A. Kinerja Guru
1. Pengertian Kinerja Guru
Kinerja (performance) menurut Bangun (2012: 231)
adalah hasil pekerjaan yang dicapai seseorang berdasarkan
persyaratan-persyaratan pekerjaan (job requirement).
Kinerja merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk melaksanakan,
menyelesaikan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan harapan dan tujuan yang
telah ditetapkan (Supardi, 2014: 45).
Kinerja sering disebut dengan prestasi yang merupakan
hasil atau apa yang keluar (outcomes) dari sebuah pekerjaan dan
kontribusi sumber daya manusia terhadap organisasi. Bila diaplikasikan dalam
aktivitas pada lembaga pendidikan berdasarkan pendapat di atas, maka kinerja yang dimaksud adalah: (a) prestasi kerja pada penyelenggara
lembaga pendidikan dalam melaksanakan program pendidikan mampu menghasilkan
ulusan atau output yang semakin
meningkat kualitasnya; (b)
mampu memperlihatkan/ mempertunjukkan kepada masyarakat (dalam hal ini peserta
didik) berupa pelayanan yang baik; (c) biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk menitipkan anaknya
sebagai peserta didik dalam memenuhi kebutuhan belajarnya tidak memberatkan dan
terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat; dan (d) dalam melaksanakan tugasnya para
pengelola lembaga pendidikan seperti kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikannya semakin baik dan berkembang
serta mampu mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat yang selalu berubah sesuai
dengan kemajuan dan tuntutan zaman (Supardi,
2014: 46).
Whitmore
secara sederhana mengemukakan, kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang
dituntut dari seseorang (dalam Uno, 2012: 59-60). Pengertian yang menurut
Whitmore merupakan pengertian yang menuntut kebutuhan paling minim untuk
berhasil. Kinerja menuntut adanya pengekspresian potensi seseorang, dan
tanggung jawab atau kepemilikan yang menyeluruh. Jika tidak, maka hal ini tidak
akan menjadi potensi seseorang, tetapi sebagian akan menjadi milik orang lain.
Berdasarkan
pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerja
yang telah dicapai oleh seseorang dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan
berdasarkan atas standarisasi atau ukuran dan waktu yang disesuaikan dengan
jenis pekerjaannya dan sesuai dengan norma dan etika yang telah ditetapkan.
Menurut undang-undang No. 14 Tahun 2005 tantang Guru
dan Dosen Pasal 1 ayat (1), guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru sebagai pendidik menurut Sagala (2013: 6)
adalah tokoh yang paling banyak bergaul dan berinteraksi dengan para murid
dibandingkan dengan para personel lainnya di sekolah. Guru bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan bimbingan dan pelatihan, melakukan penelitian dan pengkajian, dan
membuka komunikasi dengan masyarakat.
Kinerja
guru menurut Supardi (2014: 54) merupakan kemampuan seorang guru dalam
melaksanakan tugas pembelajaran di madrasah dan bertanggung jawab atas peserta
didik di bawah bimbingannya dengan meningkatkan prestasi belajar peserta didik.
Oleh karena itu, kinerja guru itu dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang
menunjukkan kemampuan seorang guru dalam menjalankan tugasnya di madrasah serta
menggambarkan adanya suatu perbuatan ang ditampilkan guru dalam atau selama
melakukan aktivitas pembelajaran. Guru yang memiliki kinerja baik dan
profesional dalam implementasi kurikulum memiliki ciri-ciri: mendesain program
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran dan menilai hasil belajar peserta didik (Supardi, 2014: 59, mengutip Basyirudin dan Usman, 2002: 83).
Perencanaan pembelajaran dibuat oleh guru meliputi:
(1) penentuan tujuan pembelajaran, (2) pemilihan materi sesuai dengan waktu,
(3) strategi optimum, (4) alat dan sumber, serta (5) kegiatan belajar peserta
didik, dan (6) evaluasi (Rasyidin, 1988: 63-64, Nurdin dan Usman, 2002: 86 dalam Supardi, 2014: 60).
Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari rencana pelaksanaan pembelajaran.
Pelaksanaan pembelajaran menurut Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah meliputi: kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup
(Lampiran Permendiknas RI nomor
41 tahun 2007, dalam Supardi, 2014:
60).
Selain
perencanaan, proses pembelajaran dan kemampuan membina hubungan dilakukan juga
terhadap kemampuan guru dalam melakukan penilaian. Penilaian yang dilakukan
guru pada saat awal, proses maupun pada akhir pembelajaran. Pada awal
pembelajaran penilaian dapat dilakukan melalui pre test dan apersepsi.
Penilaian pada proses pembelajaran dapat dilakukan melalui observasi, tanya
jawab dan diskusi. Dan penilaian pada akhir kegiatan proses pembelajaran dapat
dilakukan melalui post
test, pemberian tugas, dan sebagainya. Penilaian yang dilakukan
meliputi hasil belajar dan prestasi belajar (Supardi, 2014: 64).
Penilaian awal, proses dan akhir pembelajaran adalah awal proses pembelajaran dilakukan
penilaian mengenai peserta didik untuk mengetahui tingkat perkembangan
kognitif, afektif dan kesiapan mempelajari bahan baru, bahan yang telah
dipelajari sebelumnya (entering behavior), pengalaman berhubungan
dengan bahan pelajaran. Selama berlangsungnya proses pembelajaran, peserta
didik harus dipantau dan dinilai terus menerus, untuk mengetahui hingga manakah
bahan telah dikuasai, bahan manakah yang harus dipahami, apa sebab kegagalan
memahami bahan tertentu, metode dan alat manakah yang ternyata paling besar
atau paling kecil manfaatnya, dan bahan manakah yang harus diajarkan kembali,
kepada peserta didik mana. Pada akhir pelajaran perlu lagi diadakan penilaian
untuk mengetahiu: Apakah yang telah mereka kuasai dari seluruh pelajaran, apa
yang tak berhasil mereka kuasai, apakah masih perlu diberikan ulangan, latihan inforcement
bagi peserta didik tertentu (Nurdin dan Usman, dalam Supardi, 2014: 64-65).
