Senin, Agustus 07, 2017

Cirebon, Episode 4


 MAKALAH TENTANG KEBUDAYAAN CIREBON                
( upacara panjang jimat di Kraton Kasepuhan Cirebon)

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu bentuk kebudayaan Nasional adalah sistem ritual upacara keagamaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Upacara Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan salah satu bentuk kebudayaan lokal yang ikut memperkaya kebudayaan Nasional Indonesia. Upacara Panjang Jimat sudah dilaksanakan sejak Keraton Kasepuhan didirikan dan terus berlangsung sampai sekarang.
            Panjang  Jimat merupakan salah satu tradisi kuno yang masih dilakukan hingga saat ini. Pada proses pelaksanaan panjang jimat yang di laksanakan pada puncak (pelal) Maulid Nabi telah banyak perubahan yang dilakukan demi penyesuaian antara tradisi lama dengan keadaan masyarakat yang melaksanakannya pada saat ini. Bahwa perubahan sosial dan kebudayaan yang telah dan sedang terjadi di lingkungan Cirebon telah mempengaruhi situasi dan kondisi Keraton Kasepuhan. Perubahan sosial dan kebudayaan tersebut, di antaranya, telah mempengaruhi keseragaman tata cara hidup tradisional. Keraton sebagai institusi yang terlahir dari tradisi lamapun tidak luput dari pengaruh perubahan tersebut. Sebagai contoh pada tradisi Panjang Jimat yang mengalami banyak perubahan dari dahulu hingga saat ini.

B. RUMUSAN MASALAH
1. BAGAIMANA SEJARAH CRIREBON ?
2. APA PENGERTIAN UPACARA PANJANG JIMAT ?
3. BAGAIMANA PELAKSANAAN DAN PERUBAHAN UPACARA PANJANG JIMAT ?
TUJUAN PENULISAN
1. MENGETAHUI SEJARAH CIREBON
2. MENGETAHUI PENGERTIAN UPACARA PANJANG JIMAT
3. MENGETAHUI PELAKSANAAN DAN PERUBAHAN UPACARA PANJANG JIMAT
             
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH CIREBON
            Asal kota Cirebon ialah pada abad ke 14 di pantai utara Jawa Barat ada desa nelayan kecil yang bernama Muara Jati yang terletak di lereng bukit Amparan Jati. Muara Jati adalah pelabuhan nelayan kecil. Penguasa kerajaan Galuh yang ibu kotanya Rajagaluh menempatkan seorang sebagai pengurus pelabuhan atau syahbandar Ki Gedeng Tapa. Pelabuhan Muara Jati banyak di singgahi kapal-kapal dagang dari luar di antaranya kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat, yang di perdagangkannya adalah garam, hasil pertanian dan terasi. Kemudian Ki Gendeng Alang-alang mendirikan sebuah pemukiman di lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km, ke arah Selatan dari Muara Jati. Karena banyak saudagar dan pedangan asing juga dari daerah-daerah lain yang bermukim dan menetap maka daerah itu di namakan Caruban yang berarti campuran kemudian berganti Cerbon kemudian menjadi Cirebon hingga sekarang.
Raja Pajajaran Prabu Siliwanggi mengangkat Ki Gede Alang-alang sebagai kepala pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon. Daerahnya yang ada di bawah pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali di sebelah Timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah Selatan, pengunungan Kromong di sebelah Barat dan Junti (Indramayu) di sebelah Utara. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama Walangsungsang putra Prabu Siliwanggi dari Pajajaran. Walangsungsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada Raja di ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara, tetapi Cakrabumi berhasil mempertahankannya.
Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan kerajaan Cirebon dengan memakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana telah memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungan dengan kerajaan Hindu Pajajaran.
Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tengara. Dari sinilah awal berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini. Pangeran Cakra Buana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon

