MATERI 11
PEALIHAN
PARADIGMA DARI PELATIHAN DAN PUSAT PELATIHAN MENJADI BELAJAR DI LEMBAGA
Peralihan paradigma dari pelatihan dan pusat pelatihan
menjadi belajar di lembaga
A.
Beberapa
definisi – organizational learning,
learning organization, learning in organization
Organisasi pembelajar atau organizational
learning dengan uraian (strands) umum tentang teori organisasi menunjukan bahwa literatur tentang
organisasi pembelajar lebih berfokus kepada pembahasan tentang situasi
perubahan dan pengembangan (Doz and Prahalad, 1991). Istilah organisasi
pembelajaran sebagian berasal dari gerakan “In Search of Excellence” dan
selanjutnya digunakan oleh Garrat (Dale, 2003). Namun Geoffrey Holland (Dale,
2003) menyatakan bahwa “Jika kita mau bertahan hidup secara individual atau sebagai
perusahaan, ataupun sebagai bangsa kita harus menciptakan tradisi perusahaan
pembelajaran.” pernyataannya ini mengacu pada usaha mencari contoh-contoh
praktek terbaik sehingga organisasi pembelajaran bisa dijiplak dan
diperbanyak. Kondisi ini justru menyebabkan perusahaan-perusahaan
berusaha mencari contoh dari perusahaan yang berhasil. Dengan kata lain
mereka berusaha mencari organisasi yang paling sempurna untuk dicontoh
tanpa menyadari bahwa tidak ada bentuk organsiasi yang seperti itu. Dengan
suatu proses kajian literatur, wawancara dan investigasi lain maka Pedler, Boydell
dan Burgoyne (1988) mendefinisikan organisasi pembelajaran sebagai berikut:
“Sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari
seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransformasi diri.” Pedler, dkk
(1988) menekankan sifat dua sisi dari defenisi tersebut. Suatu perusahaan
pembelajar bukan organisasi yang semata-mata mengikuti banyak pelatihan.
Perlunya pengembangan ketrampilan individu tertanam dalam konsep, setara dan
merupakan bagian dari kebutuhan akan pembelajaran organisasi. Menurut Pedler,
dkk (Dale, 2003) suatu organisasi pembelajaran adalah organisasi yang:[1]
1. Mempunyai suasana dimana
anggota-anggotanya secara individu terdorong untuk belajar dan mengembangkan
potensi penuh mereka;
2. Memperluas budaya belajar ini sampai
pada pelanggan, pemasok dan stakeholder lain yang signifikan;
4. Berada dalam proses transformasi
organisasi secara terus menerus; Tujuan proses transformasi ini, sebagai
aktivitas sentral, adalah agar perusahaan mampu mencari secara luas ide-ide
baru, masalah-masalah baru dan peluang-peluang baru untuk pembelajaran, dan
mampu memanfaatkan keunggulan kompetitif dalam dunia yang semakin kompetitif.
Learning organizations [are]
organizations where people continually expand their capacity to create the
results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are
nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are
continually learning to see the whole together. (Senge 1990: 3)
The Learning Company is a vision of
what might be possible. It is not brought about simply by training individuals;
it can only happen as a result of learning at the whole organization level.
Learning Company is an organization that facilitates the learning of all its
members and continuously transforms itself. (Pedler et. al. 1991: 1)[2]
Learning organizations are characterized
by total employee involvement in a process of collaboratively conducted,
collectively accountable change directed towards shared values or principles.
(Watkins and Marsick 1992: 118)[3]
Lundberg (Dale, 2003) menyatakan bahwa pembelajaran adalah
suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada pemerolehan dan pengembangan
keterampilan dan pengetahuan serta aplikasinya. Menurutnya pembelajaran
organisasi adalah:
1. Tidaklah semata-mata jumlah
pembelajaran masing-masing anggota;
2. Pembelajaran itu membangun pemahaman
yang luas terhadap keadaan internal maupun eksternal melalui kegiatan-kegiatan
dan sistem-sistem yang tidak tergantung pada anggota-anggota tertentu;
3. Pembelajaran tidak hanya tentang
penataan kembali atau perancangan kembali unsur-unsur organisasi;
4. Pembelajaran lebih merupakan suatu
bentuk meta-pembelajaran yang mensyaratkan pemikiran kembali pola-pola yang
menyambung dan mempertautkan potongan-potongan sebuah organisasi dan juga
mempertautkan pola-pola dengan lingkungan yang relevan;
5. Pembelajaran organisasi adalah suatu
proses yang seolah-olah mengikat beberapa sub-proses, misalnya perhatian,
penafsiran, pencarian, pengungkapan dan penemuan, pilihan, pengaruh dan
penilaian.
6. Pembelajaran organisasi mencakup
baik unsur kognitif, misalnya pengetahuan dan wawasan yang dimiliki bersama
oleh para anggota organisasi maupun kegiatan organisasi yang berulang-ulang,
misalnya rutinitas dan perbaikan tindakan. Ada proses yang sah dan tanpa henti
untuk memunculkan ke permukaan dan menguji praktek-praktek organisasi serta
penjelasan yang menyertainya. Dengan demikian organisasi pembelajar ditandai
dengan pengertian kognitif dan perilaku.
Adapun yang didiskusikan oleh teori organisasi pada umumnya
adalah tentang lingkungan sekitar atau adaptasi organisasi.
Uraian dalam literatur teori organisasi lasimnya dimulai
dari perspektif yang statis dan secara empirik tidak bermaksud memberikan
pemahaman bahwa organisasi dalam prosesnya bersifat pembelajar, berubah dan
berkembang, kecuali walaupun tidak secara menyeluruh dibahas oleh para teoritisi institusional. Scott (1987), menyatakan proses
pembelajaran tersebut terjadi karena dilakukannya proses penyesuaian
institusional pada organisasi karena adanya tekanan lingkungan.
Hal ini terjadi karena hanya penganut (schoolars)
organisasi pembelajar yang melihat bahwa pada konteks organisasi, proses
belajar dan berkembang merupakan sesuatu yang sifatnya sangat individual dan
diperlukan dalam organisasi. Sedangkan pembahasan dalam teori lainnya
menganggap proses belajar merupakan bagian organisasi tetapi tidak dibahas
tuntas pada teori mereka.
Lain halnya dengan penekanan oleh teori organisasi
pembelajar, proses pembelajaran dijabarkan ke dalam seluruh level organisasi.
