Kamis, November 05, 2015

SABAR

=====================================
KARENA KALAU ADA BATASNYA, BUKAN SABAR NAMANYA..
=====================================

“Kesel deh aku. Tuntutan klien tuh gak masuk akal. Mending kalau dia tahu maunya apa. Lah ini? Clueless juga.”

“Ya udah. Sabar yaaa…”
Anjuran untuk sabar sudah seperti gerai milk tea yang kini bisa ditemukan di mana saja. Dia datang dalam setiap kesempatan. Seperti jadi jawaban atas semua masalah dan kegundahan. Yeah, memang kata yang satu ini menyejukkan. Dia menguatkan — memberi harapan.

Namun seperti hal lain di dunia, haruskah sabar ini ada batasnya? Atau memang dia infinite — tak perlu batasan dan harus lapang bentuknya?

Sabar sebenarnya bentuk lain dari percaya. Yakin. Semesta tidak akan setega itu mempercundangi kita.
Sabar, sebenarnya tidak lagi sesederhana menahan emosi. Berusaha tidak meledak setiap hal buruk menghampiri. Karena jika hanya ini yang diyakini berarti pemahaman kita akan sabar masih dangkal sekali. Seperti anak kecil yang sedang belajar menjumlahkan angka lewat bantuan jari, semestinya kesabaran tidak ditelan bulat-bulat macam ini.

Selepas makin banyak hal yang menghantam kedewasaan kita, ada anggukan kecil saat bicara bahwa sabar adalah soal percaya.

Sabar adalah membiarkan semesta mengatur jalannya.
Meski di dalamnya kita mesti berkali-kali menghela nafas dan menggaruk kepala.

Sabar, adalah tentang tak pernah melepaskan genggaman pada Yang Maha.
Meski kita belum tahu ke mana Ia akan mengarahkan langkah yang sedang dihela.

Untuk beberapa hal di dunia batas membuat kewarasan terjaga. Supaya kita tahu diri. Agar kita tak lupa menghargai diri sendiri

Seorang kawan pernah mengingatkan saat saya jatuh cinta begitu dalam. Kata-katanya unik dan sampai sekarang masih terkenang,

“Walau cinta, tetap harus ada batasnya. Simpan tenaga. Siapa tahu dia pergi dan kamu harus bangun sendiri?”
Batas juga kembali muncul dan diamini dalam ikatan perkawanan. Konon persahabatan yang sehat adalah persahabatan yang tetap menghargai batas pribadi. Bebas memberi masukan, namun tetap membiarkannya jadi tangguh sendirian. Tetap harus ada sisi-sisi hidup yang tidak dibuka secara blak-blakan.

Konsep batas terlihat jauh lebih nyata saat kita bicara soal sebanyak apa harus memberi. Bahkan dalam urusan hati. Walau sedang sedalam itu menitipkan rasa kita mesti peka untuk membaca apakah yang dilakukan ini memang sepadan hasilnya. Jangan sampai stok di hati habis sia-sia. Sampai tak lagi yang tersisa bagi dia yang layak dibukakan pintu setelahnya.

Bagi beberapa hal di dunia, ‘batas’ memang membuat kewarasan tetap terjaga. Sebab sesungguhnya kita ini rapuh sebagai manusia.

Tapi sabar itu spesies berbeda. Dia datang dengan keanggunan yang membuat kita percaya — jika ada batasnya, ya bukan sabar namanya….

Sabar, anehnya punya charm yang lain dari biasa. Dia membuat kita percaya bahwa semua bisa dihadapi tanpa harus melibatkan derap kencang di dada. Sabar, membuat hati ini dua kali lebih lapang dari biasa. Bahkan saat otak dan hati sinkron mood nya dia bisa berubah jadi lapangan golf yang sangat luas penampangnya.

Setiap rasa ingin menyalahkan keadaan datang, setiap jeritan di hati mulai menuntut untuk didengarkan — kesabaran membuat segalanya teredam. Umpatan yang bisa terdengar sangat tidak menyenangkan kembali sanggup ditelan.

Maka, saat rasa tidak mampu muncul. Atau ketika merasa lelah sekali dan ingin mundur — hati ini seharusnya sudah lebih peka untuk diajak bekerjasama. Dia semestinya jujur menjawab pertanyaan sederhana.

Sudahkah kita benar-benar sabar? Apakah kesabaran ini sudah benar?

Sebab seharusnya kesabaran yang baik tidak membuat kita menyerah begitu saja. Kesabaran yang sesungguhnya membuat hati kita jadi perasa. Tidak kebas dan menutup mata pada tantangan yang memang harus dihadapi jika ingin lulus sempurna jadi manusia dewasa.

Jangan jadikan sabar kambing hitam untuk semua bendera putih yang kita keluarkan.
Karena sebenarnya jika tidak bisa sabar sampai terurai masalahnya — ya bukan sabar namanya (content) (moon grin)