B. PENGERTIAN UPACARA PANJANG JIMAT
            Upacara Panjang Jimat yang merupakan rentetan dari acara maulidan di Keraton Kasepuhan awalnya hanyalah sebuah upacara peringatan kelahiran nabi Muhammad Saw saja yang di dalamnya terdapat ritual-ritual khusus sebagai simbol untuk meneladani kerasulannya.
            Panjang Jimat adalah sebuah ritual tradisional yang rutin dan turun temurun di laksanakan di Keraton Cirebon (Kanoman, Kasepuhan, Kacirebonan dan Kompleks makam Syekh Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, pendiri kasultanan Cirebon), tiap malam 12 Rabiul Awal atau Maulid, yakni bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dan memang, tujuan utama dari panjang jimat ini sendiri adalah untuk memperingati dan sekaligus mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad. Sebutan Panjang Jimat sendiri adalah berasal dari dua kata yaitu Panjang dan Jimat. Panjang yang artinya lestari dan Jimat yang berarti pusaka. Jadi, secara etimologi, panjang jimat berarti upaya untuk melestarikan pusaka paling berharga milik umat Islam selaku umat Nabi Muhammad yaitu dua kalimat syahadat. Atau kalau merujuk pada utak atik gatuk dalam bahasa Jawa Cirebon, jimat yang dimaksud adalah siji kang dirohmat yakni, lafadz Syahadat itu sendiri.
            Prosesi adat “Panjang Jimat” adalah refleksi dari proses kelahiran Nabi Muhammad SAW dan merupakan acara puncak dari serangkaian kegiatan Maulud Nabi Muhamad di Keraton Kasepuhan Cirebon. “Panjang” berarti sederetan iring-iringan berbagai benda pusaka dalam prosesi itu dan “Jimat” berarti “siji kang dirumat” atau satu yang dihormati yaitu kalimat sahadat “La Illa ha Illahah” sehingga arti gabungan dua kata itu adalah sederetan persiapan menyongsong kelahiran nabi yang teguh mengumandangkan kalimat sahadat kepada umat di dunia. Pada umumnya masing-masing upacara terdiri atas kombinasi berbagai macam unsur upacara seperti berkorban, berdo’a, bersaji makan bersama, berprosesi, semadi, dan sebagainya. Urutannya telah tertentu sebagai hasil ciptaan para pendahulunya yang telah menjadi tradisi.
Pengaruh Khalifah Sholahuddin Al Ayubi seperti telah dijelaskan kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk ke Kerajaan Cirebon dan Sultan Cirebon Syarif Hidayatullah kemudian mengadopsikan acara maulud nabi itu dengan budaya Jawa sehingga menjadi prosesi Panjang Jimat. Secara serentak, upacara pelal Panjang Jimat di Cirebon diselenggarakan di empat tempat yang menjadi peninggalan dari Syarief Hidayatullah. Masing-masing di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan/Kasunanan dan kompleks makam Syekh Syarief Hidayatullah pendiri Kasultanan Cirebon atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Djati.
Ada beberapa pengertian mengenai Panjang Jimat, yaitu :
a. Panjang, artinya terus menerus diadakan, yakni satu kali setahun. Jimat, maksudnya dipuja-puja (dipundi-pundi/dipusti-pusti) di dalam memperingati hari lahir Nabi Besar Muhammad saw.
b. Panjang Jimat, sebuah piring besar (berbentuk elips atau bundar) terbuat dari kuningan atau porselin. Dan Panjang Jimat bagi Cirebon mempunyai sejarah khusus yakni salah satu benda pusaka Kraton Cirebon ialah merupakan sebuah pemberian dari Sang-hyang Bango ketika masa pengembangan dari Raden Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), di dalam rangka mencari agama Nabi (agama islam). Maka besar kemungkinan inilah sebabnya masyarakat Cirebon menyebut-nyebut iring-iringan Panjang Jimat (piring panjang jimat di Kraton Kanoman dan pendil jimat di Kraton Kasepuhan).
c. Saat turunnya/keluarnya Panjang Jimat ini sebagai Penggambaran lahirnya sang bayi, jadi sebenarnya kita harus mengerti bahwa pawai allegorie tadi memiliki falsafah yang sangat tinggi, yang erat sekali hubungannya di kala itu dengan syi’ar Islam.  
 
