Selasa, November 03, 2015

Peneliti Kembangkan Plester Isi Bahan Radioaktif untuk Terapi Kanker Kulit

Peneliti Kembangkan Plester Isi Bahan Radioaktif untuk Terapi Kanker Kulit

Texas, Kanker kulit banyak ditemukan pada masyarakat Amerika. Salah satu jenis yang paling jamak didapati adalah squamous cell carcinoma (SCC).

Berdasarkan data yang dihimpun Skin Cancer Foundation, 700.000 kasus SCC ditemukan tiap tahunnya di Amerika. Meskipun tergolong kanker jinak, angka insidensi SCC terus meningkat hingga mencapai 200 persen dalam kurun tiga tahun belakangan.

Satu-satunya cara untuk mengobati SCC adalah dengan operasi yang dikombinasikan dengan terapi radiasi (radioterapi), untuk memastikan sisa-sisa sel kankernya benar-benar hilang. Namun terapi radiasi yang ada dirasa terlalu rumit karena membutuhkan instrumen dan fasilitas khusus dalam penatalaksanaannya.

Hal inilah yang kemudian memotivasi Dr Anthony J Di Pasqua dan rekan-rekannya di UNT College of Pharmacy untuk mengembangkan perban radioterapi sebagai alternatif pengobatan bagi pengidap SCC. Sasarannya adalah pasien SCC yang operasinya tidak berjalan sukses sepenuhnya atau mereka yang kasusnya tidak dapat dioperasi.

Perban atau plester ini dibuat dari nanopartikel yang diubah menjadi serat-serat tipis dengan teknik khusus yang disebut 'electrospinning', lalu disatukan menjadi plester. Sebelum diujicobakan, polimer itu akan diaktifkan terlebih dahulu sehingga mengandung bahan aktif radiasi.

Peneliti sendiri berhasil menyamakan level bahan radioaktif dalam plester tersebut dengan yang biasa diberikan lewat terapi biasa.

Untuk menguji efektivitasnya, peneliti lantas menempelkan plester ini ke tubuh beberapa ekor tikus yang mengidap SCC selama satu jam. Dalam kurun 15 hari, peneliti mengukur ukuran tumor yang dimiliki setiap tikus, kemudian dibandingkan dengan ukuran tumor pada tikus yang tidak diberi pengobatan apapun, ataupun tikus yang menjalani terapi radiasi biasa.

Di hari ke-15, tiga dari 10 tikus yang diobati dengan plester radioaktif dilaporkan tak lagi memiliki tumor sama sekali. Sedangkan tumor di tubuh tujuh tikus lainnya nampak jauh lebih kecil ketimbang tumor di tubuh dua kelompok pembandingnya.

Rencananya, dalam waktu dekat Dr Di Pasqua akan melakukan percobaan serupa pada binatang yang lebih besar untuk memastikan apakah plester itu sudah bisa diujicobakan pada manusia atau tidak. Mereka juga berencana memperluas dosis yang dikandung dalam plester untuk menentukan berapa banyak dosis yang memiliki efektivitas paling baik.

"Plester ini dapat disesuaikan kondisi pasien, dan dibuat sedemikian rupa agar mudah diaplikasikan pada lesi tumor dalam berbagai bentuk dan ukuran," imbuh anggota tim peneliti, Bhuvaneswari Koneru, seperti dikutip dari Medical Daily, Jumat (30/10/2015).

@http://health.detik.com/