Selain
perencanaan, pelaksanaan, kemampuan membina hubungan dan evaluasi pembelajaran,
pada KTSP kinerja seorang guru dinilai dalam program remedial dan pengayaan
sebagai tindak lanjut dari evaluasi pebelajaran. Program pengayaan
merupakan program belajar yang diberikan kepada peserta didik yang cepat dalam
menguasai kompetensi dan materi pokok bahan pelajaran. Pemberia pengayaan
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik yang memiliki
kecepatan dalam belajar dapat lebih ditingkaatkan lagi hasil belajarnya serta
dapat mempertahankan hasil belajar yang telah dicapai serta memperoleh
kesempatan berkembang secara optimal. Melalui program pengayaan peserta didik
diberikan kesempatan untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan dan
keterampilan dalam bidang mata pelajaran yang digelutinya (Supardi, 2014: 67).
Program pembelajaran perbaikan atau remedial
merupakan bentuk pembelajaran khusus yang diberikan guru kepada seorang atau
sekelompok peserta didik yang memmiliki masalah dan kelambanan dalam belajar.
Disebut pengajaran khusus karena peserta didik yang dilayani adalah peserta didik yang memliki masalah dalam belajar (kurang atau tidak menguasai
indikator/kompetensi dasar/materi pokok, kesalahan memahami konsep, dan sebagainya),
sehingga diperlukan strategi, metode dan media pembelajaran yang khusus
disesuaikan dengan permasalahan belajar yang dialami peserta didik.
Kinerja guru juga dapat ditunjukkan dari seberapa
besar kompetensi-kompetensi yang dipersyaratkan dipenuhi. Kompetensi tersebut
meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan
kompetensi profesional (Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10).
Kompetensi
pedagogik adalah kemampuan mengolah pembelajaran peserta didik yang meliputi
pemahaman terhadap peserta didik, perencanan dan pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai kemampuan yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian adalah
kepribadian yang mantap, skill dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi
teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Kompetensi profesi adalah
kemampuan penyesuaian bahan mata pelajaran pembelajaran secara luas dan
mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi
yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi sosial adalah
kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul
secara efektif denga peserta didik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta
didik, dan masyarakat sekitar
(Supardi, 2014: 69).
Kinerja
guru berkaitan erat dengan kompetensi yang dikuasai oleh guru, kompetensi
tersebut dijabarkan melalui hasil dari kerja yang sudah dijalankan oleh guru.
Kompetensi tersebut juga berhubungan dengan sikap dalam keseharian, apapun
kondisi di lingkungan kerjanya, guru harus stabil dalam menyikapinya. Jika
kompetensi guru terkuasai dengan sangat baik, maka kinerja guru berjalan dengan
sangat baik pula.
Mengenai
kompetensi yang harus dikuasai oleh guru, sudah dijabarkan pada Undang-Undang
No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan kompetensi tersebut sebagai
cerminan dari kinerja guru. Kinerja guru berkaitan erat dengan penjabaran
penguasaan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru.
Berdasarkan
uraian di atas, kinerja guru adalah hasil kerja guru berdasarkan kemampuan
maupun karakter guru mengenai sikap, perilaku, serta kemampuan yang relatif
stabil ketika menghadapi situasi dan kondisi di tempat kerjanya, yang terbentuk
oleh sikap dan perilakunya tersebut.
2.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja
Timpe
mengemukakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi prestasi kerja atau kinerja
seseorang antara lain adalah lingkungan, perilaku manajemen, desain jabatan, penilaian kinerja,
umpan balik dan administrasi pengupahan (dalam Supardi, 2014: 50). Sedangkan
Kopelman menyatakan bahwa: kinerja organisasi ditentukan oleh empat faktor
antara lain yaitu: (1) lingkungan, (2) karateristik individu, (3) karakterstik
organisasi, dan (4) karakteristik pekerjaan (dalam Supardi, 2014: 50).
Dengan
demikian, dapat diartikan bahwa kinerja pegawai sangat dipengaruhi oleh
karakteristik individu yang terdiri atas pengetahuan, keterampilan, kemampuan,
motivasi, kepercayaan, nilai-nilai, serta sikap. Karakteristik individu
sangat dipengaruhi oleh karakteristik organisasi dan karakteristik pekerjaan.
Karakteristik-karakteristik tersebut dapat dilihat seperti gambar berikut ini:
3.
Penilaian Kinerja Guru
Penilaiaian
kinerja menurut Bangun (2012: 232) dapat ditinjau ke dalam jumlah dan kualitas
pekerjaan yang diselesaikan karyawan pada periode tertentu. Yamin dan Maisah
(2010: 137) mengemukakan bahwa penilaian kinerja guru umumnya dilakukan secara
formal atau terstruktur. Sedangkan Michel menyatakan bahwa aspek yang
dilihat dalam menilai kinerja individu (termasuk guru), yaitu: quality of
work, proptness, initiatif, capability, and communication (Michel dikutip oleh Supardi, 2014: 70).
Berdasarkan pendapat di atas kinerja guru dinilai dari penguasaan keilmuan,
keterampilan tingkah laku, kemampuan membina hubungan, kualitas kerja,
inisiatif, kapasitas diri serta kemampuan dalam berkomunikasi.
Penilaian kinerja terhadap guru sangat diperlukan.
Karena penilaian kinerja guru bermanfaat dalam mengetahui tentang perbaikan prestasi kerja, adaptasi
kompensasi, keputusan penempatan, kebutuhan latihan dan pengembangan
perencanaan dan pengembangan karier, penyimpangan proses staffing, ketidakakuratan
informasional, kesalahan desain pekerjaan, kesempatan kerja yang adil, dan
tentangan eksternal (Handoko dalam
Supardi, 2014: 72).
Agar penilaian kinerja guru mudah dilaksanakan serta
membawa manfaat diperlukan pedoman dalam penilaian kinerja. Pedoman penilaian
terhadap kinerja guru mencakup: (1) Kemampuan dalam memahami materi bidang
studi yang menjadi tanggung jawabnya (subject mastery and content knowledge).