C. PELAKSANAAN DAN PERUBAHAN UPACARA PANJANG JIMAT
     1. Pelaksanaan Upacara Panjang Jimat
Ritual-ritual Panjang Jimat hampir sama dengan upacara yang lainnya, yang semuanya mengukuhkan homogenitas model Jawa yang orisil. Maka pada saat itu tampaklah raja melakukan miyos dalem (penampilan raja kehadapan rakyatnya). Kemampuan raja mencapai kesatuan dimanfaatkan untuk mendengarkan keabsahan keraton. Pada kegiatan itu raja menyampaikan berkahnya untuk kesejahteraan rakyatnya
Di Keraton Kasepuhan Panjang Jimat diturunkan oleh petugas dan ahli agama di lingkungan kerabat kesultanan Keraton kasepuhan, yang terdiri atas:
1) Diadakan Susrana Tahap ini diadakan di gedung/bangsal dalem. Disinilah disajikan Nasi Rosul sebanyak 7 golongan, untuk tiap-tiap golongan ditumpangkan/ditempatkan di atas tasbih/piring besar. Petugas-petugasnya adalah : Nyi Penghulu, Nyi Krum yang disaksikan oleh para Ratu Dalem. Di belakang Bangsal Dalem yang disajikan air mawar, kembang goyah, “serbad boreh” (panem) dan hidangan tumpeng 4 “pangsong”/”ancek”/”angsur”. Yang berisi kue-kue dan tempat dong-dang yang berisis makanan, petugasnya adalah Nyi Kotif Agung, Nyi Kaum dengan disaksikan oleh para Ratu/family kasultanan.
2) Di Gedung Bangsal Prabayaksa yaitu sebelah utara bangsal dalem dan di bangsal Pringgadani (sebelah utara bangsal Prabayaksa), diperuntukan bagi para undangan di tengah ruangan dilowongkan untuk deretan upacara, terus dari Jinem ke Sri Manganti.
Adapun urutan-urutan dan atribut-atribut yang digunakan dalam upacara Panjang Jimat ini adalah :
A. Beberapa lilin dipasang di atas standartnya (dahulu pakai dlepak/dian)
B. Dua buah Manggaran, dua buah Nagan dan dua buah Jantungan.
C. Kembang Goyak (Kembang bentuk sumping) 4 (empat) kaki.
D. Serbad dua buah guci dan dua puluh botol bir tengahan.
E. Boreh/Parem.
F. Tumpeng.
G. Ancak Sanggar (panggung) 4 buah yang keluar dari pintu Bangsal Pringgandani.
H. 4 buah dongdang berisi masakan, menyusul belakangan, keluar pintu Barat Bangsal 
     Pringgandani pula, ke teras Jinem.        
Pada puncak malam 12 Rabiul Awal, yang oleh masyarakat Cirebon disebut dengan malam pelal inilah diadakan ritual seremonal Panjang Jimat dengan mengarak berbagai macam barang yang sarat akan makna filosofis, diantaranya barisan orang yang mengarak nasi tujuh rupa atau nasi jimat dari Bangsal Jinem yang merupakan tempat sultan bertahta ke masjid atau mushala keraton, yang memiliki makna filosofis sebagai hari kelahiran nabi yang suci yang dilambangkan melalui nasi jimat ini. Nasi jimat sendiri konon berasal dari beras yang disisil (proses mengupas beras dengan tangan dan mulut) selama setahun oleh abdi keraton perempuan yang sepanjang hidupnya memutuskan untuk tidak pernah menikah atau disebut juga dengan perawan sunti.
Nasi Jimat itu diarak dengan pengawalan 200 barisan abdi dalem yang masing-masing dari mereka membawa barang-barang yang memiliki simbol-simbol tertentu seperti lilin yang bermakna sebagai penerang, kemudian nadaran, manggar, dan jantungan yang merupakan simbol dari betapa agung dan besarnya orang yang dilahirkan pada saat itu, yakni Nabi Muhammad SAW. selanjutnya, di belakang orang-orang yang membawa jantungan dan sebagainya itu, menyusul barisan abdi dalem keraton yang membawa air mawar dan kembang goyang yang melambangkan air ketuban dan ari-ari sang jabang. Kemudian di barisan berikutnya, ada abdi dalem keraton yang pembawa air serbat yang disimpan di 2 guci yang melambangkan darah saat bayi dilahirkan. Kemudian 4 baki yang menjadi lambang 4 unsur yang ada dalam diri manusia, yakni angin, tanah, api dan air.
Iring-iringan ini yang berawal dari Bangsal Prabayaksa akan menuju satu tempat yakni Langgar Agung di mana nantinya akan di sambut oleh pengawal pembawa obor yang yang bisa dimaknai sebagai sosok Abu Thalib, sang paman nabi ketika beliau menyambut kelahiran keponakannya lahir yang pada saatnya kemudian tumbuh menjadi manusia agung pengemban amanat dari Tuhan untuk menyebarkan agama Islam.
