Minggu, April 12, 2020

coronavirus (CoV)

Apa itu coronavirus?

Coronavirus (CoV) adalah keluarga besar dari virus yang menyebabkan penyakit, mulai dari flu biasa hingga penyakit yang lebih parah, seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Sebagian besar coronavirus adalah virus yang tidak berbahaya.

Virus corona pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1960 dalam hidung pasien yang terkena flu biasa (common cold).

Virus ini diberi nama berdasarkan struktur mirip mahkota di permukaannya. “Corona” dalam bahasa Latin berarti “halo” atau “mahkota”.

coronavirus dan paramyxovirus

Dua coronavirus pada manusia, yaitu OC43 dan 229E, adalah yang bertanggung jawab atas terjadinya sebagian flu biasa. Penyakit SARS, MERS, dan COVID-19 yang menjadi pandemi saat ini disebabkan oleh tipe coronavirus lain.

Coronavirus merupakan virus zoonosis, artinya virus ini menyebar dari hewan ke manusia. Investigasi menunjukkan bahwa virus corona penyebab SARS (SARS-CoV) ditularkan dari musang ke manusia.

Pada wabah MERS, hewan yang menyebarkan coronavirus MERS-CoV ke manusia adalah unta dromedaris. Sementara itu, coronavirus yang menyebabkan COVID-19 (SARS-CoV-2) diduga kuat berasal dari trenggiling.

Penyebaran coronavirus sama seperti virus yang penyebab flu lainnya, yakni dari batuk dan bersin, atau dari sentuhan orang yang terinfeksi.

Virus ini juga dapat menular apabila Anda menyentuh barang yang terkontaminasi, lalu menyentuh hidung, mata, dan mulut tanpa mencuci tangan.

Hampir semua orang pernah terinfeksi virus corona setidaknya sekali seumur hidupnya, biasanya terjadi pada anak-anak. Meskipun umumnya muncul pada musim gugur dan dingin, coronavirus juga bisa muncul di Indonesia yang beriklim tropis.

Jenis-jenis coronavirus

Coronavirus adalah virus yang memiliki banyak jenis. Namanya biasanya dibedakan berdasarkan tingkat keparahan penyakit yang disebabkan dan seberapa jauh penyebarannya. 

Sejauh ini ada enam jenis virus corona yang diketahui menginfeksi manusia. Empat di antaranya adalah:

  • 229E
  • NL63 
  • 0C43 
  • HKU1 

Dua jenis sisanya adalah coronavirus yang lebih langka, yakni MERS-CoV penyebab penyakit MERS dan SARS-CoV penyebab SARS.

nama baru coronavirus

Pada awal Januari 2020, pemerintah Tiongkok melaporkan kasus infeksi coronavirus jenis baru yang menyebabkan gejala mirip pneumonia. Virus tersebut tidak memiliki kesamaan dengan tipe coronavirus mana pun.

Virus tersebut mulanya dikenal sebagai novel coronavirus 2019 (2019-nCoV). Setelah melewati berbagai pengamatan dan penelitian, 2019-nCoV secara resmi berganti nama menjadi SARS-CoV-2.

SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dicurigai menular dari hewan kelelawar dan ular ke manusia. Akan tetapi, pada akhir Januari, virus ini juga telah dikonfirmasi menular dari manusia ke manusia.

Gejala

Gejala infeksi virus corona

Orang yang terinfeksi virus ini akan menunjukkan gejala yang berbeda-beda. Gejala infeksi coronavirusbiasanya bergantung dari jenis virus dan seberapa serius infeksinya.

Jika Anda mengalami infeksi pernapasan atas yang ringan hingga sedang, seperti flu biasa, gejala Anda terkena coronavirus adalah:

  • Hidung berair
  • Sakit kepala
  • Batuk
  • Sakit tenggorokan
  • Demam
  • Tidak enak badan secara keseluruhan

Jenis virus corona lain bisa menyebabkan gejala yang lebih serius. Infeksi ini dapat mengarah ke bronkitis dan pneumonia, terutama pada orang-orang dari kelompok berisiko.