Dan institusionalisasi ditempatkan sebagai hal rutin organisasi dengan
memperhatikan kesuksesan dan kegagalan yang melingkupinya.[4]
Organisasi Pembelajar
Orgabizatonal Learning Theory pada awalnya dipopulerkan oleh Peter Senge lewat bukunya tentang organisasi
pembelajar yang berjudul The Fifth Discipline. Menurut
Peter Senge (1990) organisasi pembelajaran adalah organisasi dimana orang
terus-menerus memperluas kapasitas mereka untuk menciptakan hasil yang
benar-benar mereka inginkan, dimana pola baru dan ekspansi pemikiran diasuh,
dimana aspirasi kolektif dibebaskan, dan dimana orang terus-menerus belajar
melihat bersama-sama secara menyeluruh.
Pandangan Senge selanjutnya menyatakan bahwa manusia untuk
meningkatkan kapasitas organisasi dapat ditempuh melalui proses belajar; …where
people continually expand their capacity to create the results they truly
desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where
collective aspiration is set free, and where people are continually learning
how to learn together. Senge (1990), memberikan lima saran sebagai sebuah
komponen tehnologi mencapai tujuan organisasi pembelajar yaitu; sistem berpikir
(system thinking), penguasaan pribadi (personal mastery), model mental (mental
models), penjabaran visi (shared vision), dan tim belajar (team
learning). Dengan spirit yang sama, Nonoka dalam Garvin (1991), melihat
karakteristik pengetahuan yang diciptakan perusahaan adalah tempat dimana
penemuan pengetahuan baru bukanlah merupakan sebuah aktivitas khusus. Aktivitas
ini merupakan bagian dari perilaku (way of life). Setiap orang adalah
pekerja berpengetahuan (knowledge workers).
Penganut (scholars) teori organisasi pembelajar,
memiliki ragam definisi tentang teori ini. Menurut Fiol dan Lyles (1985),
organisasi pembelajar adalah proses guna mengembangkan tindakan lewat
pengetahuan dan pengertian yang lebih baik. Hubber (1991), menyatakan bahwa
organisasi pembelajar adalah sebuah entitas yang belajar apabila terjadi
pemrosesan informasi dan merupakan perilaku potensial yang memungkinkan
terjadinya perubahan. Agryris (1977), mendefinisikannya sebagai sebuah proses
deteksi dan koreksi kesalahan (error). Levitt dan March (1988),
menyatakan bahwa organisasi terlihat sebagai sebuah proses belajar karena
proses pengambilan keputusan dalam sejarah terhadap rutinitas yang mengarahkan
perilaku. Stata (1989), melihat bahwa proses pembelajaran terjadi lewat
penjabaran dimana didalamnya ada pengetahuan dan model mental, serta bangunan
pengetahuan dan pengalaman. Secara kesluruhan merupakan memori organisasi.[5]
Pandangan teori ini dirangkum oleh Garvin (1991):…A
leaning organization is an organization skilled at creating, enquiring, and
tranfering knowledge, and modifying behavior to reflect new knowledge and
insights…, rangkuman Garvin (1991), memberikan pemahaman bahwa ide baru
merupakan sesuatu yang esensial bagi organisasi dalam menghadapi tantangan dari
luar, ia harus mengkomunikasikan pengetahuan di dalam organisasi. Rangkuman
Garvin (1991), merupakan langkah awal sebuah organisasi guna mentransform
pengetahuan ke dalam organisasi.
Garvin (1991), selanjutnya melihat ada lima aktivitas
sebagai kemampuan dasar yang harus dimiliki organisasi pembelajar yaitu:
pertama, problem solving yang sistematis (systematic problem solving);
kedua, percobaan (experimentation); ketiga, belajar dari pengalaman masa
lalu; keempat, belajar dari yang lain (learning from others); kelima,
transfer pengetahuan (transfer of knowledge).
Pemecahan masalah yang sistematis adalah aktivitas awal yang
menekankan pada filosofi dan metode yang digunakan bagi peningkatan kualitas,
yang dilakukan melalui program pelatihan tehnik pemecahan masalah berupa
latihan dan contoh kasus sehingga anggota organisasi lebih berdisiplin dalam
pemikiran dan lebih memperhatikan detail sebuah pekerjaan. Akurasi dan
kecermatan merupakan sesuatu yang esensial dalam belajar. Pelatihan diberikan
kepada anggota organisasi secara menyeluruh sebagai sebuah family group.
Latihan dan contoh kasus merupakan pembelajaran yang diadopsi dari metodemetode
peningkatan kualitas yang telah diterima secara luas seperti metode Demming,
Plan Do Check Action (PDCA), tehnik hipotesis-generalisasi, tehnik
hipotesis dan uji, tehnik fact base management, histogram, Parreto
Charts, korelasi, dan lainnya.
Percobaan (eksperimentasi), merupakan aktivitas yang
berusaha secara sistematis mencari dan mencoba pengetahuan baru dengan
menggunakan metode scientific, yang memudahkan proses pemecahan masalah. Bentuk
eksperimentasi terdiri atas dua bentuk; pertama, bentuk on going program,
dilakukan dalam rangkaian eksperimentasi kecil untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih baik dalam bekerja, misalnya percobaan terhadap insentif dan partisipasi
kerja atau pengembangan tehnologi sederhana untuk meningkatkan mutu kerja
praktis. Kedua, Demonstration Projects, biasanya lebih luas dan kompleks
dibanding eksperimentasi on going. Proyek ini dijalankan dalam
kepentingan holistik, sistem yang lebih luas, dan biasanya dalam rangka
peningkatan kapabilitas organisasi yang diperbarui. Karakteristik dari demonstration
project adalah: learning by doing, merupakan sebuah proyek awal sebuah
organisasi sehingga dari pengalaman tersebut diharapkan dapat diadopsi kedalam
skala yang lebih luas, pencarian kebijakan bagi proyek selanjutnya, dan mencari
feedback bagi anggota organisasi.
Biasanya hal ini dikembangkan oleh team multifungsi yang
melaporkan perkembangannya langsung kepada senior manajemen. Belajar dari
pengalaman masa lalu, dilakukan karena perusahaan harus mereview kesuksesan dan
kegagalan, menilainya secara sistematis serta merekamnya sebagai pelajaran
dalam bentuk yang dapat ditemukan dan diakses oleh anggota organisasi. Belajar
dari yang lain, dilakukan karena tidak semua proses pembelajaran dilakukan
dalam refleksi dan analisis intern (self analisys). Kadang kala dirasa
perlu juga untuk memperhatikan lingkungan sekitar dalam bentuk bench-marking
terhadap organisasi lain, analisis kebutuhan customer, dan faktor eksternal
lainnya, yang dianggap berpengaruh dan memberi perspektif baru. Organisasi
pembelajar adalah usaha mengahadirkan seni membuka diri dan perhatian dalam
mendengarkan.
