Hidup Orang Tak Seindah Media Sosialnya
Oke, mari kita akui bersama-sama, pasti ada satu titik
di mana kita ingin memiliki segalanya. Walaupun definisi ‘segalanya’
bagi tiap orang itu berbeda-beda, tapi yang jelas kita ingin memiliki
banyak hal dalam hidup.
Pertanyaannya adalah: apakah kita benar-benar
ingin memiliki segalanya? Apakah kita memang membutuhkan segalanya?Kalu
kita lihat dalam lingkup yang lebih sempit, sebagai perempuan, kita
sering banget merasa iri ketika melihat bahwa ada perempuan lain yang
kayaknya lebih segalanya dari pada kita. Kalau udah begini
ujung-ujungnya biasanya kita akan membanding-bandingkan diri kita dengan
mereka.
Suatu hari sahabat saya, seorang ibu muda berusia awal
30, berkata dengan nada khawatir bahwa dia takut nggak bisa menjadi
seorang ibu yang baik anaknya dan istri yang baik bagi suaminya. Dan
saya memandangnya dengan bingung, nggak tahu dari mana semua hal ini
berasal. Tiba-tiba pula. Ternyata dia habis membaca sebuah blog,
yang ditulis oleh seorang perempuan seumur dia, sama-sama memiliki satu
anak, dengan karir yang kelihatan berkilau di sebuah institusi besar,
suami yang kelihatannya adorable, belum lagi dia itu kayaknya pintar
banget. Tambahannya adalah, perempuan ini menulis blogpost mengenai
rencana dan timetable yang amat sangat detail tentang jadwal Makanan
Pendamping ASI buat anaknya. Nah, yang terakhir ini yang membuat teman
saya tiba-tiba merasa dirinya nggak akan bisa menjadi ibu dan istri yang
baik.Dia bilang bahwa, ‘Kok bisa ya, dia kayak superwoman?
Karir sukses, anak dan suami juga keurus, masih bisa nge-blog lagi.
Sampai bikin jadwal detail gitu untuk makanan anaknya.’Tapi pada
saat itu saya berpikir, bisa nggak sih kita berhenti membandingkan diri
kita dengan para perempuan lain di luar sana yang kita asumsikan
‘memiliki segalanya’? Mengapa kita terus menerus memberikan diri kita,
dan satu sama lain, tekanan bahwa kita harus memiliki segalanya? Padahal
‘segalanya’ itu kan akan berbeda kalau dipandang dari perspektif yang
berbeda.
Dan nggak ada juga yang bilang bahwa kita semua harus menjadi
superwoman—waktu kita lahir, nggak ada notes dari Tuhan yang bilang
bahwa kita harus saling mengalahkan satu sama lain. Memang sih,
era informasi yang nggak terbatas ini membuat kita gampang banget
menemukan banyak banget perempuan yang sukses di segala bidang, dan
menurut saya itu keren banget. Banyak artikel tentang para perempuan
hebat ini yang membuat kita terinspirasi. Tapi di sisi lain, saya
mengerti mengapa sahabat saya bisa mengalami rasa insecure hanya dengan
membaca blog seseorang.
Iya lah, semua informasi di blog tersebut
menunjukkan bahwa si pemilik blog adalah orang yang sukses dalam karir
DAN superpintar DAN punya suami sempurna DAN anak yang adorable DAN lagi
sekolah master di luar negeri DAN menjelaskan semua tahap kehidupannya
yang supersukses itu di dalam blog. Dan gimana caranya kita bisa
tahu semua informasi ini dengan update? Yes, I blame you, social media.
Dan blog juga. Dan internet. Padahal kenyataannya, realita hidup orang tersebut mungkin aja nggak seperti yang kita asumsikan.
Oke,
oke. Saya ngaku dosa. Saya sama buruknya dengan orang lain yang
memberikan informasi tentang hidup saya di media sosial, dan secara
sadar (atau kadang alam bawah sadar yang bekerja) hanya menampilkan yang
memang ingin saya tampilkan.
Bukan berarti saya nggak jadi diri sendiri
juga, sih. Hanya saja saya nggak melulu seperti yang terlihat. My life is not all about sunshine and rainbow. Tapi
kan orang lain nggak bisa melihat hal lain, karena itu adalah image
yang saya tampilkan di depan orang banyak. Kegiatan yang kelihatan
shiny, sibuk dan paling penting/keren sedunia. Dan ini adalah pointnya.Kita
semua mampu untuk membentuk hidup kita sesuai dengan apa yang kita
inginkan orang lain lihat dari kita—dan semua hal-hal buruk kita
sembunyikan di sudut terdalam. Mungkin karena hal ini lah,
banyak orang yang merasa bahwa hidup mereka selaluuuu aja kekurangan
akan sesuatu hal. Material dan non-material. Padahal ya, nggak pas juga
membandingkan kehidupan normal kita sehari-hari (yang kita tahu jelek
dan bagusnya) dengan mereka yang menampilkan hal-hal yang kelihatan
sempurna. Tanpa sadar kita menjadikan diri kita sendiri sebagai musuh
yang paling buruk.
Jadi, karena segalanya itu adalah hal yang
relatif, menurut saya kita nggak butuh ‘segalanya’ dan ‘segalanya’ yang
dimiliki oleh orang lain belum tentu seindah aslinya. Jalani hidup
sesuai dengan bagaimana kita ingin menjalani hidup kita—bukan dengan
standar orang lain.