Beberapa infeksi yang lebih parah akibat coronavirus adalah yang umumnya lebih sering terjadi pada pengidap gangguan hati dan jantung, atau orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, bayi, dan orang tua.

gejala dan komplikasi coronavirus

Penyakit akibat coronavirus

Apa saja penyakit yang disebabkan oleh coronavirus?

Beberapa jenis coronavirus adalah penyebab penyakit serius. Berbagai penyakit yang mungkin bisa disebabkan oleh coronavirus adalah sebagai berikut:

MERS

Sekitar 858 orang meninggal dunia karena MERS, yang pertama kali muncul pada 2012 di Arab Saudi dan di negara lain di Timur Tengah, Afrika, Asia, dan Eropa. 

Pada April 2014, orang Amerika pertama mendapat perawatan khusus di rumah sakit karena MERS di Indiana dan kasus lain dilaporkan juga terjadi di Florida. Keduanya diketahui baru kembali dari Arab Saudi. 

Pada Mei 2015, kejadian luar biasa MERS terjadi di Korea, yang merupakan kejadian luar biasa terbesar di luar Arab. 

Gejala MERS akibat coronavirus adalah demam, kesulitan bernapas, dan batuk. Penyakit menyebar melalui kontak dekat dengan orang yang telah terinfeksi.

Namun, semua kasus MERS berkaitan dengan orang yang baru kembali dari perjalanan ke Semenanjung Arab. MERS berakibat fatal pada 30-40% pengidapnya. 

masker anti polusi

SARS

Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh SARS-CoV. Penyakit ini biasanya mengakibatkan pneumonia yang mengancam jiwa. 

Virus itu awalnya muncul di Provinsi Guangdong di Tiongkok Selatan pada November 2002, hingga akhirnya tiba di Hong Kong.

SARS-CoV kemudian mulai menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dan menginfeksi orang di 37 negara. 

Pada 2003, sebanyak 774 orang meninggal dunia karena kejadian luar biasa SARS. Pada tahun 2015, tidak ada laporan lebih lanjut tentang kasus SARS.  

Gejala penyakit SARS berkembang dalam waktu seminggu dan diawali dengan demam. Sama seperti flu, gejala yang dirasakan orang dengan penyakit SARS akibat coronavirus adalah:

  • Batuk kering
  • Panas dingin
  • Diare
  • Sesak napas

Pneumonia, infeksi paru-paru parah, mungkin akan berkembang setelahnya. Pada tahap lanjut, SARS menyebabkan kegagalan pada paru-paru, hati, atau jantung. 

COVID-19 (Coronavirus disease 2019)

Pada akhir Desember 2019, World Health Organization (WHO) mengumumkan kasus pneumonia yang penyebabnya tidak diketahui di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok.

Pada 7 Januari, novel coronavirus diidentifikasi sebagai penyebab kasus tersebut. Virus yang saat itu dikenal sebagai 2019-nCoV ini belum pernah ditemukan sebelumnya pada manusia.

Penelitian dalam Journal of Medical Virology menyebut bahwa kebanyakan orang yang terinfeksi virus corona baru ini terpapar daging hewan liar yang dijual di pasar makanan laut Huanan.

COVID-19

Pasar Huanan juga menjual hewan liar seperti kelelawar, ular, dan trenggiling. Menurut penelitian tersebut, virus penyebab COVID-19 berasal dari ular. Hal ini turut menjadi bukti bahwa konsumsi hewan liarbisa meningkatkan risiko penularan penyakit baru.

WHO sendiri telah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020. Meski begitu, Wuhan, kota pertama wabah penyakit ini, tidak lagi mencatat kasus baru per 19 Maret 2020. Hal ini kontras dengan belahan dunia lain yang justru terus mencatatkan kenaikan kasus.