Transfer pengetahuan dimaksudkan agar organisasi lebih
tanggap dan efisien. Ide untuk memaksimalkan kapabilitas organisasi dilakukan
dengan mentransfer pengetahuan secara luas, bukan hanya oleh kalangan tertentu.
Metode untuk memperoleh pengetahuan antara lain melalui artikel-artikel, oral,
laporan visual, situs internet, tour, program pertukaran, program pendidikan
dan latihan, program standarisasi, dan lainnya.[6]
Mirip dengan Garvin (1991) Hodge Antony dan Gales,
menyebutkan karakteristik pembelajaran adalah :
1. Menggambarkan pendekatan sistematis
terhadap penyelesaian persoalan untuk mengetahui pekerjaan apa yang dapat dan
tidak dilakukan
2. Pengembangan kemampuan untuk
memikirkan segala sesuatu di luar keadaan mapan dan rutin
3. Pengembangan kemampuan pribadi
4. Penyebaran pengetahuan dan
organisasi
5. Penyebaran visi organisasi
Proses pembelajaran pada organisasi
memiliki tahapan pengembangannya. Jaikumar dan Bohn (1986) dalam Garvin (1999).
Melihat tahapan perkembangan tersebut sebagai berikut :
1. Mengenal model prototype produk
seperti apa yang paling baik
2. Mengetahui atribut-atribut yang ada
dalam model prototype, serta kemampuan menjelaskan out-put yang baik
3. Diskriminasi diantara
atribut-atribut, mengetahui atribut yang paling penting dengan mempertanyakan
keahlian yang ada apakah masih relevan dengan pola-pola baru. Misalkan bagian
operator perlu dilatih lagi lewat pemagangan
4. Kontrol terhadap atibut lokal,
kontinuitas performasi lewat proses desain yang dilakukan oleh paara ahli atau
spesialis harus dapat dilakukan pula oleh para tehnis terhadap atribut-atribut
yang ada
5. Pengenalan dan pemisahan antara
berbagai kemungkinan atau kontingensi proses produksi dapat dilakukan secara
mekanis dan dimonitor secara manual
6. Pengendalian terhadap kontingensi,
proses-proses dalam organisasi dapat terjadi secara otomatis
Dari pentahapan ini terlihat bahwa
penganut teori organisasi pembelajar memiliki pemikiran yang menggambarkan
bahwa pengetahuan proses produki dan pengoprasiannya dapat diklariikasikan
secaara sistematis kedalam berbagai tingkatan yang menunjukan organisasi dalam
prosesnya selalu mencari proses terbaik lewat proses pembelajaran.[7]
B.
Proses belajar dan komponen sistem organisasi belajar
Beberapa
dimensi perlu ada untuk menjadikan organisasi dapat terus bertahan. Organisasi
seperti ini dinamakan organisasi pembelajar, karena dimensi-dimensi ini akan
memungkinkan organisasi dalam proses belajar, berkembang, dan berinovasi.
Dimensi-dimensi tersebut adalah:
1. Systems
Thinking
2. Personal
Mastery
3. Shared Vision
4. Team Learning
5. Mental Models
Kelima dimensi
organisasi pembelajar ini harus hadir bersama-sama dalam sebuah organisasi
untuk mempercepat proses pembelajaran organisasi dan meningkatkan kemampuannya
untuk beradaptasi pada perubahan dan mengantisipasi perubahan di masa depan.
1. System Thinking
Organisasi pada dasarnya terdiri atas unit yang harus
bekerjasama untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Unit-unit ini antara lain
ada yang disebut divisi, direktorat, bagian, atau cabang. Kesuksesan suatu
organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk melakukan pekerjaan
secara sinergik. Kemampuan untuk membangun hubungan yang sinergik ini
hanya akan dimiliki kalau semua anggota unit saling memahami pekerjaan unit
lain, dan memahami juga dampak dari kinerja unit tempat dia bekerja pada unit
lainnya. Seringkali dalam organisasi orang hanya memahami apa yang dia kerjakan
dan tidak memahami dampak dari pekerjaan dia pada unit lainnya. Selain itu
seringkali timbul fanatisme seakan-akan hanya unit dia sendiri yang penting
perannya dalam organisasi dan unit lainnya tidak berperan sama sekali.
2. Personal Mastery
Organisasi pembelajar memerlukan karyawan yang memiliki
kompetensi yang tinggi agar bisa beradaptasi dengan tuntutan perubahan,
khususnya perubahan teknologi dan perubahan paradigma bisnis dari paradigma yang
berbasis kekuatan fisik (tenaga otot ) ke paradigma yang berbasis pengetahuan
(tenaga otak). Selain itu kecepatan perubahan tipe pekerjaan, telah
menyebabkan banyak pekerjaan yang tidak diperlukan lagi oleh
organisasi karena digantikan oleh tipe pekerjaan baru, atau digantikan
oleh pekerjaan yang menuntut penggunaan teknologi. Untuk memenuhi persyaratan
perubahan dunia kerja ini semua pekerja di sebuah organisasi harus memiliki
kemauan dan kebiasaan untuk meningkatkan kompetensi dirinya dengan terus belajar.
Kompetensi dirinya bukan semata-mata di bidang pengetahuan, tetapi kemampuan
berinteraksi dengan orang lain, menyelesaikan konflik, dan saling mengapresiasi
pekerjaan orang lain. Organisasi lintas fungsi seperti yang telah dibicarakan
di atas akan mempercepat proses pembelajaran individu di dalam organisasi.
3. Shared Vision
Oleh karena organisasi terdiri atas berbagai orang yang
berbeda latar belakang pendidikan, kesukuan, pengalaman serta budayanya, maka
akan sangat sulit bagi organsasi untuk bekerja secara terpadu kalau tidak
memiliki visi yang sama. Selain perbedaan latar belakang karyawan, organisasi
juga memiliki berbagai unit yang pekerjaannya berbeda antara satu unit dengan
unit lainnya. Untuk menggerakkan organisasi pada tujuan yang sama dengan
aktivitas yang terfokus pada pencapaian tujuan bersama diperlukan adanya visi
yang dimiliki oleh semua orang dan semua unit yang ada dalam organisasi.
