Senin, Agustus 11, 2014

Hidup Orang Tak Seindah Media Sosialnya

Hidup Orang Tak Seindah Media Sosialnya


 
Oke, mari kita akui bersama-sama, pasti ada satu titik di mana kita ingin memiliki segalanya. Walaupun definisi ‘segalanya’ bagi tiap orang itu berbeda-beda, tapi yang jelas kita ingin memiliki banyak hal dalam hidup. 
Pertanyaannya adalah: apakah kita benar-benar ingin memiliki segalanya? Apakah kita memang membutuhkan segalanya?Kalu kita lihat dalam lingkup yang lebih sempit, sebagai perempuan, kita sering banget merasa iri ketika melihat bahwa ada perempuan lain yang kayaknya lebih segalanya dari pada kita. Kalau udah begini ujung-ujungnya biasanya kita akan membanding-bandingkan diri kita dengan mereka. 
 
Suatu hari sahabat saya, seorang ibu muda berusia awal 30, berkata dengan nada khawatir bahwa dia takut nggak bisa menjadi seorang ibu yang baik anaknya dan istri yang baik bagi suaminya. Dan saya memandangnya dengan bingung, nggak tahu dari mana semua hal ini berasal. Tiba-tiba pula. Ternyata dia habis membaca sebuah blog, yang ditulis oleh seorang perempuan seumur dia, sama-sama memiliki satu anak, dengan karir yang kelihatan berkilau di sebuah institusi besar, suami yang kelihatannya adorable, belum lagi dia itu kayaknya pintar banget. Tambahannya adalah, perempuan ini menulis blogpost mengenai rencana dan timetable yang amat sangat detail tentang jadwal Makanan Pendamping ASI buat anaknya. Nah, yang terakhir ini yang membuat teman saya tiba-tiba merasa dirinya nggak akan bisa menjadi ibu dan istri yang baik.Dia bilang bahwa, ‘Kok bisa ya, dia kayak superwoman? Karir sukses, anak dan suami juga keurus, masih bisa nge-blog lagi. Sampai bikin jadwal detail gitu untuk makanan anaknya.’Tapi pada saat itu saya berpikir, bisa nggak sih kita berhenti membandingkan diri kita dengan para perempuan lain di luar sana yang kita asumsikan ‘memiliki segalanya’? Mengapa kita terus menerus memberikan diri kita, dan satu sama lain, tekanan bahwa kita harus memiliki segalanya? Padahal ‘segalanya’ itu kan akan berbeda kalau dipandang dari perspektif yang berbeda. 
 
Dan nggak ada juga yang bilang bahwa kita semua harus menjadi superwoman—waktu kita lahir, nggak ada notes dari Tuhan yang bilang bahwa kita harus saling mengalahkan satu sama lain. Memang sih, era informasi yang nggak terbatas ini membuat kita gampang banget menemukan banyak banget perempuan yang sukses di segala bidang, dan menurut saya itu keren banget. Banyak artikel tentang para perempuan hebat ini yang membuat kita terinspirasi. Tapi di sisi lain, saya mengerti mengapa sahabat saya bisa mengalami rasa insecure hanya dengan membaca blog seseorang. 
 
Iya lah, semua informasi di blog tersebut menunjukkan bahwa si pemilik blog adalah orang yang sukses dalam karir DAN superpintar DAN punya suami sempurna DAN anak yang adorable DAN lagi sekolah master di luar negeri DAN menjelaskan semua tahap kehidupannya yang supersukses itu di dalam blog. Dan gimana caranya kita bisa tahu semua informasi ini dengan update? Yes, I blame you, social media. Dan blog juga. Dan internet. Padahal kenyataannya, realita hidup orang tersebut mungkin aja nggak seperti yang kita asumsikan. 
 
Oke, oke. Saya ngaku dosa. Saya sama buruknya dengan orang lain yang memberikan informasi tentang hidup saya di media sosial, dan secara sadar (atau kadang alam bawah sadar yang bekerja) hanya menampilkan yang memang ingin saya tampilkan. 
Bukan berarti saya nggak jadi diri sendiri juga, sih. Hanya saja saya nggak melulu seperti yang terlihat. My life is not all about sunshine and rainbow. Tapi kan orang lain nggak bisa melihat hal lain, karena itu adalah image yang saya tampilkan di depan orang banyak. Kegiatan yang kelihatan shiny, sibuk dan paling penting/keren sedunia. Dan ini adalah pointnya.Kita semua mampu untuk membentuk hidup kita sesuai dengan apa yang kita inginkan orang lain lihat dari kita—dan semua hal-hal buruk kita sembunyikan di sudut terdalam. Mungkin karena hal ini lah, banyak orang yang merasa bahwa hidup mereka selaluuuu aja kekurangan akan sesuatu hal. Material dan non-material. Padahal ya, nggak pas juga membandingkan kehidupan normal kita sehari-hari (yang kita tahu jelek dan bagusnya) dengan mereka yang menampilkan hal-hal yang kelihatan sempurna. Tanpa sadar kita menjadikan diri kita sendiri sebagai musuh yang paling buruk. 
 
Jadi, karena segalanya itu adalah hal yang relatif, menurut saya kita nggak butuh ‘segalanya’ dan ‘segalanya’ yang dimiliki oleh orang lain belum tentu seindah aslinya. Jalani hidup sesuai dengan bagaimana kita ingin menjalani hidup kita—bukan dengan standar orang lain.