(2) Keterampilan metodologi yaitu merupakan keterampilan cara penyampaian bahan
pelajaran dengan metode pembelajaran yang bervariasi (metodological skills atau
technical skills). (3) Kemampuan berinteraksi dengan peserta didik sehingga
tercipta suasana pembelajaran yang kondusif yang bisa memperlancar
pembelajaran. (4) Di samping itu, perlu juga adanya sikap profesional (professional
standard-professional attitude), yang turut menentukan keberhasilan seorang
guru di dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan panggilan
sebagai seorang guru (Manusung, 1988: 77-78, Supardi, 2014: 72).
Dengan melihat dari dua subjek utama dalam manajemen
sumber daya manusia, yaitu guru dan kepala sekolah. Kegunaan penilaian
kinerja pada umumnya memenuhi dua tujuan, yaitu: (1) Meningkatkan kinerja guru dengan cara membantu mereka menyadari dan
menggunakan potensi mereka sepenuhnya dalam menjalankan misi-misi organisasi,
serta; (2) Menyediakan informasi
kepada guru dan kepala madrasah yang akan dipakai dalam keputusan-keputusan
pekerjaan terkait (Cascio, 1998: 303, Supardi, 2014: 73).
Penilaian
kinerja guru haruslah secara berkesinambungan dilaksanakan, karena dengan
penilaian kinerja guru akan memberikan dampak positif bagi guru untuk terus
memperbaiki apa yang menjadi kekurangannya setelah pelaksanaan penilaian
kinerja guru dilaksanakan. Penilaian kinerja guru juga memberikan kesempatan
kepada guru untuk meningkatkan kinerja guru, dan memberikan kesempatan kepada
guru untuk memperoleh informasi terbaru yang dapat digunakan dalam proses
pembelajaran. Informasi tersebut dalam bentuk pengembangan meode dan media
pembelajaran, metode penguasaan kelas, dan lain sebagainya.
4.
Indikator
Pengukuran Kinerja Guru
Mengacu pada pendapat Michel di
atas mengenai aspek yang dilihat dalam menilai kinerja individu (termasuk
guru), Supardi (2014: 70) mengemukakan indikator yang berkaitan dengan variabel
kinerja guru meliputi: (a) kualitas kerja, (b) kecepatan/ketepatan guru, (c)
inisiatif dalam kerja, (d) kemampuan kerja, dan (e) komunikasi.
a.
Kualitas kerja. Indikator kualitas kerja
guru terdiri dari menguasai bahan pelajaran, mengelola proses belajar mengajar,
mengelola kelas.
b.
Kecepatan/ketepatan kerja. Indikator
kecepatan/ketepatan kerja guru berhubungan dengan penggunaan media atau sumber
belajar, menguasai landasan pendidikan, merencanakan program pembelajaran.
c.
Inisiatif dalam kerja. Indikator
inisiatif dalam kerja guru terdiri dari memimpin kelas, mengelola interaksi
belajar mengajar, melakukan penilaian hasil belajar siswa.
d.
Kemampuan kerja. Indikator kemampuan kerja guru
meliputi penggunaan berbagai metode dalam pembelajaran, memahami dan
melaksanakan fungsi dan layanan bimbingan penyuluhan.
e.
Komunikasi. Indikator komunikasi dalam
hal ini dapat memahami dan menyelenggarkan administrasi sekolah, memahami dan
dapat menafsirkan hasil-hasil penelitian untuk peningkatan kualitas
pembelajaran.
Kelima indikator di atas merupakan aplikasi dari
kinerja guru. Kualitas kerja, berhubungan langsung dengan kemampuan guru dalam
menguasai segala sesuatu berkaitan dengan proses pembelajaran, yang terdiri
atas bahan pelajaran, pengelolaan proses belajar mengajar dan pengelolaan
kelas. Kecepatan/ketepatan kerja, merupakan indikator yang berkaitan dengan
penggunaan media pembelajaran yang sesuai dengan isi materi pembelajaran,
bahkan berhubungan langsung dengan ketepatan guru dalam merencanakan program
pembelajaran dengan waktu yang tersedia. Inisiatif dalam kerja, merupakan
kemampuan guru dalam mengelola kelas dengan baik dan benar, sampai dengan
penilaian yang dilakukan. Kemampuan kerja, meruupakan indikator yang
berhubungan dengan metode yang sesuai dalam proses pembelajaran sekaligus
kemampuan dalam memberikan layanan bimbingan penyuluhan kepada siswa-siswa yang
membutuhkan bimbingan dan arahan. Komunikasi, merupakan indikator yang sangat
mutlak wajib dikuasai oleh guru. Dengan komunikasi yang baik, maka guru akan
dengan mudah untuk mengembangkan kemampuannya dan menyelesaikan pekerjaan yang
menjadi tugasnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
kinerja guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan tugas
pembelajaran di sekolah dan bertanggung jawab atas peserta didik di bawah
bimbingannya dengan meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Oleh karena
itu, kinerja guru dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menunjukkan
kemampuan seorang guru dalam menjalankan tugasnya di sekolah serta
menggambarkan adanya suatu perbuatan yang ditampilkan guru dalam atau selama
melakukan aktivitas pembelajaran. Indikator kinerja guru meliputi:
(a) kualitas kerja, (b)
kecepatan / ketepatan, (c) inisiatif, (d) kemampuan, dan (e) komunikasi.
B.
Motivasi Kerja
1.
Pengertian
Motivasi Kerja
Sebelum mengacu pada pengertian motivasi, terlebih
dahulu kita menelaah pengidentifikasian kata motif dan kata motivasi. Motif
menurut Winkel (dalam Uno, 2013: 3) adalah daya penggerak dalam diri seseorang
untuk melakukan aktifitas tertentu, demi mencapai tujuan tertentu.
Istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan
yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak
atau berbuat. Motif tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat
diinterpretasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan, atau
pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu (Adi dalam Uno, 2013: 3).