Sesampainya di sana langgar agung itu, nasi jimat tujuh rupa itu kemudian dibuka berikut sajian makanan lain termasuk makanan yang disimpan dalam 38 buah piring pusaka. Piring pusaka ini dikenal amat bersejarah dan paling dikeramatkan karena merupakan peninggalan Sunan Gunung Djati, dan berusia lebih dari 6 abad. Di Langgar Agung ini dilakukan shalawatan serta pengajian kitab Barjanzi hingga tengah malam.
Pengajian dipimpin imam Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan. Setelah itu makanan tadi disantan bersama-sama. Di sinilah kejadian unik berlaku. Rakyat yang berjubel-jubel di luar masjid, berusaha berebutan menyalami atau sekadar menyentuh tangan PRA Arief, Sultan Kasepuhan. Dalam keyakinan masyarakat, bila berhasil menyentuh calon Sultan tersebut, maka ia akan mendapatkan berkah dalam kehidupannya. Tak heran bila PRA Arief mendapat pengawalan ketat dari pengawal keraton.
2. Perubahan Upacara Panjang Jimat
Pelaksanaan upacara Panjang Jimat sekarang mengalami perubahan atau pergeseran. Secara umum perubahan pelaksanaan Panjang Jimat tersebut bukan terletak pada struktur upacaranya tapi dalam bentuk permukaannya. Perubahan penyelenggaraan dalam bentuk permukaannya banyak berubah dilakukan untuk mendukung program pemerintah yakni pariwisata dan pembangunan. Sedangkan mengenai tujuan, kesakralan, struktur secara intern masih tetap terjaga. Prosesi upacara masih lengkap meskipun sedikit ada penyederhanaan.
Seperti yang telah diketahui bahwa upacara Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan sudah ada sejak jaman dahulu dan sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Cirebon. Hal ini khususnya dikarenakan masyarakat masih memegang teguh adat istiadat ataupun kebiasaan akan tradisi yang diwariskan turun temurun. Secara prinsip, upacara panjang Jimat tetap dilakukan dari tahun ke tahun, namun dalam pelaksanaannya lebih ditingkatkan yakni dilaksanakan dengan lebih besar, meriah, diisi dengan program pembangunan dan dikaitkan dengan pariwisata. Terdapat suatu indikasi bahwa hal ini disebabkan karena sudah memasuki jaman globalisasi yang serba modern.
Akibat dari globalisasi tersebut menyebabkan upacara Panjang Jimat yang merupakan salah satu adat atau kultur Keraton kasepuhan juga mengalami perubahan. Hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah karena meskipun mengalami perubahan tapi tetap mempunyai struktur, tujuan, esensi yang sama dengan pelaksanaan grebeg maulud dahulu. Nilai kesakralan dan getaran emosi masyarakat masih tetap ada.
Selanjutnya jika dilihat perubahan dalam pelaksanaan upacara Panjang Jimat saat ini terletak pada bentuk luarnya yaitu untuk mendukung program pariwisata dan pembangunan seperti diketahui bahwa sebelum upacara dimulai dengan pesta rakyat menyongsong perayaan Panjang jimat, yakni berupa keramaian untuk hiburan masyarakat. Apabila jaman dahulu dalam Panjang Jimat ini tidak ada keramaian berupa pasar malam dan para pedagang, maka sekarang mereka ada dan sangat ramai sekali. Pekan raya atau pasar malam yang dipergunakan untuk kepentingan pariwisata dan pembangunan, antara lain:
1. Sebagai arena rekreasi bagi masyarakat misalnya; sirkus, arena permainan anak-anak, panggung kesenian (musik) dan lain-lain
2. Sebagai forum informasi dan komunikasi tentang kebijaksanaan yang dapat diperoleh dari eksposisi atau pameran dari instansi pemerintah
3. Sebagai sarana melestarikan kesenian kebudayaan daerah. Untuk itu disediakan panggung kesenian daerah, pentas kesenian daerah dan lainnya.