4. Team Learning.
Kini makin banyak organisasi berbasis team, karena rancangan
organisasi dibuat dalam lintas fungsi yang biasanya berbasis team. Kemampuan
organisasi untuk mensinergikan kegiatan team ini ditentukan oleh adanya visi
bersama dan kemampuan berfikir sistematik. Namun demikian tanpa adanya
kebiasaan berbagi wawasan sukses dan gagal yang terjadi dalam suatu team, maka
pembelajaran organisasi akan sangat lambat, dan bahkan berhenti. Pembelajaran
dalam organisasi akan semakin cepat kalau orang mau berbagi wawasan dan belajar
bersama-sama. Oleh karena itu semangat belajar dalam team, cerita sukses atau
gagal suatu team harus disampaikan pada team yang lainnya. Berbagi wawasan
pengetahuan dalam team menjadi sangat penting untuk peningkatan kapasitas
organisasi dalam menambah modal intelektualnya.
Berdasarkan hasil penelitian Tjakraatmaja (2002) dihasilkan
temuan bahwa untuk membangun learning organization dibutuhkan tiga pilar yang
saling mendukung, yaitu :
1. Pembelajaran Individual
(individual learning),
2. Jalur Transformasi Pengetahuan
3. Pembelajaran Organisasional
(organizational learning).
5. Model Mental
Respon manusia terhadap situasi yang terjadi di
lingkungannya sangat dipengaruhi oleh asumsi dan kebiasaan yang selama ini
berlaku. Di dalam organisasi, berlaku pula kesimpulan yang diambil mengenai
’how things work’ di dalam organisasi. Hal ini disebut dengan mental model,
yang dapat terjadi tidak hanya pada level individual tetapi juga kelompok dan
organisasi.
Mental model memungkinkan manusia bekerja dengan lebih
cepat. Namun, dalam organisasi yang terus berubah, mental model ini
kadang-kadang tidak berfungsi dengan baik dan menghambat adaptasi yang
dibutuhkan. Dalam organisasi pembelajaran, mental model ini didiskusikan,
dicermati, dan direvisi pada level individual, kelompok, dan
organisasi.
Karakteristik Organisasi Pembelajaran
Setiap organisasi mempunyai karakteristik yang
berbeda bergantung jenis, struktur, visi dan misi yang dianut organisasi yang
bersangkutan. Demikian pula organisasi pembelajar, mempunyai karakteristik yang
spesifik dan dapat dibedakan dengan organisasi lainnya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Senge (1995),
bahwa organisasi pembelajar mempunyai lima dimensi yang dapat secara kontinyu
meningkatkan kapasitasnya guna mewujudkan impian, yaitu:
(a) Membangun wawasan bersama, (building
shared vision),
(b) Belajar dalam Tim (team learning),
(c) Berfikir sistematik (systems thinking),
(d) Penguasaan pribadi (personal mastery),
(e) Model mental (mental models).
Kelima dimensi dimaksud dapat membentuk tatanan
organisasi yang berhasil.
Demikian pula Braham, B.J. (2003) mencoba
mengetengahkan organisasi yang mampu belajar sebagai berikut :
Pembelajaran merupakan bagian terpadu dari
setiap aktivitas karyawan dan belajar sudah menjadi bagian dari tugas bukan
beban tambahan.
Pembelajaran adalah sebuah proses, bukan sebuah
peristiwa.
Kerjasama merupakan landasan dari semua
aktivitas/hubungan.
Setiap orang/karyawan berkembang dan bertumbuh,
dan dalam prosesnya mengubah organisasi.
Organisasi pembelajar bersifat kreatif, dan
karyawan membangun kembali organisasi.
Organisasi belajar dari dirinya sendiri, para
karyawan mendidik organisasi tentang efisiensi, peningkatan mutu dan inovasi.
Menjadi bagian dari organisasi yang mampu
belajar adalah sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan.
Dalam organisasi yang mampu belajar, motivasi
sebagai bagian yang sudah menyatu dalam diri setiap karyawan. Pemimpin tidak
perlu banyak instruksi karena karyawan secara otomatis berusaha mengerahkan
kemampuan fisik dan intelektualnya untuk merealisasikan tugas yang menjadi
tanggung jawabnya.
Hal senada dikemukakan juga oleh Robbins, S.P.
(2001) bahwa organisasi pembelajar (learning organization) mempunyai
karakteristik dasar sebagai berikut:
Anggota organisasi mengesampingkan cara pikir
lama
Belajar untuk saling terbuka
Memahami cara kerja organisasi
Menyusun perencanaan, visi yang dapat
disepakati dan dipahami semua anggota
Bersinergi untuk melakukan aksi dalam rangka
pencapaian visi organisasi.
Suatu hal yang perlu ditambahkan pada
karakteristik dasar organisasi pembelajar adalah bekerja secara sistemik karena
keputusan dan tindakan-tindakan yang diambil dalam satu bagian organisasi akan
mempengaruhi bagian lainnya.
Disimpulkan oleh Dharma. S (2001: 30) bahwa
organisasi pembelajar mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Menyambut baik perubahan-perubahan di dalam
organisasi
Menciptakan pengetahuan baru berdasarkan
informasi yang objektif, subyektif, dan simbol-simbol
Memandang ketidakpastian sebagai kesempatan
untuk berkembang dan tantangan
Merangsang dan mendorong akuntabilitas
sumberdaya manusia yang berada pada tingkat organisasi yang paling rendah
Mendorong para manajer untuk bertindak sebagai
coach, mentors dan memfasilitasi proses belajar
Memiliki budaya umpan balik dan keterbukaan
Memiliki pandangan dan sistem holistic terhadap
organisasi dan sistemnya termasuk proses dan keterkaitan diantaranya
Memiliki kesamaan visi, tujuan, dan nilai-nilai
diantara sesama anggota organisasi
Memiliki desentralisasi pembuatan keputusan dan
pemberdayaan sumberdaya manusia
Memiliki pemimpin yang berani mengambil resiko
dan selalu bereksperimen atas dasar perhitungan yang jelas
Memiliki sistem yang mendorong saling belajar
dan menggunakannya dalam organisasi
Berorientasi pada pelanggan
Kepedulian terhadap kebutuhan masyarakat
Menghubungkan pengembangan diri sumber daya
manusia dengan pengembangan organisasi secara keseluruhan
Mengembangkan jaringan di dalam organisasi
melalui pemanfaatan teknologi
Mengembangkan jaringan yang lebih luas dengan
masyarakat dunia usaha
Memberikan kesempatan yang berkelanjutan untuk
belajar dari pengalaman
Menghindari birokrasi
Memberikan penghargaan kepada sumberdaya
manusia yang berinisiatif dan berprestasi
Membangun rasa kepercayaan (trust) dikalangan
organisasi
Melaksanakan perbaikan secara berkelanjutan (continuous
improvement)
Mendorong, mengembangkan dan menghargai semua
bentuk kerjasama kelompok
Mendayagunakan kelompok kerja lintas fungsional
(cross-functional work teams)
Memanfaatkan dan mendayagunakan keahlian-keahlian
sumberdaya manusia yang ada dan mengevaluasi kapasitas belajar
Memandang organisasi sebagai suatu organisme
yang hidup dan berkembang (living and growing organism)
Memandang segala sesuatu yang tidak diharapkan
sebagai kesempatan untuk belajar (view of unixpected as an apportunity to
learn).