Motif menurut Gerungan (dalam Uno, 2013: 3) dapat dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu (1) motif biogenetis, yaitu motif-motif yang berasal dari
kebutuhan-kebutuhan organisme demi kelanjutan hidupnya, misalnkan lapar, haus,
kebutuhan akan kegiatandan istirahat, mengambil napas, seksualitas, dan
sebagainya; (2) motif sosiogenetis, yaitu motif-motif yang berkembang berasal
dari lingkungan kebudayaan tempat orang tersebut berada. Jadi, motif inini
tidak berkembang dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh lingkungan
kebudayaan setempat. Misalnya, keinginan mendengarkan musik, makan pecel, makan
coklat, dan lain-lain; (3) motif teologis, dalam motif ini manusia adalah
sebagai makhluk yang berketuhanan, sehingga ada interaksi antara manusia dengan
Tuhan-Nya, seperti ibadahnya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya keinginan
untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk merealisasikan norma-norma
sesuai agamanya.
Dari sudut sumber yang menimbulkannya, menurut Uno
(2013: 4) motif dibedakan dua
macam, yaitu intrisik dan motif ekstrinsik. Motif instrinsik, timbulnya tidak
memerlukan rangsangan dari luar karena memang telah ada dalam diri individu
sendiri, yaitu sesuai atau sejalan dengan kebutuhannya. Sedangkan motif
ekstrinsik timbul karena adanya rangsangan dari luar individu, misalnya dalam
bidang pendidikan terdapat minat yang positif terhadap kegiatan pendidikan
timbul karena melihat manfaatnya.
Robbins
(dalam Priansa, 2014: 201) mendefinisikan motivasi sebagai proses yang
menunjukkan intensitas individu, arah, dan ketekunan dari upaya menuju
pencapaian tujuan. Motivasi menurut Danim (2012: 23) dapat diartikan sebagai
setiap daya gerak atau daya dorong yang muncul pada diri individu untuk secara
sadar mengabdikan diri bagi pencapaian tujuan organisasi. Motivasi (Uno,
2013: 1) adalah dorongan
dasar yang menggerakan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri
seseorang yang menggerakan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan
dalam dirinya. Oleh karena itu, perbuatan sesorang yang didasarkan atas
motivasi tertentu mengandung tema sesuai dengan motivasi yang mendasarinya.
Motivasi
juga dapat dikatakan sebagai perbedaan antara dapat melaksanakan dan mau
melaksanakan. Motivasi lebih dekat pada mau melaksanakan tugas untuk mencapai
tujuan. Motivasi adalah kekuatan baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong
seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Atau
dengan kata lain, motivasi dapat diartikan sebagai pendorong mental terhadap
perorangan atau orang-orang sebagai anggota masyarakat. Motivasi dapat juga
diartikan sebagai proses untuk mencoba memengaruhi orang atau orang-orang yang
dipimpinnya agar melakukan pekerjaan yang diinginkan sesuai dengan tujuan
tertentu yang ditetapkan lebih dahulu.
Untuk
membahas motivasi kerja, terlebih dahulu dikemukakan pandangan kerja itu sendiri.
Pandangan kerja dan bekerja dewasa ini menurut Uno (2013: 66-68), bukanlah
seperti pandangan konservatif yang menyatakan bahwa kerja jasmaniah adalah
bentuk hukuman sehingga tidak disukai orang. Akan tetapi dewasa ini, kerja dan
bekerja sudah menjadi kebutuhan. Oleh karena itu, visi modern melihat kerja
sebagai: (1) aktivitas dasar dan dijadikan bagian esensial dari kehidupan
manusia. Seperti bermain bagi anak-anak, maka kerja selaku aktivitas
sosial—bisa memberikan kesenangan dan arti tersendiri bagi kehidupan orang
dewasa, (2) kerja memberikan status dan mengikat sesorang kepada individu lain
dan masyarakat, (3) pada umumnya, wanita maupun pria menyukai pekerjaan, jadi
mereka suka bekerja, (4) moral pekerja dan pegawai tidak mempunyai kaitan langsung
dengan kondisi fisik atau material dari pekerjaan, (5) insentif kerja banyak
sekali bentuk-bentuknya, diantaranya ialah uang, dalam kondisi normal merupakan
insentif yang paling tidak penting.
Dengan adanya motivasi keja, seorang guru mempunyai
kekuatan dalam dirinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kekuatan
itu bisa dari dalam dirinya, bisa juga dari orang lain. Selain itu, motivasi
kerja dapat dikatakan sebagai proses memengaruhi orang-orang yang dipimpinnya
agar melakukan pekerjaan yang diinginkan guna mencapai tujuan yang diinginkan
dan sudah ditetapkan. Dengan motivasi kerja, hasil yang dicapai diharapkan akan
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan kajian teori dan analisis di atas, dapat
disimpulkan bahwa bahwa motivasi kerja guru adalah keseluruhan proses pemberian
motif atau dorongan kerja pada para bawahan terutama para guru sebagai
agen pendidikan dan pengajaran, agar tujuan pendidikan dan pengajaran dapat
tercapai sesuai dengan rencana apa yang diharapkan.
2.
Hakikat Motivasi Kerja
Purwanto
(dalam Uno, 2013: 64) mengatakan bahwa fungsi motivasi bagi manusia adalah: (1)
sebagai motor penggerak bagi manusia, ibarat bahan bakar pada kendaraan, (2)
menentukan arah perbuatan, yakni ke arah perwujudan suatu tujuan atau cita-cita,
(3) mencegah penyelewengan dari jalan yang harus ditempuh untuk mencapai
tujuan, dalam hal ini makin jelastujuan,maka makin jelas pula bentangan jalan
yang harus ditempuh, (4) menyeleksi perbuatan diri, artinya menentukan
perbuatan mana yang harus dilakukan, yang serasi guna mencapai tujuan dengan
menyampingkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan itu.
Dalam
melakukan pekerjaan, biasanya seseorang tidak selamanya hanya dipengaruhi oleh
motivasi ekstrinsik seperti pemenuhan keuangan semata, tetapi motivasi
instrinsik merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Motivasi instrinsik
tersebut antara lain kebanggaan akan dirinya dapat melakukan sesuatu pekerjaan
yang orang lain belum tentu mampu melakukannya, kecintaan terhadap pekerjaan
itu atau minat yang besar terhadap tugas atau pekerjaan yang dilakukannya
selama ini. Oleh sebab itu, motivasi kerja tidak hanya berwujud kepentingan
ekonomis saja, tetapi bisa juga berbentuk kebutuhan psikis untuk lebih
melakukan pekerjaan secara aktif.
