perlu ditumbuhkan secara integral (terpadu) di dalam dunia belajar, yakni
diambil dari dalam sistem nilai lingkungan hidup individu, dan ditunjukan pada
penjelasan tugas-tugas perkembangan individu sebagai peserta belajar.
Motivasi yang berdaya dorong besar biasanya adalah motivasi
yang bersifat intrinsic (yang berasal dari dalam diri sendiri).
Contohnya, jika pelaku belajar dapat melihat dengan jelas, atau individu
mengerti dan memahami hubungan-hubungan antara nilai, dan tugas-tugas
perkembangannya, maka ia akan dapat menjadi cukup tangguh mengahadapi
kesulitan-kesulitan, rintangan-rintangan, dan situasi-situasi yang kurang
menyenangkan saat melakukan aktivitas belajar.
Motivasi dapat diaksentuasi (dititik beratkan) dari sudut
kebutuhan individu sebagai pelaku belajar. Apabila upaya individu sebagai
pelaku belajar telah mengahasilkan suatu pola tingkah laku yang
sesuai dengan tujuan semula, proses belajar dapat dikatakan mencapai titik
akhir sementara. Pola tingkah laku tersebut terlihat pada perbuatan,
reaksi-reaksi dan sikap individu pelaku belajar, secara fisik maupun
mental.
Hal ini menjelaskan bahwa hasil belajar tidak pernah
terpisah-pisah (antara yang utama dengan yang mengiringinya). Hasil yang
dicapai kemudian akan mendapatkan tempat di dalam perbendaharaan pengetahuan peserta
belajar. Dan setiap penambahan akan mempengaruhi struktur perbendaharaan
tersebut secara menyeluruh lagi.
Individu di dalam proses belajar menghadapi situasi
belajar secara pribadi (individu). Tiap situasi belajar akan dihadapi oleh
dirinya sebagai individu yang utuh. Akhirnya, ketika proses belajar
berlangsung, individu tidak dapat mengisolir (mengasingkan ; memisahkan)
sebagain dari dirinya sebagai pribadi. Oleh sebab itu penting bagi guru untuk
memperhatikan individual (perhatian yang diberikan kepada setiap
individu murid, atau secara perorangan) dalam proses belajar-menajar yang
dilakukannya. Tidak melulu menggunakan pendekatan klasikal (dari kata kelas.
Perhatian yang diberikan kepada semua murid di kelas).
Dalam pengembangan KBK, kegiatan belajar siswa sebaiknya
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Memberikan
peluang bagi siswa untuk mencari, mengolah dan menemukan sendiri pengetahuan
dibawah bimbingan guru atau orang dewasa.
2. Merupakan pola
yang mencerminkan ciri khas dalam pengembangan keterampilan dasar mata
pelajaran yang bersangkutan.
3. Disesuaikan
dengan ragam sumber belajar dan dan sarana belajar yang tersedia.
4. Bervariasi
dengan mengkombinasikan antara kegiatan belajar perseorangan, pandangan
kelompok dan klasikal.
5. Memperhatikan
pelayanan terhadap perbedaan individual siswa (Puskur, Balitbang Depdiknas,
2002: 13).
Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa, kegiatan siswa
dalam belajar benar-benar memberikan pelatihan kemandirian, kepercayaan diri
sekaligus tanggung jawab siswa terhadap dirinya, sehingga belajar yang ditempuh
benar-benar merupakan sesuatu yang syarat dan kaya dengan pengalaman, tidak
hanya sebatas ruang kelas dengan situasi yang kaku dan statis, melainkan dapat
memanfaatkan setiap kesempatan yang ada baik dalam lingkungan sekolah maupun
diluar sekolah.
Demikian pula sumber materi, tidak hanya terbatas buku
dan apa yang disampaikan guru, melainkan seluruh asset yang tersedia pada
masyarakat dan lingkungan lainnya.
Selanjutnya terdapat beberapa prinsip kegiatan belajar
mengajar (Puskur, Balitbang Depdiknas, 2002), yakni :
1. Berpusat pada
siswa
2. Belajar dengan
melakukan
3. Mengembangkan
kemampuan sosial
4. Mengembangkan
keingintahuan, imajinasi dan fitrah ber-Tuhan.
5. Mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah
6. Mengembangkan
kreativitas siswa
7. Mengembangkan
kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi
8. Menumbuhkan
kesadaran sebagai warga negara yang baik.
9. Belajar
sepanjang hayat.
10. Perpaduan
kompetisi, kerjasama dan solidaritas.
Korelasi antara
Teknologi Kinerja Manusia dan Proses Belajar
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan
ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap
dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah
proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Kurikulum yang dikembangkan sekolah saat ini menuntut
perubahan pendekatan pembelajaran yang mulanya berpusat pada guru (teacher
centered learning) menjadi pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered
learning). Hal ini sesuai dengan tuntutan masa depan anak yang harus
memiliki keterampilan berpikir dan belajar (thingking and learning skils),
seperti keterampilan memecahkan masalah (problem solving), keterampilan
berpikir kritis (critical thingking), kolaborasi, dan keterampilan
berkomunikasi. Berbagai keterampilan yang diharapkan bisa dimiliki siswa dapat
terwujud jika guru mampu mengembangkan rencana pembelajaran yang mendorong
siswa untuk bekerja sama dan menantang siswa untuk berpikir kritis.
Selain pendekatan pembelajaran, siswa harus diberi
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan menguasai teknologi informasi dan komunikasi.
Kemajuan teknologi informasi canggih khususnya yang berbasis elektronik untuk
mengelola pengetahuan dalam organisasi perlu dimanfaatkan secara optimal.
Sedangkan peranan guru dengan otoritasnya terbatas pada
upaya perancangan suatu kondisi yang memungkinkan siswa untuk belajar, dengan
berbagai prakarsa, motivasi dan tanggung jawab profesi yang dimilikinya.
KESIMPULAN
Dari pemaparan tadi maka dapat disimpulkan, bahwa :
Belajar merupakan suatu proses perubahan yang terjadi pada diri siswa sebagai
hasil dari sejumlah pengalaman yang ditempuh, baik bersifat pengetahuan, sikap
maupun keterampilan. Karena belajar merupakan suatu proses perubahan pada diri
seseorang siswa, maka belajar hanya akan terjadi apabila siswa memiliki
dorongan dari dalam dirinya untuk berubah sesuai dengan potensi dan
kemampuannya, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
KOMPONEN-KOMPONEN PROSES BELAJAR
Korelasi antara Teknologi Kinerja Manusia dan Proses
Belajar mengakibatkan peran siswa bergeser dari peran sebagai “Konsumen”
gagasan (menyalin, mendengar, menghafal) ke peran sebagai “produsen gagasan
(bertanya, meneliti, mengarang, menulis kisah sejarah dll). Peran guru berada
pada fungsi sebagai “Fasilitator” (pemberi kemudahan berlangsungnya peristiwa
belajar) dan bukan penghambat peristiwa belajar.”
DAFTAR PUSTAKA
Salma, Dewi dan Eveline Siregar. 2004. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta
: Kencana Prenada Media Group.
Miarso, Yusufhadi. 2009. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta
: Kencana 2009.
Bambang, Warsita. 2008. Teknologi Pembelajaran, Landasan dan Aplikasinya.
Jakarta : Rineka Cipta.
Dian Sukmara. 2005. Implementasi Program Life Skill dalam Kurikulum
Berbasis Kompetensi pada Jalur Sekolah. Bandung : Mughni Sejahtera.
Udin. S, Winataputra. 1993. Proses Belajar Mengajar yang Efektif.
Jakarta : PT. Bina Karya.