Penyebaran

Bagaimana penyebaran coronavirus?

Seperti yang telah disebutkan, coronavirus adalah virus zoonosis. Artinya, virus ini menular dari hewan ke manusia. Penularan antar-manusia juga bisa terjadi walau belum diteliti secara khusus.

Seiring perkembangannya, virus ini dapat menular melalui beberapa cara. Virus MERS-CoV penyebab penyakit MERS dapat menular melalui dua cara. Pertama, dari hewan ke manusia. Dalam hal ini, unta dipercaya sebagai sumber utama virus.

Penyakit SARS diketahui berasal dari kelelawar dan musang. Penularannya terjadi melalui droplet, atau cairan yang keluar dari sistem pernapasan melalui kontak dekat.

Ada pula kemungkinan droplet virus corona penyebab SARS bertahan di udara dan menular melalui perantara ini. Namun, penularan melalui udara lebih umum terjadi di lingkungan rumah sakit.

Serupa dengan SARS, COVID-19 awalnya diketahui bersumber dari hewan ular. Mereka yang awalnya terjangkit virus ini diketahui telah memakan hewan liar di Pasar Huanan.

Meski begitu, seiring perkembangannya, para ahli meyakini bahwa COVID-19 menular dari orang ke orang melalui droplets. Itu sebabnya, virus ini juga disebut sebagai virus SARS tipe 2 (SARS-CoV-2).

Secara umum, penularan coronavirus terjadi melalui:

  • Melalui udara (virus keluar dari mereka yang batuk dan bersin tanpa menutup mulut)
  • Sentuhan atau jabat tangan dengan pasien positif
  • Menyentuh permukaan benda yang terdapat virus kemudian menyentuh wajah (hidung, mata, dan mulut) tanpa mencuci tangan

Diagnosis dan Pengobatan

Bagaimana mendiagnosis kondisi ini?

Berikut adalah beberapa cara untuk mendiagnosis coronavirus yang dilakukan oleh dokter untuk mencari informasi tentang virus corona yang mungkin menjangkiti Anda:

  • Melihat riwayat kesehatan Anda, termasuk gejala yang Anda rasakan
  • Melakukan pemeriksaan fisik
  • Melakukan tes darah
  • Melakukan tes laboratorium terhadap dahak, sampel dari tenggorokan, atau spesimen pernapasan lainnya. 

Jika Anda mengalami gejala yang telah disebutkan, Anda perlu memberi tahu dokter soal lokasi yang baru Anda kunjungi atau kontak dengan hewan.

Sebagian besar infeksi MERS-CoV ditemukan berasal dari Semenanjung Arab. Sementara itu, untuk SARS-CoV umumnya berasal dari daerah Tiongkok.

Penting pula untuk memberi tahu dokter apabila Anda baru saja dari daerah wabah atau tempat-tempat umum yang dicurigai terinfeksi virus ini.

Kontak dengan hewan-hewan pembawa virus ini, seperti unta dan ular, atau menggunakan produk berbahan unta juga penting untuk disampaikan demi membantu diagnosis penyakit akibat coronavirus.

Bagaimana mengobati infeksi coronavirus?

Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit yang disebabkan oleh virus corona pada manusia, begitu juga dengan COVID-19 yang kini tengah mewabah.

Sebagian besar penyakit akibat virus termasuk COVID-19 adalah self-limiting disease. Artinya, penyakit tersebut bisa sembuh dengan sendirinya.

Walau demikian, ada hal-hal yang dapat meredakan gejala penyakit akibat coronavirus, antara lain:

  • Minum obat flu atau pereda nyeri yang disarankan
  • Gunakan pelembap ruangan atau mandi dengan air panas untuk melegakan sakit tenggorokan dan batuk
  • Jika Anda mengalami sakit ringan, Anda perlu minum banyak air dan beristirahat di rumah

Pencegahan

Bagaimana mencegah infeksi coronavirus?