Selanjutnya Schein & Senge (Argyris, C.
1999: 6) mendeskripsikan tipe organisasi pembelajar sebagai berikut:
Information
system that provide fast, public feedback on the performance of the
organization as a whole and of its various components;
Flat,
decentralized organizational structures;
Mechanisms for
surfacing and criticizing implicit organizational theories of action,
cultivating systematic programs of experimental inquiry;
Measures of organizational
performance;
System of
incentives aimed at promoting organizational learning; and
Ideologies
associated with such measures, such as total quality, continuous learning,
excellence, openness, and boundary-crossing.
Sejumlah karakteristik organisasi pembelajar
yang dikemukakan ahli perilaku organisasi dapat dijadikan referensi bagi
pengelola organisasi yang ingin maju dan kompetitif. Organisasi pembelajar
tidak harus bercirikan semua item sebagaimana tertera di atas, akan tetapi
dapat mengembangkan sejumlah item yang sesuai dengan karakteristik organisasi
yang dikembangkan dengan memperhatikan ketersediaan sumberdaya organisasi yang
tersedia, baik human dan non human.
Organisasi pembelajar merupakan salah satu ciri
organisasi abad 21, karena organisasi demikian mampu menjawab tantangan yang
dihadapi sekaligus menjamin terciptanya kehidupan dan kelangsungan organisasi.
Organisasi yang mempunyai keunggulan inovasi layanan maupun produk, dimasa
depan akan menjadi organisasi yang senantiasa menumbuhkan komitmen dan
kapasitas belajar anggotanya pada semua tingkat organisasi.
Manfaat
Organisasi Pembelajaran
Manfaat penting membangun organisasi belajar ini adalah
bahwa organisasi mampu menghadapi tantangan perubahan dalam segala aspek
lingkungan kehidupan dan menyesuaikan diri dengan perubahan itu agar tetap
bertahan dan berkembang, mencapai kinerja yang tinggi dan memenangkan
persaingan, dan memperbaiki kualitas dengan memunculkan inovasi.
Manfaat utama organisasi pembelajaran adalah;
a.
Mempertahankan
tingkat inovasi dan tetap kompetitif
b.
Menjadi lebih
baik ditempatkan untuk merespon tekanan eksternal
c. Memiliki
pengetahuan ke sumber daya yang lebih, baik link kebutuhan pelanggan
d. Meningkatkan
kualitas output di semua tingkatan
e. Meningkatkan
citra perusahaan dengan menjadi lebih banyak orang berorientasi
f. Meningkatkan
kecepatan perubahan dalam organisasi
g.
Kemampuan untuk
adaptasi dan antisipasi
h.
Pertumbuhan dan
perkembangan produk dan inovasi proses
i.
Produktifitas
yang lebih tinggi dan keuntungan finansial
j.
Kepuasan kerja
yang lebih tinggi
k.
Peningkatan
yang berkelanjutan
l.
Pembelajaran
yang lebih cepat, lebih baik, dan
menembus batas
Faktor-faktor Organisasi
Pembelajaran
Organisasi Pembelajarn di pengaruhi oleh
factor-faktor berikut:
Budaya belajar
1. Masa depan organisasi
2. Arah tukar menukar
informasi tentang belajar
3. Komitmen belajar
4. Menilai orang dalam hal
gagasan, kreativitas, dan kemampuan berimajinasi (kemampuan memetakan tujuan
jangka panjang secara visual dengan men-slice menjadi bagian-bagian yang
lebih kecil untuk dapat dicapai dalam jangka pendek)
5. Iklim keterbukaan dan
kepercayaan sebagai kekuatan belajar (proses belajar dapat berhasil bila ada
keterbukaan untuk saling berbagi dan dapat menerima pendapat orang lain yang
berbeda. Percaya bahwa informasi yang kita bagikan dapat memberikan nilai bagi
organisasi untuk mencapai tujuannya).
6. Belajar dari pengalaman
Proses manajemen kunci
1.
Perencanaan strategis
2.
Analisis pesaing
3.
Manajemen dan pemanfaatan informasi
4.
Perencanaan kapabilitas
5.
Tim dan organisasi pengembangan
6.
Ukuran kinerja
7.
Sistem imbalan dan penghargaan
Model Pendekatan
Organisasi Pembelajaran:
1.
Understanding the environment, organisasi pembelajaran
akan memahami perubahan yang terjadi pada lingkungan di luar organisasi.
2.
Visionary and Flexible, organisasi
pembelajaran melibatkan sumberdaya manusia untuk bergerak menuju tujuan
organisasi dan mencapainya dengan cara flexible menyesuaikan dengan
perkembangan perubahan lingkungan.
3.
Creates management option, dimulai dari individu
sebagai sumberdaya manusia melakukan kreasi dan inovasi menciptakan hal-hal
baru juga terhadap perkembangan manajemen.
4.
Encourages teamwork, sebagai organisasi
pembelajaran akan melibatkan team dalam organisasi untuk menindaklanjuti
inovasi perorangan menjadi inovasi kelompok atau divisi, sehingga memiliki
kekuatan tindak yang lebih berpengaruh bagi organisasi.
5.
Encourages open discussion, mengembangkan team yang
baik untuk menciptakan hal-hal baru dengan memberikan kebebasan bagi anggota
team untuk saling memberi saran maupun kritik dalam tujuan menemukan solusi.
6.
Persistance, ketekunan, kegigihan dan
tidak mudah putus asa, menjadi ciri khas organisasi pembelajaran dalam mempersiapkan
kapasitas sumberdaya manusia menghadapi masa depan sesuai tujuan organisasi.
Keterampilan Kunci dibutuhkan:
1.
Komunikasi, terutama kemampuan mengembangkan
akses komunikasi dengan organisasi lain.
2.
Menyimak dan mengobservasi.
3.
Membimbing dan mendukung rekan belajar.
4.
Mengambil suatu perspektif holistik:
memperhatikan tim dan organisasi secara keseluruhan.
5.
Menghadapi tantangan dan ketidakpastian.