Berdasarkan
beberapa pandangan para ahli tentang motivasi di atas, maka dikemukakan inti
dari pandangan tersebut sebagai berikut: (a) Para ahli teori menyajikan
penafsiran yang sedikit berbeda danmenekankan pada faktor yang berbeda-beda.
Hal ini menunjukan bahwa tidak terdapat suatu rumusan yang baku tentang
motivasi, dimana terdapat perbedaan pada faktor yang bervariasi. (b) Motivasi
erat hubungannya dengan perilaku dan prestasi kerja, Hal ini memberi arti bahwa
makin baik motivasi seseorang dalam melakukan pekerjaannya maka makin baik pula
prestasi kerjanya atau sebaliknya. (c) Motivasi diarahkan untuk mencapai
tujuan. Pemberian motivasi haruslah diarahkan untuk pencapaian tujuan. Itulah
sebanya perumusan tujuan dalam suatu organisai haruslah jelas dan rasional.
Hanya dengan kejelasan tujuan maka semua personal yang terlihat dalam organisai
dpat dengan mudah memahami dan melaksanakannya. (d) Perbedaan fisiologis,
psikologis, dan lingkukan merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan
pimpinan dalam memotivasi karyawan atau bawahan. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa setiap karyawan atau bawahan memiliki perbedaan fisiologis,
psikologis, serta berasal dari lingkungan yang berbeda.
Sebagaimana
telah dijelaskan, bahwa pemberian motivasi tidak dapat dipisahkan dengan konsep
kebutuhan manusia. Salah satu teori jenjang sangat populer berkaitan dengan
kebutuhan dari Maslow. Maslow (dalam Uno, 2013: 68) mengatakan terdapat lima
jenjang kebutuhan, yaitu (1) the physiological needs (kebutuhan
fisiologis), (2) security needs (kebutuhan
rasa aman), (3) social needs
(kebutuhan rasa memiliki dan rasa cinta), (4) self-respect needs (kebutuhan harga diri) , dan (5) self-fulfillment needs (kebutuhan
perwujudan diri).
Sejalan
dengan jenjang kebutuhan tersebut,
Kenneth dikutip oleh Uno (2013: 68) mengemukakan berbagai kebutuhan yang
memengaruhi perilaku individu dalam organisai sebagai berikut: (1) kebutuhan
hidup, (2) kebutuhan keamanan, (3) kebutuhan berafiliasi, (4) kebutuhan akan
adanya penghargaan, (5) kebutuhan untuk tidak bergantung pada orang lain, dan
(6) kebutuhan akan prestasi dan kompetensi.
Berbagai
ciri yang dapat diamati bagi seseorang yang memiliki motivasi kerja, antara
lain sebagai berikut : (1) kinerjanya tergantung pada usaha dan kemampuan yang
dimilikinya dibandingkan dengan kinerja melalui kelompok, (2) memiliki kemampuan
dalam menyelesaikan tugas-tugas yang sulit, dan (3) sering kali terdapat umpan
balik yang konkret tentang bagaimana seharusnya ia melaksnakan tugas secara
optimal, efektif dan efesien (Uno, 2013: 69).
Dari
berbagai tahapan pemberian motivasi yang dipaparkan di atas ada dua tahapan
yang disepakati para pakar sebagai faktor penentu perlu tidaknya seseorang
diberikan motivasi. Kedua faktor menurut Uno (2013: 70) tersebut adalah (1)
Kebutuhan, dan (2) pengarahan perilaku. Analisis terhadap kebutuhan sebagai
dasar pemberian motivasi kepada seseorang dapat dijelaskan sebagai berikut.
Seorang guru misalnya, akan termotivasi untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan
apabila ia mengetahui bahwa ada kebutuhan yang tidak terpenuhi. Dengan bekerja,
satu kebutuhan yang tidak terpenuhidapat terpuaskan. Faktor kedua adalah
pengarahan perilaku, yaitu para guru sepakat bahwa karena dipengaruhi oleh
kebutuhan, para guru mengarahkan perilaku mereka kearah pencapaian tujuan
tersebut. Artinya, seorang guru yang merasa kebutuhannya tidak terpuaskan,
berusaha untuk memuaskan dengan acara mengarahkan perilakunya sehingga tujuan
(kepuasan) dapat dicapai.
3.
Teori Motivasi
Menurut Bangun (2012: 316-321) teori
motivasi mulai dikenal pada tahun 1950-an. Secara khusus, pada awalnya ada tiga
teori motivasi antara lain, teori hierarki kebutuhan (the hierarchy of needs theory), teori dua faktor (two factor theory), dan teori X dan Y.
a. Teori
Hierarki Kebutuhan
Teori ini pertama sekali dikemukakan oleh
Abraham Maslow, mungkin bisa dikatakan teori inilah yang paling populer bila
dibanding dengan teori-teori motivasi lainnya. Teori ini menjelaskan bahwa
setiap manusia mempunyai kebutuhan (need)
yang munculnya sangat bergantung pada kepentingannya secara individu. Berdasarkan
hal tersebut, maslow membagi kebutuhan manusia tersebut menjadi lima tingkatan,
sehingga teori motivasi ini disebut sebagai “the five hierarchy need” mulai dari kebutuhan yang pertama sampai
pada kebutuhan yang tertinggi. Adapun kelima tingkatan kebutuhan tersebut
antara lain, kebutuhan fisiologis (psysiological
need), kebutuhan rasa aman, (safety
need), kebutuhan sosial (social need),
kebutuhan harga diri (esteem need),
dan kebutuhan untuk aktualisasi diri (need
for self actualization).
b. Teori
Dua Faktor
Teori dua faktor pertama sekali
dikemukakan oleh Frederick Herzberg. Dalam teori ini dikemukakan bahwa, pada
umumnya para karyawan baru cenderung untuk memusatkan perhatiannya pada
pemuasan kebutuhan lebih rendah dalam pekerjaan pertama mereka, terutama
keamanan.Berdasarkan hasil penelitiannya, Herzberg membagi dua faktor yang
memengaruhi kerja seseorang dalam organisasi, antara lain faktor kepuasan dan
ketidakpuasan.