Untuk mencegah infeksi virus ini, Anda dapat menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Anda dapat mengonsumsi makanan bergizi untuk mempertahankan sistem imun Anda. Pasalnya, penyakit akibat virus umumnya dapat dicegah dengan ketahanan tubuh yang baik.

Beberapa hal yang dapat Anda lakukan, antara lain:

  • Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 20 detik
  • Hindari menyentuh wajah (hidung, mulut, dan mata) dengan tangan yang kotor
  • Hindari berhubungan dengan orang yang sakit
  • Hindari daerah di mana infeksi/wabah terjadi 
  • Bersihkan barang yang sering Anda sentuh
  • Tutupi mulut Anda saat batuk dan bersin dengan tisu dan segera cuci tangan
  • Tetaplah di rumah jika sakit

Seluruh dunia saat ini juga sedang menerapkan social distancing dengan membatasi aktivitas di luar rumah serta kontak dengan orang lain. Ini adalah cara yang efektif untuk mengurangi risiko penularan dan meratakan kurva pandemi COVID-19.

Usul herd immunity (kekebalan kelompok) untuk penanganan COVID-19

herd immunity covid-19

Sir Patrick Vallance, kepala ilmiah pemerintah Inggris mengatakan membuka pilihan untuk membentuk herdimmunity sebagai salah satu pilihan penanganan COVID-19. Ia mengusulkan untuk membentuk kekebalan kelompok dengan membiarkan lebih kurang 60 persen dari populasinya terinfeksi COVID-19.

Pada Jumat (13/3), kepala penasihat medis dan urusan sains pemerintah Inggris, Sir Patrick Vallance, mengatakan di BBC Radio4 bahwa salah satu hal utama yang perlu kita lakukan adalah membangun semacam kekebalan kelompok.

“Sehingga lebih banyak orang kebal terhadap penyakit ini dan kami mengurangi perpindahan,” ujarnya.

Selain Inggris, Belanda juga menyuarakan hal serupa. Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mengatakan lockdown tidak menjadi salah satu pilihan mereka.

Rutte menyebut akan mencari cara lain salah satunya  pilihannya adalah “penyeberan terkontrol dalamkelompok yang memiliki risiko paling rendah.” Maksudnya adalah membiarkan virus menginfeksi kelompok muda dan sehat.

Update Jumlah Sebaran COVID-19
Negara: Indonesia
Data Harian

4,241

Terkonfirmasi

359

Sembuh

373

Meninggal Dunia

Usul tersebut lalu memunculkan banyak komentar dan kritik dari para ahli.

Dua hari kemudian Matt Hancock, Sekretaris Negara untuk Perawatan Kesehatan dan Sosial Inggris, menyangkal hal usulan tersebut. Ia mengatakan bahwa “kekebalan kelompok adalah cara lain yang alami dari suatu epidemi”.

“Kami akan mendengarkan semua ilmuwan yang kredibel dan kita akan melihat semua buktinya,” katanya. “Herd immunity bukan tujuan atau kebijakan kami, ini adalah konsep ilmiah.”

Apa itu herd immunity dalam penanganan hal menular semacam COVID-19?

herd immunity covid-19

Menurut Proyek Pengetahuan Vaksin Universitas Oxford, herd immunity (kekebalan kelompok) adalah kondisi di mana sekelompok besar orang menumbuhkan kekebalan imun atas suatu penyakit. 

Ketika cukup banyak orang di suatu komunitas kebal terhadap suatu penyakit, maka akan sulit bagi virus tersebut untuk menyebar karena tidak banyak orang yang dapat terinfeksi. 

Sebagai contoh, saat satu orang sakit campak dikelilingi oleh orang yang sudah divaksin dan kebal terhadap campak, maka penyakit itu akan sulit untuk menular ke individu lain. Lalu orang-orang yang kebal ini jadi semacam benteng pertahanan. 