Pada dasarnya organisasi belajar ini merupakan suatu konsep
dimana organisasi harus melewati proses belajar yang terus menerus secara
mandiri untuk menghadapi hambatan baik dari dalam maupun dari luar organisasi
untuk mencapai tujuan bersama.[8]
C. Organisasi
sebagai lingkungan belajar dan peran change agents
Sebagai
agen perubahan, profesional SDM menghadapi paradoks yang melekat dalam setiap
perubahan organisasi. Seringkali, perubahan harus didasarkan pada masa lalu.
Untuk SDM profesional melayani sebagai agen perubahan, menghormati masa lalu
berarti menghargai dan menghormati tradisi dan sejarah dari bisnis sementara
bertindak untuk masa depan. SDM profesional dapat perlu memaksa atau
memfasilitasi dialog tentang nilai-nilai mereka mengidentifikasi perilaku baru
yang akan membantu untuk menjaga perusahaan kompetitif dari waktu ke waktu.
Menjadi agen perubahan adalah jelas bagian dari nilai-tambah peran SDM
profesional sebagai mitra bisnis.
Para
Filsuf Yunani Heraclitus mengatakan, “Tidak ada yang permanen kecuali perubahan. Perubahan merupakan realitas
yang lebih besar dalam kehidupan kontemporer, yang terjadi dengan kecepatan
dipercepat, dan hampir tidak ada kemungkinan adanya kemapanan (tidak berubah).
Tidak ada lagi untuk berpikir lebih baik fokus pada bisnis seperti
biasa. Organisasi mendapat tekanan oleh lingungan untuk senantiasa
berubah. Organisasi harus menyesuaikan diri jika mereka ingin bertahan hidup
dan terus berkembang.
Tantangan
bagi para manajer saat ini adalah belajar untuk mengelola perubahan yang
terjadi secara efektif (Westover, 2010). Schell dan Solomon (1997)
mengusulkan apa yang mereka yakini menjadi tantangan utama yang dihadapi sumber
daya manusia dalam dekade mendatang. Kemampuan untuk memfasilitasi manajemen
perubahan, dan orang-orang membantu mempersiapkan dan beradaptasi dengan
perubahan dan kompleksitas adalah di bagian atas daftar mereka. Survei tahunan
oleh Institut Sumber Daya Manusia juga daftar mengelola perubahan sebagai salah
satu bagian atas dua kekhawatiran fof tahun 2005 (Laabs, 1996).
Perubahan
adalah bagian integral dari kesuksesan bisnis, dan bahwa profesional sumber
daya manusia secara langsung atau tidak langsung ditunjuk sebagai agen
perubahan organisasi. Karenanya menjadi penting untuk mempertimbangkan
bagaimana tanggungjawab dapat ditingkatkan. Mengubah literatur manajemen
sering menunjukkan perlunya untuk meningkatkan komunikasi dan penguatan
hubungan dan pemahaman sebagai kerangka dasar untuk sukses pelaksanaan strategi
perubahan. terkait untuk profesional sumber daya manusia sebagai agen
perubahan, literatur mengarahkan mereka pada peran ini, tetapi sedikit
literatur yang menjelaskan bagaimana mereka dapat lebih efektif
melaksanakan tanggung jawab tersebut. Untuk mengatasi kekuatan teknologi,
kompetitif, dan demografis yang baru, pemimpin di setiap sektor telah berusaha
untuk secara mendasar mengubah cara organisasi mereka melakukan bisnis.
Perubahan ini telah diarak di bawah banyak spanduk – manajemen mutu total,
rekayasa ulang, restrukturisasi, merger dan akuisisi, perputaran. Namun,
menurut penilaian sebagian besar, beberapa upaya mencapai tujuan mereka. Kurang
dari lima belas dari seratus atau lebih perusahaan dipelajari oleh Kotter
(1998) telah berhasil mengubah dirinya.
Ulrich
(1997) menyatakan bahwa salah satu peran kunci dari (SDM) sumber daya manusia
profesional dalam suatu organisasi adalah untuk “mengelola transformasi dan
perubahan.” Dia menggambarkan transformation secara keseluruhan sebagai
perubahan mendasar dan budaya dalam perusahaan. Ulrich
mendefinisikan tujuan perubahan dalam bisnis sebagai “kemampuan organisasi
untuk memperbaiki desain dan pelaksanaan inisiatif dan untuk mengurangi waktu
siklus dalam semua kegiatan organisasi. Demikian pula, Davis (1998)
memberikan definisi perubahan dari perspektif pengembangan organisasi, yakni
sebagai proses menyelaraskan orang, organisasi dan budaya melalui perubahan
strategi bisnis, struktur, dan sistem. Sumber daya manusia profesional
membantu untuk mengidentifikasi dan menerapkan proses untuk perubahan.
Salah
satu metode untuk membangun lingkungan yang membantu para profesional sumber daya manusia membangun pemahaman
dan keterampilan untuk memfasilitasi perubahan organisasi adalah fokus pada
Brufee pembelajaran kolaboratif (1993) menjelaskan pembelajaran kolaboratif
seperti yang dibangun di antara anggota komunitas dari rekan-rekan berpengetahuan
– orang membangun sesuatu dengan berbicara bersama-sama dan mencapai
kesepakatan. Tujuan pembentukan kelompok belajar kolaboratif adalah untuk
menciptakan landasan untuk menggunakan dialog untuk bersama-sama belajar.
Peters
dan Armstrong (1998) mendefinisikan belajar collaborative sebagai proses
membangun pengetahuan kolektif bagi orang yang bekerja melalui proses
menanyakan dan belajar bersama-sama yang didasarkan pada tujuan bersama.
Melalui pembelajaran kolaboratif, para peserta dapat mengembangkan pemahaman
tujuan bersama andimproved yang dapat meningkatkan pelaksanaan perubahan.
Alat yang tidak termasuk dalam pembelajaran kolaboratif adalah penggunaan
dialog. Bohm (1996) dalam bukunya menggambarkan dialog berasal: dari diameter
kata Yunani / ogos. Logos berarti “kata” atau dalam kasus kami, kami akan
berpikir tentang “arti kata” Dan diameter berarti “melalui” dialog dapat berupa
antara sejumlah orang, bukan hanya dua Bahkan satu orang bisa memiliki rasa
dialog dalam dirinya, jika semangat dialog hadir.