Faktor kepuasan atau motivator factor dikatakan sebagai faktor pemuas karena dapat
memberikan kepuasan kerja seseorang dan juga dapat meningkatkan prestasi para
pekerja, tetapi faktor ini tidak dapat menimbulkan ketidakpuasan bila hal itu
tidak terpenuhi. Jadi faktor kepuasan bukanlah merupakan lawan dari faktor
ketidakpuasan. Faktor kepuasan disebut juga sebagai motivasi intrinsik (intrinsic motivation).
Faktor ketidakpuasan (dissatisfaction), biasa juga disebut
sebagai hygiene factor atau faktor
pemeliharaan merupakan faktor yang bersumber dari ketidakpuasan kerja.
Faktor-faktor tersebut, antara lain, kebijakan dan administrasi perusahaan (company policy and administration),
pengawasan (supervision), penggajian
(salary), hubungan kerja (interpersonal relation), kondisi kerja (working condition), keamanan kerja (job security), dan status pekerjaan (job status). Faktor ketidakpuasan ini
biasa juga disebut sebagai motivasi ekstrinsik (extrinsic motivation).
c. Teori
X dan Y
Teori X dan Y pertama sekali dikemukakan
oleh Douglas McGregor. Dalam teori ini akan dikemukakan dua pandangan berbeda
mengenai manusia, pada dasarnya yang satu adalah negatif yang ditandai dengan
teori X, dan yang lainnya adalah bersifat positif yang ditandai dengan teori Y.
Mc.Gregor menyimpulkan bahwa pandangan seorang manajer mengenai sifat manusia
didasarkan pada suatu pengelompokan dengan asumsi-asumsi tertentu. Berdasarkan
asumsi-asumsi tersebut, manajer menetapkan perilakunya terhadap bawahannya.
Implikasi manajerial dari Teori X dan Y
dapat diuraikan secara sederhana dalam proses manajemen adalah sebagai berikut:
(1) Tetapkan tujuan dan susun rencana untuk mencapainya. (2) Laksanakan rencana
melalui kepemimpinan. (3) Kendalikan dan buatlah penilaian atas hasil yang
dicapai dengan membandingkannya dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya.
4.
Indikator Motivasi
Kerja Guru
Indikator penelitian ini merujuk pada teori yang
dikemukakan oleh Herzberg, bahwa kepuasan dan ketidakpuasan seseorang dalam
bekerja dapat ditinjau dari dua aspek, keduanya dalam penelitian ini dijadikan
indikator yaitu (a) aspek intrinsik (dapat dinilai dengan keberhasilan,
pengakuan dan pengembangan) dan (b) aspek ekstrinsik (dinilai dengan
kebijaksanaan, hubungan antar personal, kepuasan akan gaji, supervisi dan
kondisi kerja).
Indikator motivasi kerja dari aspek intrinsik lebih
mengedepankan aspek dari diri guru tersebut, di mana guru yang bermotivasi
kerja tinggi dapat dinilai dari keberhasilan dalam proses pembelajaran melalui
prestasi belajar siswa yang diraih. Selain itu, pengakuan dari orang lain dan
proses pengembangan kerjanya juga merupakan aspek intrinsik dalam motivasi
kerja guru. Sedangkan aspek ekstrinsik dapat dilihat dari kebijaksanaan yang
diambil dalam proses pembelajaran, hubungan antar personal guru dengan guru
lainnya, kepuasan akan gaji atau honor yang diterima. Penilaian lain dari
motivasi kerja guru dari aspek ekstrinsik dapat dilihat dari supervisi yang
dilakukan atasan guru tersebut dan kondisi kerja sehari-hari, guru akan
bermotivasi tinggi jika guru nyaman dalam lingkungan kerjanya dan mempunyai pimpinan
yang dapat memotivasi untuk semakin lebih baik dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan
uraian di atas, motivasi adalah dorongan dari dalam diri dan luar diri
seseorang untuk melakukan sesuatu yang terlihat dari dimensi internal dan
eksternal. Motivasi kerja guru adalah suatu proses yang dilakukan untuk
menggerakkan guru agar perilaku mereka dapat diarahkan pada upaya-upaya yang
nyata untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Indikator kinerja dapat diukur melalui: (a) aspek intrinsik, (b) aspek ekstrinsik.
C.
Kedisiplinan
1.
Pengertian
Kedisiplinan
Disiplin
menurut Slamet (2007: 215) dari akar kata “disciple”
yang berarti belajar. Disiplin kerja menurut Robbins (dalam Slamet, 2007: 215)
dapat diartikan sebagai suatu sikap dan perilaku yang dilakukan secara sukarela
dengan penuh kesadaran dan kesediaan mengikuti peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan oleh organisasi atau atasan, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Menurut
Siagian (2009: 305) disiplin merupakan tindakan manajemen untuk mendorong para
anggota organisasi memenuhi tuntutan berbagai ketentuan (standar yang harus
dipenuhi). Dengan perkataan lain, pendisiplinan pegawai adalah suatu bentuk
pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap dan
perilaku karyawan sehingga para karyawan tersebut secara sukarela berusaha
bekerja secara kooperatif dengan para karyawan yang lain serta meningkatkan
prestasi kerjanya.
Kedisiplinan juga dapat berarti peraturan yang dilakukan dengan ketegasan jiwa
dengan penuh tanggung jawab. Sementara itu, menurut Simamora
yang dikutip oleh Slamet (2007: 215-216), mendefinisikan
disiplin sebagai bentuk pengendalian diri pekerja, dan pelaksanaan yang teratur
dan menunjukkan kesungguhan tim kerja. Dengan demikian kedisiplinan merupakan
fungsi operatif manajemen sumber daya manusia yang terpenting, karena semakin
baik disiplin pekerja, maka akan semakin tinggi prestasi kerja yang dapat
dicapainya. Tanpa disiplin pekerja yang baik, sulit buat organisasi untuk
mencapai hasil yang optimal. Berdasarkan konteks
tersebut dapat dikemukakan bahwa disiplin merupakan arahan untuk melatih dan
membentuk seseorang melakukan sesuatu menjadi lebih baik. Oleh karena itu
disiplin adalah suatu proses yang dapat menumbuhkan perasaan seseorang untuk
mempertahankan dan meningkatkan tujuan organisasi secara obyektif, melalui
kepatuhannya menjalankan peraturan organisasi.