Dengan begitu akan dengan cepat menghilang karena virusnya tidak mudah ditularkan kepada kelompok yang rentan (atau tidak kebal).

Herd immunity, atau kekebalan kelompok, atau perlindungan kawanan memberikan perlindungan kepada orang-orang yang rentan seperti bayi yang baru lahir, orang tua, dan mereka yang terlalu sakit untuk divaksin,” tulis University of Oxford.

Hanya saja, kekebalan kelompok tidak melindungi dari semua macam penyakit menular yang dapat divaksin.

Contohnya pada penyakit tetanus yang berasal dari bakteri di lingkungan dan bukan dari orang ke orang. Jadi tidak peduli berapa banyak orang yang divaksinasi atau kebal pada tetanus, itu tidak akan melindungi satu individu yang rentan untuk terinfeksi hal tersebut.

Dalam konsep kekebalan kelompok ini, tidak penting bagaimana cara mereka kebal terhadap virus, apakah itu karena vaksinasi atau karena sudah tertular.

Kekebalan kelompok biasanya dicapai melalui vaksinasi daripada melalui penyebaran atau membiarkan sebagian besar orang terinfeksi yang lalu disembuhkan.

Mengapa kekebalan kelompok tidak perlu dilakukan?

COVID-19 bertahan di udara

Dengan belum adanya vaksin, berarti membentuk herd immunity yang disampaikan Inggris dan Belanda  tersebut adalah dengan membiarkan sebagian besar orang terinfeksi.

Ide tersebut ditentang banyak ahli. Mereka mengingatkan bahwa membiarkan COVID-19 menyebar di antara masyarakat yang lebih muda dan lebih sehat merupakan cara berbahaya untuk membangun kekebalan.

Beberapa ahli menjelaskan mengapa herd immunity tidak bisa melawan penyebaran infeksi COVID-19 dan tidak perlu dilakukan.

Di balik tercetusnya pembentukan kekebalan kelompok ini adalah meminimalkan penyebaran COVID-19 seperti gelombang flu Spanyol pada 1918.

Skenario kekebalan kelompok yang termasuk berhasil adalah saat populasi satu kawanan terinfeksi, sembuh, dan berhasil membentuk imunitas. Membuat mereka resisten terhadap infeksi ulang.

Menurut Sir Patrick Vallance, agar bisa terbentuk herd immunity seperti ini di Inggris, virus COVID-19 perlu menyebar ke sekitar 60 persen populasi Inggris. 

gejala dan komplikasi coronavirus

Berikut perhitungan yang dilansir Vox.

Total ada 66 juta orang yang tinggal di Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara. Dengan strategi herd immunity tersebut, berarti COVID-19 harus dibiarkan menginfeksi sekitar 40 juta orang. 

Mengingat minimnya akses ke perawatan medis dan faktor-faktor lainnya, tingkat kematian dari pembentukan kekebalan kelompok tersebut akan mencapai angka 300 ribu sampai satu juta jiwa.

Hal tersebut menyebabkan lebih dari 200 ilmuwan dan profesional medis menentang strategi kekebalan kelompok dalam sebuah surat terbuka.

Para ahli berpendapat bahwa kekebalan kawanan bukanlah pilihan yang layak. “Cara ini akan membuat tingkat stres bertambah dan tentunya membahayakan banyak nyawa,” tulis para pakar dalam surat tersebut.

Sebaliknya, mereka menyerukan langkah social distancing yang ketat dan lebih serius daripada yang direkomendasikan pemerintah saat ini.

“Dengan menerapkan langkah-langkah social distancing, penyebaran dapat diperlambat, dan ribuan nyawa dapat terhindar dari bahaya. Langkah-langkah tambahan dan lebih ketat harus segera diambil, karena sudah menyebar di negara-negara di seluruh dunia.” ujar mereka.