Pembelajaran
kolaboratif memiliki potensi membuka pintu untuk memfasilitasi perubahan
organisasi dan individu. Perubahan ini memiliki implikasi penting bagi
tempat kerja serta untuk belajar lebih banyak tentang belajar kolaboratif itu
sendiri. Covey (1999) Kepemimpinan terletak lebih dalam karakter daripada di
Kompetensi teknis, tetapi kedua adalah antar-woven. Sebagai orang tumbuh dalam
kompetensi mereka menyadari dimensi baru untuk karakter mereka. Misalnya,
ketika kita mengajarkan keterampilan mendengarkan empatik, orang melihat bahwa
mereka cenderung melihat hal-hal dari frame referensi mereka sendiri, dan
mereka mulai menjelajahi kekayaan perspektif orang lain.
Pembelajaran
kolaboratif berpotensi dapat berdampak pada efektifitas organisasi dan
pengembangan individu. Seperti dijelaskan dalam organisasi perubahan.
Kelompok Collaborative mengadakan dua belas pertemuan kelompok dalam periode
empat bulan, mempelajari peran kami sebagai agen perubahan organisasi dan,
melalui partisipasi dalam pembelajaran kolaboratif, menyelidiki dampak kelompok
telah di fasilitasi kami perubahan organisasi. Kelompok Collaborative berfokus
pada menciptakan lingkungan yang mendorong dialog untuk membangun kepercayaan
dan secara aktif menggunakan alat-alat pembelajaran kolaboratif – dialog,
mendengarkan aktif, bertanya kembali, menangguhkan asumsi, dan refleksi.
Melalui
tindakan kolaboratif berinteraksi dengan
manajer dan karyawan lainnya di seluruh organisasi untuk memiliki kesempatan
membangun jembatan dan memfasilitasi pemahaman tentang perubahan di perusahaan
dan menghormati mereka sebagai individu yang unik, sementara juga
mempertimbangkan tujuan dan batas-batas organisasi. Menurut Weick (1995)
memahami pikiran/perasaan termasuk hal-hal seperti penempatan bagian-bagian ke
dalam kerangka kerja, memahami, upaya penanganan kejutan, membangun artinya,
berinteraksi dalam mengejar saling pengertian, dan pola Weick lebih lanjut
menyatakan bahwa sensemaking dapat dipandang sebagai suatu siklus berulang yang
terdiri dari urutan peristiwa yang terjadi dari waktu ke waktu. Siklus ini
dimulai sebagai individu membentuk antisipasi sadar dan sadar dan asumsi, yang
berfungsi sebagai prediksi tentang peristiwa masa depan.
Penulis
lain seperti Shotter (1993) dan Schon (1983) juga menggambarkan memahami
pikiran/perasaan sebagai proses yang untuk membangun pengetahuan atau
pengertian dari suatu situasi atau masalah yang awalnya tidak masuk akal.
Weick
(1995) menekankan bahwa memahami pikiran/perasaan merupakan proses yang
melibatkan suatu kegiatan. Ia merangkum tujuh sifat memahami pikiran/perasaan
sebagai berikut: (1). Identitas: Resepnya adalah pertanyaan tentang siapa aku
ini seperti yang ditunjukkan oleh penemuan tentang bagaimana dan apa yang saya
pikirkan, (2) Retrospeksi: Untuk mempelajari apa yang aku pikirkan, aku melihat
kembali apa yang yang saya katakan sebelumnya, (3). Pengesahan: saya membuat
objek yang akan dilihat dan diperiksa saat saya mengatakan atau melakukan
sesuatu, (4) Sosial: Apa yang saya katakan akan keluar dan menyimpulkan
yang ditentukan oleh siapa saya dan bagaimana disosialisasikan, (5) Ongoing:
saya berbicara tersebar di waktu, bersaing untuk perhatian dengan proyek-proyek
yang sedang berlangsung lainnya, dan ini tercermin pada sikap dan tindakan,
yang berarti minat saya mungkin sudah mengalami perubahan, (6) Isyarat
diekstrak: apa yang saya lakukan memperindah sebagai isi dari pemikiran
ini hanya sebagian kecil dari ucapan yang menjadi menonjol karena konteks dan
personal disposisi, dan (7) Masuk akal: saya perlu cukup tahu
tentang apa yang saya pikirkan untuk mendapatkan tugas-tugas saya, tapi tidak
lebih, yang berarti masuk akal didahulukan atas ketepatan (akurasi).
Nilai
pembelajaran kolaboratif adalah proses mengartikulasikan pikiran dan meminta
orang lain membantu mengungkap asumsi yang dibuat.
Salah
satu tema utama yang berkaitan dengan pembelajaran kolaboratif adalah bahwa
sebagai agen perubahan Organisasi kita dipengaruhi oleh perubahan itu sendiri
yang datang dari dua arah – yang pertama bahwa kita akan memfasilitasi
perubahan untuk perusahaan dan kedua, bagaimana reaksi kita sendiri menghadapi
perubahan itu.
Sumber
daya manusia yang profesional tidak selalu dalam organisasi. Hal penting untuk
dipahami adalah bahwa sumber daya manusia profesional perlu mengembangkan
metode yang memungkinkan mereka untuk dengan cepat menyerap atau cepat
bertindak melalui siklus perubahan. Aspek lain dari perubahan pribadi
yang dibahas adalah sifat individu
penerimaan perubahan dan dampak pengalaman individu itu sendiri dan nilai-nilai
terjadi pada proses perubahan. Jarvis (1999) memunculkan isu tentang
kecenderungan kepribadian dan gaya belajar pada reflektifitas. Dengan
berpedoman pada penelitian Kagan (1971), ia membuat kesimpulan bahwa pemikir
reflektif tidak selalu hati-hati, mereka hanya memilih untuk mempertimbangkan
alternatif lagi sebelum mereka mencapai solusi.
Senge
et al, (1999) menggambarkan bagaimana dialog kolaboratif dapat mengakibatkan
Organisasi berbagi makna: individu memahami hidup berdasarkan pengalaman
pribadi. Tetapi itu tidak mudah dalam sebuah organisasi, di mana “pengalaman”
telah tersebar di antara semua karyawan. Beberapa telah mengumpulkan informasi
dengan berbicara kepada pelanggan, yang lain telah bereksperimen, yang lain
telah menganalisis kesalahan dan keberhasilan, dan masih orang lain telah
berinteraksi dengan pemasok. Semua dari banyak perspektif dapat dibawa untuk
menanggung pada kritis masalah organisasi, tetapi hanya melalui percakapan yang
disengaja.
Dialog
melalui kelompok kerja kolaboratif dapat mendukung perubahan pribadi dan
perubahan organisasi. Pada akhirnya, perubahan organisasi adalah
tergantung pada perubahan individu. Satu dari peluang yang disediakan
oleh kami bahwa pertemuan kelompok yang mempengaruhi kemampuan individu untuk
memfasilitasi nya sendiri akan perubahan dilakukan dalam bentuk refleksi.