Pasar malam tersebut dipakai sebagai ajang berjualan bagi para pedagang seperti penjual makanan, minuman, mainan anak-anak, pakaian, sepatu, bunga dan lainya. Akibat adanya pasar malam dalam perayaan sekaten membuat susana menjadi meriah dan ramai. Disamping itu dalam kegiatan pasar malam tersebut juga diadakan kegiatan keagamaan khususnya agama islam. Kegiatan keagamaan itu antara lain santapan rohani melalui menara siaran, pengajian umum, pameran keagamaan. Pentas seni keagamaan, tabligh di masjid besar dan lainnya.
Hal utama yang paling terlihat adalah maksud dan tujuan masyarakat khususnya generasi muda yang akan datang ke acara Panjang Jimat ini. Pada masa Syarif Hidayatullah ketika Panjang Jimat ini diadakan masyarakat memang benar-benar khusyuk mengikuti ritual Panjang Jimat ini dan mendengarkan ilmu agama dari tabligh yang diadakan oleh ulama. Sekarang keadaannya bergeser, mereka malah lebih bertujuan untuk mengunjungi pasar malam khususnya anak-anak remaja. Memang masih banyak golongan tua yang benar-benar berniat untuk mengikuti Panjang Jimat ini secara keseluruhan, namun kebanyakan dari generasi mudanya hanya ingin datang ke pasar malamnya saja.
Upacara Panjang Jimat dalam bentuk luarnya telah mengalami pergeseran khususnya dari kalangan anak muda yang kurang memperhatikan kesakralan dari makna Panjang Jimat itu sendiri. Demikian adalah beberapa perubahan yang terjadi pada pelaksanaan upacara Panjang Jimat saat ini. Tampak dalam perubahannya bukan yang menyangkut strukur tapi yang mendukung pariwisata dan pembangunan secara prinsipil kesakralan, tujuan, nilai serta struktur dalam upacara grebeg tidak mengalami perubahan.
Meskipun dalam prosesi upacara ada sedikit perbedaan hal tersebut disebabkan karena perubahan jaman, dianggap lebih praktis, ekonomis, sehingga dalam pelaksanaan upacara ada sedikit perkembangan bila dibandingkan dengan dahulu.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Upacara Maulid Nabi adalah suatu bentuk kebudayaan tradisional. Maulid Nabi merupakan suatu salah satu bentuk rasa cinta umat kepada Rasul Nya. Awal mula dari Maulid Nabi ini, pertama kali oleh penguasa bani Fatimah yang pertama menetap di Mesir kemudian sampai ke Indonesia atas jasa Sultan Salahuddin Al Ayyubi Khalifah dari dinasti Abbasiah, di Jawa tradisi Maulid Nabi telah ada sejak zaman walisongo sedangkan di Cirebon sendiri Maulid Nabi setelah Sultan Syarief Hidayatullah berkuasa. Proses dari Maulid Nabi ini sama seperti upacara lainnya. Dalam proses Maulid Nabi ini terdapat beberapa lilin yang dipasang di atas standar, manggara, nagam, jantungan Tumpeng yang mendukung upacara Maulid Nabi.
Dengan berkembangnya jaman yang semakin modern dan mengarah ke globalisasi, maka Maulid Nabi juga mengalami perubahan. Di aspek sosial Maulid Nabi sekarang lebih mendukung kepada pariwisata dan pembangunan namun secara prinsipil kesakralan, tujuan, nilai serta struktur dalam upacara grebeg tidak mengalami perubahan. Meskipun dalam prosesi upacara ada sedikit perbedaan hal tersebut disebabkan karena perubahan jaman, dianggap lebih praktis, ekonomis, sehingga dalam pelaksanaan upacara ada sedikit perkembangan bila dibandingkan dengan dahulu. Di aspek ekonomi Maulud Nabi yang dahulu merupakan sebuah upacara peringatan kelahiran nabi Muhammad Saw saja yang di dalamnya terdapat ritual-ritual khusus sebagai simbol untuk meneladani kerasulannya kini dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat mencari rezeki.

B. SARAN
Sebagai masyarakat yang berbudaya dan menghormati perbedaan kebudayaan disekitar kita, sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikan budaya-budaya di sekitar kita. Terutama tradisi di wilayah kota cirebon khususnya tradisi panjang jimat yang sampai saat ini masih terjaga keasliannya sebagai salah satu budaya Indonesia yang patut dibanggakan.

DAFTAR PUSTAKA
http://silihasih.blog.com/sejarah-cirebon/
http://portalcirebon.blogspot.co.id/2011/02/tradisi-panjang-jimat-keraton-cirebon.html
Sulendraningrat, P.S.1985.Sejarah Cirebon.Jakarta:PN Balai Pustaka