COVID-19 dan faktor yang membuat virus ini hilang

wna positif covid-19 indonesia

Pandemi COVID-19 yang kini telah menyebabkan lebih dari 129.000 kasus di seluruh dunia dan menelan lebih dari 8.900 korban jiwa dimulai ketika musim dingin berlangsung. 

Banyak orang yang beranggapan bahwa infeksi SARS-CoV-2 mirip dengan flu, yaitu akan menurun ketika cuaca lebih hangat. Faktanya, belum tentu demikian. 

Para ahli masih mencari tahu tingkat bahaya dari COVID-19 dan bagaimana kondisinya ketika musim kemarau dan musim panas. Maka itu, berharap kepada cuaca yang akan menjadi faktor COVID-19 hilang dengan sendirinya ternyata tidak begitu membantu. 

Menurut Marc Lipsitch, DPhil, profesor epidemiologi di Harvard T.H Chan School of Public Health, ada beberapa faktor yang dapat menurunkan tingkat penularan penyakit ini. Lantas, apa saja hal yang dapat mengurangi penyebaran infeksi virus hingga membuatnya benar-benar hilang dari dunia?

1. Lingkungan menurunkan kasus COVID-19

coronavirus tanpa gejala

Salah satu faktor yang mungkin dapat membuat virus COVID-19 tingkat penyebarannya menurun hingga menghilang adalah lingkungan sekitar. 

Pada saat musim dingin berlangsung, udara akan jauh lebih dingin dan tingkat kelempaban pun menurun drastis. Jika berkaca dari kasus influenza, beberapa penelitian menunjukkan bahwa virus flu lebih ‘senang’ pada tempat dengan tingkat kelembapan yang rendah, alias kering. 

Sejumlah penelitian tersebut ternyata memberi harapan pada sebagian orang dan menyangka infeksi SARS-CoV-2 akan hilang ketika cuaca lebih hangat. Padahal, cara kerjanya tidak seperti itu. 

Hal ini dikarenakan influenza mirip dengan COVID-19, yaitu sama-sama menyerang sistem pernapasan. Akan tetapi, mekanisme kerja penyebaran di antara keduanya ternyata berbeda dan belum ada studi khusus yang menjelaskan hubungan antara virus flu dan SARS-CoV-2 dengan iklim.

Walaupun demikian penelitian dari Cold Spring Laboratory menjelaskan penyebaran virus yang berkelanjutan dan pertumbuhan kasus yang cepat terjadi di mana saja. Mulai dari provinsi Tiongkok yang terkenal dingin dan kering, seperti Jilin hingga negara tropis seperti Singapura. 

Selain itu, para ahli berpendapat bahwa cuaca saja, seperti adanya peningkatan suhu dan kelembapan saat musim semi dan panas, tidak bisa dijadikan patokan. 

Ada banyak faktor lain yang dapat membuat penularan virus COVID-19 menurun dan hilang, seperti intervensi pemerintah. Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek kelembapan dan suhu udara pada penyebaran COVID-19. 

2. Perilaku manusia

kebersihan tangan mencegah coronavirus

Selain lingkungan, perilaku manusia juga dianggap dapat menjadi faktor yang dapat menurunkan jumlah kasus pandemi COVID-19 hingga hilang. 

Begini, ketika memasuki musim dingin, kebanyakan orang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan dengan ventilasi yang jarang dibuka dan jarang ke luar rumah. 

Bahkan, banyak dari mereka yang memilih untuk jarang bergerak dan tidak mengeluarkan keringat, sehingga berdampak buruk pada kesehatan mereka sendiri. 

Satu hal yang perlu diingat dari COVID-19 adalah sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk mencegah dan obat untuk mengobati penyakit ini. 

Maka itu, perilaku manusia menjadi kunci dari penyebaran virus SARS-CoV-2 dan bagaimana Anda membantu mengurangi penularan. Cara terbaik untuk melindungi diri dan orang yang terkasih adalah rutin mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir. 

