Jumat, Juni 17, 2016

MATERI 11 PEALIHAN PARADIGMA DARI PELATIHAN DAN PUSAT PELATIHAN MENJADI BELAJAR DI LEMBAGA



MATERI 11
PEALIHAN PARADIGMA DARI PELATIHAN DAN PUSAT PELATIHAN MENJADI BELAJAR DI LEMBAGA


Peralihan paradigma dari pelatihan dan pusat pelatihan menjadi belajar di lembaga
A.      Beberapa definisi – organizational learning, learning organization, learning in organization
Organisasi pembelajar atau organizational learning dengan uraian (strands) umum tentang teori organisasi menunjukan bahwa literatur tentang organisasi pembelajar lebih berfokus kepada pembahasan tentang situasi perubahan dan pengembangan (Doz and Prahalad, 1991). Istilah organisasi pembelajaran sebagian berasal dari gerakan “In Search of Excellence” dan selanjutnya digunakan oleh Garrat (Dale, 2003). Namun Geoffrey Holland (Dale, 2003) menyatakan bahwa “Jika kita mau bertahan hidup secara individual atau sebagai perusahaan, ataupun sebagai bangsa kita harus menciptakan tradisi perusahaan pembelajaran.” pernyataannya ini mengacu pada usaha mencari contoh-contoh praktek terbaik sehingga organisasi pembelajaran bisa dijiplak dan diperbanyak. Kondisi ini justru menyebabkan perusahaan-perusahaan berusaha mencari contoh dari perusahaan yang berhasil. Dengan kata lain mereka berusaha mencari organisasi yang paling sempurna untuk dicontoh tanpa menyadari bahwa tidak ada bentuk organsiasi yang seperti itu. Dengan suatu proses kajian literatur, wawancara dan investigasi lain maka Pedler, Boydell dan Burgoyne (1988) mendefinisikan organisasi pembelajaran sebagai berikut:
“Sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransformasi diri.” Pedler, dkk (1988) menekankan sifat dua sisi dari defenisi tersebut. Suatu perusahaan pembelajar bukan organisasi yang semata-mata mengikuti banyak pelatihan. Perlunya pengembangan ketrampilan individu tertanam dalam konsep, setara dan merupakan bagian dari kebutuhan akan pembelajaran organisasi. Menurut Pedler, dkk (Dale, 2003) suatu organisasi pembelajaran adalah organisasi yang:[1]
1.    Mempunyai suasana dimana anggota-anggotanya secara individu terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka;
2.    Memperluas budaya belajar ini sampai pada pelanggan, pemasok dan stakeholder lain yang signifikan;
3.    Menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis;
4.    Berada dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus; Tujuan proses transformasi ini, sebagai aktivitas sentral, adalah agar perusahaan mampu mencari secara luas ide-ide baru, masalah-masalah baru dan peluang-peluang baru untuk pembelajaran, dan mampu memanfaatkan keunggulan kompetitif dalam dunia yang semakin kompetitif.
Learning organizations [are] organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together. (Senge 1990: 3)
The Learning Company is a vision of what might be possible. It is not brought about simply by training individuals; it can only happen as a result of learning at the whole organization level. Learning Company is an organization that facilitates the learning of all its members and continuously transforms itself. (Pedler et. al. 1991: 1)[2]
Learning organizations are characterized by total employee involvement in a process of collaboratively conducted, collectively accountable change directed towards shared values or principles. (Watkins and Marsick 1992: 118)[3]
Lundberg (Dale, 2003) menyatakan bahwa pembelajaran adalah suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada pemerolehan dan pengembangan keterampilan dan pengetahuan serta aplikasinya. Menurutnya pembelajaran organisasi adalah:
1.    Tidaklah semata-mata jumlah pembelajaran masing-masing anggota;
2.    Pembelajaran itu membangun pemahaman yang luas terhadap keadaan internal maupun eksternal melalui kegiatan-kegiatan dan sistem-sistem yang tidak tergantung pada anggota-anggota tertentu;
3.    Pembelajaran tidak hanya tentang penataan kembali atau perancangan kembali unsur-unsur organisasi;
4.    Pembelajaran lebih merupakan suatu bentuk meta-pembelajaran yang mensyaratkan pemikiran kembali pola-pola yang menyambung dan mempertautkan potongan-potongan sebuah organisasi dan juga mempertautkan pola-pola dengan lingkungan yang relevan;
5.    Pembelajaran organisasi adalah suatu proses yang seolah-olah mengikat beberapa sub-proses, misalnya perhatian, penafsiran, pencarian, pengungkapan dan penemuan, pilihan, pengaruh dan penilaian.