Mezirow (1990) menggambarkan pembelajaran untuk orang dewasa sebagai orang yang
“terpusat dan terlibat dalam menciptakan dan memfasilitasi masyarakat dialogis
untuk memungkinkan peserta didik untuk terlibat dalam wacana rasional dan
tindakan”.
Mereka sehari-hari berinteraksi dengan semua
tingkat manajemen organisasi- dari level bawah sampai pemilik toko. Mereka
berada dalam posisi untuk melayani sebagai jembatan yang kuat antara tujuan
organisasi dan orang yang memfasilitasi tujuan organisasi di garis depan. Kunci
untuk memaksimalkan sumber daya yang berharga adalah untuk mengidentifikasi
metode melalui sumber daya manusia yang profesional agar dapat memahami dan
mengelola nya. Ulrich (1997) mencatat, agen sumber daya manusia yang sukses
adalah bila dalam perubahan bisa mengganti ‘resistensi dengan tekad’,
‘perencanaan dengan hasil’, dan ‘takut perubahan dengan kegembiraan’.
Faktor kunci sukses lebih puas dengan pekerjaan mereka sendiri dan
perusahaan, berada dalam posisi yang lebih baik untuk memfasilitasi keinginan
berubah dengan orang lain.
Hamilton
(1994) menjelaskan tentang model perkembangan melalui lima tahap interaksi
manusia dalam perkembangan proses keahlian melalui belajar kolaboratif, yaitu
(1) teknik dan Strategi belajar, (2) menerapkan apa yang telah Anda pelajari,
(3) mengembangkan Kompetensi, (4) Menjadi proticient, dan (5) Menjadi seorang
ahli. Pembelajaran kolaboratif memiliki potensi untuk memberikan gambaran
praktek agen perubahan dalam suatu organisasi. Pengungkapan asumsi, visi
bersama, membangun teori dan pengujian, sensemaking (memahami
perasaan/pikiran), dan refleksi hasil akan menghasilkan SDM secara
profesional yang lebih siap untuk berubah secara pribadi, dan membantu
orang lain memfasilitasi perubahan untuk diri mereka sendiri.[9]
KESIMPULAN
Perkembangan
zaman pada saat ini membuat organisasi dihadapkan pada suatu tantangan dalam
menghadapi persaingan bisnis. Setiap organisasi dituntut untuk memiliki
keunggulan bersaing agar dapat tetap bertahan yang didukung dengan intelegensi
organisasi untuk mengelola pengetahuan melalui proses belajar berkelanjutan.
Pada era tahun 1990an diperkenalkanlah suatu konsep organisasi belajar yang
berperan membekali organisasi dengan basis pengetahuan dalam rangka memenangkan
persaingan. Organisasi belajar sangat diperlukan terutama dalam menghadapi
perubahan lingkungan yang sangat cepat.
Pada
dasarnya organisasi belajar ini merupakan suatu konsep dimana organisasi harus
melewati proses belajar yang terus menerus secara mandiri untuk menghadapi
hambatan baik dari dalam maupun dari luar organisasi untuk mencapai tujuan
bersama.
Dalam kelompok belajar kolaboratif,
disimpulkan bahwa ada beberapa hal penting yang menjadi kekuatan agen perubahan
dalam proses belajar kolaboratif, yaitu: (1) bahwa dialog dan refleksi dapat
membantu agen perubahan dalam mengurangi hambatan sendiri dalam perubahan dan
membangun hubungan. Agar efektif dalam memfasilitasi perubahan harus
terlebih dahulu memahami bagaimana hubungan pribadi, keterlibatan dan pemahaman
perubahan dapat mempengaruhi orang lain, serta secara pribadi mengasimilasi
perubahan yang direncanakan, (2) sebuah kelompok belajar kolaboratif harus
memiliki tim dengan menyediakan kesempatan untuk berbicara satu sama lain – tidak
hanya tentang proses – tetapi juga tentang bagaimana kondisi individu mereka,
(3) dialog dan apresiasi yang lebih dalam memfasilitasi pembelajaran
kolaboratif dapat membawa wawasan tentang bagaimana pemahaman lingkungan akan
mendorong perubahan organisasi, (4) proses kolaborasi dialog dapat membantu
para profesional untuk mengidentifikasi dan mengartikulasikan model dan
teori-teori yang mereka gunakan untuk memfasilitasi perubahan dan praktek
bekerja lainnya, (5) partisipasi dalam kelompok dapat membantu anggota dalam
identifikasi asumsi mereka sendiri dan memungkinkan dialog yang lebih
bermakna berlangsung dengan lebih memahami asumsi orang lain, (6) sebuah
kelompok belajar kolaboratif bisa menjadi tempat untuk berbagi keprihatinan dan
kesempatan untuk verbalisasi frustrasi dan keraguan dalam lingkungan yang aman,
(7) sebuah kelompok belajar kolaboratif memberikan kesempatan bagi sensemaking
(memahami perasaan/pikiran) tentang profesi diri sendiri dan organisasi, (8)
konsisten terhadap pertemuan yang sudah dijadwalkan membantu menjaga topik
prioritas, seperti fokus pada organisasi perubahan, (9) lingkungan yang
dibuat oleh pengalaman Collaborative menunjukkan dukungan jaringan
rekan-rekan, dan sangat berharga bagi rekan-rekan yang berbagi tanggung jawab
pada pekerjaan yang sama, (10) sangat penting untuk mengenali putusan antara
“kecepatan perusahaan” dalam perubahan dan “kecepatan hubungan” yang diperlukan
untuk secara efektif memfasilitasi Perubahan itu sendiri, (11) pengalaman
belajar kolaboratif dapat terjadi tidak hanya di kelompok sektor formal, tetapi
juga dengan profesional sumber daya manusia yang memfasilitasi perubahan.
Perubahan
Organisasi dan memfasilitasi individu untuk berubah akan terus menjadi fokus
perusahaan. Peran sumber daya manusia profesional juga akan terus semakin
fokus untuk membantu organisasi dalam memfasilitasi perubahan.
Masih banyak para profesional sumber daya manusia yang berperan
memfasilitasi perubahan tetapi tidak sepenuhnya memahami atau mendukung tujuan
organisasi.
DAFTAR
PUSTAKA
5. Hardjito,
Dydiet. (2001). Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
7. Winardi, J.
(2011). Teori Organisasi dan teknik Pengorganisasian. Jakarta: Rajawali
Pers
8. Senge,
Peter. M (1998). Disipli kelima, Seni dan praktek organisasi pembelajaran.
Binarrupa aksara. Jakarta