Kebiasaan ini perlu dilakukan sebelum dan sesudah makan lalu setelah menyentuh permukaan barang yang sering disentuh oleh orang-orang, seperti gagang pintu. 

Selain itu, ada beberapa strategi lainnya yang menyangkut perilaku manusia untuk menghentikan penyebaran COVID-19. 

  • social distancing, membatasi kontak fisik dengan lebih sering berada di rumah
  • hindari terlalu sering menyentuh wajah
  • mengganti jabat tangan dengan membenturkan siku, kaki, atau membungkuk
  • tidak bepergian ke luar negeri, terutama negara yang terinfeksi, kecuali mendesak

Banyak orang yang mungkin menyepelekan strategi di atas dan menganggap remeh penularan COVID-19. Mereka mungkin tidak menunjukkan gejala yang serius, tetapi menularkannya kepada orang yang berisiko mengembangkan komplikasi, seperti lansia, adalah kesalahan fatal. 

Maka itu, perilaku manusia menjadi faktor penting dalam membuat virus COVID-19 benar-benar hilang.

3. Sistem kekebalan tubuh 

fakta seputar sistem kekebalan tubuh

Memperhatikan kebersihan diri memang penting, tetapi menjaga kesehatan pun juga tidak kalah serius. Sistem kekebalan tubuh orang yang sehat maupun pasien yang terinfeksi ternyata juga menjadi faktor penting agar virus COVID-19 benar-benar hilang. 

Pada saat virus ini baru dimulai yaitu ketika musim dingin, sistem kekebalan orang yang tinggal di negara yang memiliki musim tersebut bisa lebih buruk dibandingkan musim panas. Salah satu penyebab yang paling mungkin terjadi adalah jarang terpapar sinar matahari ternyata mengurangi respon imun di tubuh. 

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa paparan sinar matahari merupakan salah satu sumber vitamin D yang paling baik dan mengurangi risiko infeksi pernapasan. Maka itu, ketika musim dingin yang jarang memunculkan matahari, ternyata berpengaruh besar terhadap tubuh Anda. 

Oleh karena itu, memenuhi kebutuhan nutrisi dan vitamin pun penting agar tubuh tidak terkena COVID-19 dan berpotensi menyebarkannya ke orang lain. 

4. Berkurangnya host yang berisiko

Angka kasus baru Positif COVID-19 di Indonesia

Tanpa melihat dari faktor musim, penularan virus COVID-19 pun dapat terjadi naik dan menurun karena banyaknya orang yang rentan terhadap penyakit ini. 

Setiap satu kasus dapat menularkan virus lebih dari satu kasus. Setelah kasus pertama berhasil ditangani, mungkin tingkat penyebaran akan berkurang karena frekuensi kontak tidak terjadi. 

Akan tetapi, ada beberapa faktor yang membuat COVID-19 tidak hilang sepenuhnya, yaitu orang terinfeksi yang tidak terdeteksi. Hal ini dapat terjadi dari waktu ke waktu tanpa adanya pengaruh dari iklim dan cuaca. 

Maka itu, social distancing diberlakukan untuk melihat apakah orang yang tidak ada hubungannya dengan pasien pertama dapat menunjukkan gejala terkait COVID-19. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk melacak orang-orang yang melakukan kontak dengan pasien yang tidak sadar dirinya terinfeksi.

Keempat faktor di atas mungkin dapat menjadi cara agar penyebaran COVID-19 berkurang hingga benar-benar hilang. Terlebih lagi, banyaknya orang yang tidak sadar bahwa pandemi COVID-19 merupakan penyakit yang perlu ditanggapi secara serius karena tingkat penularannya yang cukup tinggi. 

Walaupun demikian, setidaknya masih ada harapan untuk menghindari virus ini dengan tetap menjaga kesehatan dan kebersihan diri.

Sumber :  https://hellosehat.com/coronavirus/covid19/