Kedisiplinan
dalam penelitian ini adalah keadaan mengajar guru di mana guru tergabung dalam
warga yang telah ada dengan senang hati. Atau dengan kata lain kedisiplinan
kerja guru adalah suatu sikap atau perilaku seseorang yang menunjukan
nilai-nilai ketaatan, kesetiaan dan ketertiban yang terbentuk dalam serangkaian
proses pendidikan dan pelatihan agar guru sebagai warga sekolah tunduk pada
peraturan atau tata tertib yang telah ada dengan senang hati untuk melaksanakan
kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Berdasarkan uraian di atas dapat diijelaskan
bahwa kedisiplinan
guru adalah tingkah laku atau perilaku yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan
belajar mengajar. kedisiplinan
kerja guru masing-masing berbeda-beda,
ada guru yang memiliki disiplin kerja
yang tinggi, tetapi ada pula guru yang memiliki kedisiplinan
belajar yang rendah.
2.Jenis Disiplin
Siagian
(2007: 305-306) menyatakan ada dua jenis disiplin dalam organisasi, yaitu yang
bersifat preventif dan yang bersifat korektif.
a.
Pendisiplinan
Preventif
Pendisiplinan yang bersifat preventif
adalah tindakan yang mendorong para karyawan untuk taat kepada berbagai
ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Artinya
melalui kejelasan dan penjelasan tentang pola sikap, tindakan dan perilaku yang
diinginkan dari setiap anggota organisasi diusahakan pencegahan jangan sampai
para karyawan berperilaku negatif.
b.Pendisiplinan Korektif
Jika ada
karyawan yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan
yang berlaku atau gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan, kepadanya
dikenakan sanksi disipliner. Berat atau ringannya suatu sanksi tentunya
tergantung pada bobot pelanggaran yang telah terjadi. Pengenaan sanksi biasanya
mengikuti prosedur yang sifatnya hierarki.
Undang-undang
nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 20, menjelaskan bahwa dimensi
kedisiplinan guru tertuang dalam kewajiban-kewajiban guru dalam bidang pembelajaran
adalah: (a) merencanakan pembelajaran, (b) melaksanakan proses pembelajaran
yang bermutu, dan (c) menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.
Guru harus
memahami tentang disiplin-disiplin yang harus ditaatinya, kemudian
mengimplementasikan ke dalam kerjanya sehari-hari. Guru yang disiplin akan
lebih dihormati dan ditaati oleh peserta didik, sehingga akan lebih mudah
membawa peserta didik mau dibawa kemana sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan.
3.Prinsip-prinsip Disiplin
Prinsip-prinsip
untuk menciptakan disiplin menurut Slamet (2007: 217-218) adalah suatu prinsip
yang harus diciptakan agar tegaknya disiplin dalam suatu organisasi.
Prinsip-prinsip yang harus diciptakan adalah:
a.
Pemimpin
mempunyai perilaku positif. Untuk dapat menjalankan disiplin yang baik dan
benar, seorang pemimpin harus dapat menjadi peran sebagai model atau panutan
bagi bawahannya. Oleh karena itu seorang pimpinan harus dapat mempertahankan
perilaku yang positif sesuai dengan harapan staf.
b.
Penelitian yang
cermat. Dampak dari tindakan indisipliner cukup serius, pimpinan harus memahami
akibatnya. Data dikumpulkan secara faktual, dapatkan informasi dari staf yang
lain, tanyakan secara pribadi rangkaian pelanggaran yang telah dilakukan,
analisa, dan bila perlu minta pendapat dari pimpinan lainnya.
c.
Kesegeraan.
Pimpinan harus peka terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh bawaan sesegera
mungkin dan harus diatasi dengan cara yang bijaksana. Karena, bila dibiarkan
menjadi kronis, pelaksanaan disiplin yang akan ditegakkan dapat dianggap lemah,
tidak jelas dan akan mempengaruhi hubungan kerja dalam organisasi tersebut.
d.
Lindungi
kerahasiaan (privacy). Tindakan
indisipliner akan mempengaruhi ego staf, oleh karena itu akan lebih baik
apabila permasalahan didiskusikan secara pribadi, pada ruangan tersendiri
dengan suasan yang rileks dan tenang. Kerahasiaan harus tetap dijaga karena
mungkin dapat mempengaruhi masa depannya.
e.
Fokus pada
masalah. Pimpinan harus dapat melakukan penekanan pada kesalahan yang dilakukan
bawahan dan bukan pada pribadinya, kemukakan bahwa kesalahan yang dilakukan
tidak dapat dibenarkan.
f.
Peraturan
dijalankan secara konsisten. Peraturan dijalankan secara konsisten, tanpa pilih
kasih. Setiap pegawai yang bersalah harus dibina sehingga mereka tidak merasa
dihukum dan dapat menerima sanksi yang dilakukan secara wajar.
g.
Fleksibel.
Tindakan disipliner ditetapkan apabila seluruh informasi tentang pegawi telah
dianalisa dan dipertimbangkan. Hal yang menjadi pertimbangan antara lain adalah
tingkat kesalahannya, prestasi pekerjaan yang lalu, tingkat kemampuannya dan
pengaruhnya terhadap organisasi.
h.
Mengandung
nasihat. Jelaskan secara bijaksana bahwa pelangaran yang dilakukan tidak dapat
diterima. File pegawai yang berisi catatan khusus dapat digunakan sebagai
acuan, sehingga mereka dapat memahami kesalahannya.
i.