6.    Pembelajaran organisasi mencakup baik unsur kognitif, misalnya pengetahuan dan wawasan yang dimiliki bersama oleh para anggota organisasi maupun kegiatan organisasi yang berulang-ulang, misalnya rutinitas dan perbaikan tindakan. Ada proses yang sah dan tanpa henti untuk memunculkan ke permukaan dan menguji praktek-praktek organisasi serta penjelasan yang menyertainya. Dengan demikian organisasi pembelajar ditandai dengan pengertian kognitif dan perilaku.
Adapun yang didiskusikan oleh teori organisasi pada umumnya adalah tentang lingkungan sekitar atau adaptasi organisasi.
Uraian dalam literatur teori organisasi lasimnya dimulai dari perspektif yang statis dan secara empirik tidak bermaksud memberikan pemahaman bahwa organisasi dalam prosesnya bersifat pembelajar, berubah dan berkembang, kecuali walaupun tidak secara menyeluruh dibahas oleh para teoritisi institusional. Scott (1987), menyatakan proses pembelajaran tersebut terjadi karena dilakukannya proses penyesuaian institusional pada organisasi karena adanya tekanan lingkungan.
Hal ini terjadi karena hanya penganut (schoolars) organisasi pembelajar yang melihat bahwa pada konteks organisasi, proses belajar dan berkembang merupakan sesuatu yang sifatnya sangat individual dan diperlukan dalam organisasi. Sedangkan pembahasan dalam teori lainnya menganggap proses belajar merupakan bagian organisasi tetapi tidak dibahas tuntas pada teori mereka.
Lain halnya dengan penekanan oleh teori organisasi pembelajar, proses pembelajaran dijabarkan ke dalam seluruh level organisasi. Dan institusionalisasi ditempatkan sebagai hal rutin organisasi dengan memperhatikan kesuksesan dan kegagalan yang melingkupinya.[4]
Teori-Organisasi-Pembelajar
Organisasi Pembelajar
Orgabizatonal Learning Theory pada awalnya dipopulerkan oleh Peter Senge lewat bukunya tentang organisasi pembelajar yang berjudul The Fifth Discipline.  Menurut Peter Senge (1990) organisasi pembelajaran adalah organisasi dimana orang terus-menerus memperluas kapasitas mereka untuk menciptakan hasil yang benar-benar mereka inginkan, dimana pola baru dan ekspansi pemikiran diasuh, dimana aspirasi kolektif dibebaskan, dan dimana orang terus-menerus belajar melihat bersama-sama secara menyeluruh.
Pandangan Senge selanjutnya menyatakan bahwa manusia untuk meningkatkan kapasitas organisasi dapat ditempuh melalui proses belajar; …where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning how to learn together. Senge (1990), memberikan lima saran sebagai sebuah komponen tehnologi mencapai tujuan organisasi pembelajar yaitu; sistem berpikir (system thinking), penguasaan pribadi (personal mastery), model mental (mental models), penjabaran visi (shared vision), dan tim belajar (team learning). Dengan spirit yang sama, Nonoka dalam Garvin (1991), melihat karakteristik pengetahuan yang diciptakan perusahaan adalah tempat dimana penemuan pengetahuan baru bukanlah merupakan sebuah aktivitas khusus. Aktivitas ini merupakan bagian dari perilaku (way of life). Setiap orang adalah pekerja berpengetahuan (knowledge workers).