Tindakan
konstruktif. Pimpinan harus yakin bahwa bawahan telah memahami perilakunya
bertentangan dengan tujuan organisasi dan jelaskan kembali pentingnya peraturan
untuk staf maupun organisasi. Upayakan agar staf dapat merubah perilakunya
sehingga tindakan indisipliner tidak terulang lagi.
j.
Follow Up (Evaluasi). Pimpinan harus secara cermat mengawasi dan
menetapkan apakah perilaku bawahan sudah berubah. Apabila perilaku bawahan
tidak berubah, pimpinan harus melihat kembali penyebabnya dan mengevaluasi
kembali batasan akhir tindakan indisipliner.
Prinsip
disiplin di atas, juga dapat diterapkan dalam mendisiplinkan guru, mulai dari
teladan kepala sekolah selaku pimpinan, dan akibat yang timbul akibat
indisipliner yang dilakukan oleh guru.
Selain itu, evaluasi oleh kepala sekolah terhadap kedisiplinan guru
hendaknya dijalankan secara berkesinambungan dengan tetap menjaga kerahasiaan
sanksi yang diberikan kepada guru yang indisipliner.
4.Tujuan Disiplin
Tujuan
disiplin menurut Slamet (2007: 218-219) difokuskan untuk mengoreksi penampilan
kerja agar peraturan kerja dapat diberlakukan secara konsisten. Tidak bersifat
menghakimi dalam memberlakukan hukuman atas tindakan indisipliner. Guna
mengatasi adanya tindakan indisipliner, perlu adanya adanya proses untuk
mengatasinya, yaitu melalui bimbingan, teguran secara lisan, teguran secara
tertulis, dan skors. Setiap pentahapan dapat berhenti dalam setiap tahap saja.
Hal ini dimungkinkan kalau disiplin telah tercipta lagi.
a.
Teguran secara
lisan terbatas dalam hal mengingatkan pegawai untuk kesalahan yang kecil dan
baru pertama kali dilakukan. Sebagai suatu tindakan koeksi, biasanya teguran
dilakukan secara pribadi dengan cara yang bersahabat dengan tetap memperhatikan
situasi dan kondisi lingkungan.
b.
Teguran secara
tertulis dilakukan apabila pelanggaran diulangi kembali, tidak menunjukkan
perbaikan atau pelanggarannya cukup serius. Dalam teguran secara tertulis,
harus dicantumkan nama pegawai, nama pimpinan, permasalahannya, rencana perbaikan,
dan batas waktu perbaikan serta konskwensinya apabila pelanggaran diulangi.
c.
Keputusan terakhir
atau terminasi dilakukan karena pimpinan melihat bahwa kesalahan yang dilakukan
oleh bawahan sudah sangat serius dan selama batas waktu perbaikan perilaku
bawahan tidak memperlihatkan perubahan. Keputusan terakhir biasanya dilakukan
dengan melibatkan pimpinan organisasi.
Tujuan
disiplin tersebut juga dapat digunakan pada guru dalam suatu sekolah yang
melakukan tindakan indisipliner. Dimana kepala sekolah dalam melaksanakan
tujuan disiplin, dapat melalui teguran secara lisan, teguran secara tertulis
dan dapat melalui tindakan dengan keputusan terakhir dengan skors dapat
dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada tingkat kesalahannya maupun
kebijakan dari institusi atau organisasi.
5.Implementasi
Prosedur Disiplin
Prosedur disiplin menurut Slamet (2007: 219) dapat
ditegakkan dengan melakukan suatu upaya (a) persiapan, di mana tanggung jawab yang
dilanggar sebagai bukti. (b) objektif, dalam arti pelanggaran yang dilakukan
harus diteliti dengan cermat, dengan bukti yang nyata, sebelum tindakan
disipiner yang dilakukan. Tindakan indisipliner harus dilakukan dengan adil
tidak pilih kasih. (c) kerahasiaan, dalam arti catatan harus dijaga
kerahasiaannya. Wawancara dilakukan dengan rileks di ruangan tertutup dan
tenang. Hormati hak individu, beri kesempatan untuk mengemukakan pendapat.
Diskusikan masalahnya bukan pribadinya.
Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan juga
oleh kepala sekolah selaku pimpinan, bahwasanya untuk mendisiplinkan guru
haruslah melalui tahapan-tahapan yang telah ditetapkan. Tahapan tersebut dapat
melalui persiapan terhadap penghargaan dan sanksi yang diberikan. Selanjutnya,
pemberian penghargaan dan sanksi harus bersifat objektif serta harus dijaga
kerahasiaannya.
6.
Indikator Kedisiplinan
Indikator variabel kedisiplinan dalam penelitian ini mengacu
pada pendapat Slamet (2007: 219), yang mengemukakan prosedur disiplin dapat
ditegakkan dengan melakukan suatu upaya (a) persiapan, dimana tanggung jawab
yang dilanggar sebagai bukti. (b) objektif, dalam arti pelanggaran yang
dilakukan harus diteliti dengan cermat, dengan bukti yang nyata, tindakan
indisipliner harus dilakukan dengan adil. (c) kerahasiaan dalam arti catatan
harus dijaga kerahasiaannya.
Berdasarkan uraian tentang kedisiplinan, disiplin pada
hakikatnya adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dalam bentuk tidak
melakukan sesuatu tindakan yang tidak sesuai dan bertentangan dengan sesuatu
yang telah ditetapkan dan melakukan sesuatu yang mendukung dan melindungi
sesuatu yang telah ditetapkan. Disiplin
kerja guru merupakan kemampuan seorang guru untuk secara teratur, tekun secara
terus-menerus dan bekerja sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dengan tidak
melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Indikator kedisiplinan terlihat melalui: (a) Persiapan,
(b) Objektif, (c) Kerahasiaan.
Daftar Pustaka.
Kartono, Kartini. 1990. Psikology Umum. Bandung : CV. Mandar Maju.
Terry D. Evaluation: A Practical Guide for Teachers. New York: McGraw-Hill Book Company
Hasibuan Malayu S. P. Drs. 1996. Manajemen Dasar, _Pengertian dan. Masalah. Jakarta : PT Gunung Agung
Sondang P Siagian. 1995. Teori Motivasi dan Aplikasinya. PT. Rineka Cipta. Jakarta