Penganut (scholars) teori organisasi pembelajar, memiliki ragam definisi tentang teori ini. Menurut Fiol dan Lyles (1985), organisasi pembelajar adalah proses guna mengembangkan tindakan lewat pengetahuan dan pengertian yang lebih baik. Hubber (1991), menyatakan bahwa organisasi pembelajar adalah sebuah entitas yang belajar apabila terjadi pemrosesan informasi dan merupakan perilaku potensial yang memungkinkan terjadinya perubahan. Agryris (1977), mendefinisikannya sebagai sebuah proses deteksi dan koreksi kesalahan (error). Levitt dan March (1988), menyatakan bahwa organisasi terlihat sebagai sebuah proses belajar karena proses pengambilan keputusan dalam sejarah terhadap rutinitas yang mengarahkan perilaku. Stata (1989), melihat bahwa proses pembelajaran terjadi lewat penjabaran dimana didalamnya ada pengetahuan dan model mental, serta bangunan pengetahuan dan pengalaman. Secara kesluruhan merupakan memori organisasi.[5]
Pandangan teori ini dirangkum oleh Garvin (1991):…A leaning organization is an organization skilled at creating, enquiring, and tranfering knowledge, and modifying behavior to reflect new knowledge and insights…, rangkuman Garvin (1991), memberikan pemahaman bahwa ide baru merupakan sesuatu yang esensial bagi organisasi dalam menghadapi tantangan dari luar, ia harus mengkomunikasikan pengetahuan di dalam organisasi. Rangkuman Garvin (1991), merupakan langkah awal sebuah organisasi guna mentransform pengetahuan ke dalam organisasi.
Garvin (1991), selanjutnya melihat ada lima aktivitas sebagai kemampuan dasar yang harus dimiliki organisasi pembelajar yaitu: pertama, problem solving yang sistematis (systematic problem solving); kedua, percobaan (experimentation); ketiga, belajar dari pengalaman masa lalu; keempat, belajar dari yang lain (learning from others); kelima, transfer pengetahuan (transfer of knowledge).
Pemecahan masalah yang sistematis adalah aktivitas awal yang menekankan pada filosofi dan metode yang digunakan bagi peningkatan kualitas, yang dilakukan melalui program pelatihan tehnik pemecahan masalah berupa latihan dan contoh kasus sehingga anggota organisasi lebih berdisiplin dalam pemikiran dan lebih memperhatikan detail sebuah pekerjaan. Akurasi dan kecermatan merupakan sesuatu yang esensial dalam belajar. Pelatihan diberikan kepada anggota organisasi secara menyeluruh sebagai sebuah family group. Latihan dan contoh kasus merupakan pembelajaran yang diadopsi dari metodemetode peningkatan kualitas yang telah diterima secara luas seperti metode Demming, Plan Do Check Action (PDCA), tehnik hipotesis-generalisasi, tehnik hipotesis dan uji, tehnik fact base management, histogram, Parreto Charts, korelasi, dan lainnya.
Percobaan (eksperimentasi), merupakan aktivitas yang berusaha secara sistematis mencari dan mencoba pengetahuan baru dengan menggunakan metode scientific, yang memudahkan proses pemecahan masalah. Bentuk eksperimentasi terdiri atas dua bentuk; pertama, bentuk on going program, dilakukan dalam rangkaian eksperimentasi kecil untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dalam bekerja, misalnya percobaan terhadap insentif dan partisipasi kerja atau pengembangan tehnologi sederhana untuk meningkatkan mutu kerja praktis. Kedua, Demonstration Projects, biasanya lebih luas dan kompleks dibanding eksperimentasi on going. Proyek ini dijalankan dalam kepentingan holistik, sistem yang lebih luas, dan biasanya dalam rangka peningkatan kapabilitas organisasi yang diperbarui. Karakteristik dari demonstration project adalah: learning by doing, merupakan sebuah proyek awal sebuah organisasi sehingga dari pengalaman tersebut diharapkan dapat diadopsi kedalam skala yang lebih luas, pencarian kebijakan bagi proyek selanjutnya, dan mencari feedback bagi anggota organisasi.
Biasanya hal ini dikembangkan oleh team multifungsi yang melaporkan perkembangannya langsung kepada senior manajemen. Belajar dari pengalaman masa lalu, dilakukan karena perusahaan harus mereview kesuksesan dan kegagalan, menilainya secara sistematis serta merekamnya sebagai pelajaran dalam bentuk yang dapat ditemukan dan diakses oleh anggota organisasi. Belajar dari yang lain, dilakukan karena tidak semua proses pembelajaran dilakukan dalam refleksi dan analisis intern (self analisys). Kadang kala dirasa perlu juga untuk memperhatikan lingkungan sekitar dalam bentuk bench-marking terhadap organisasi lain, analisis kebutuhan customer, dan faktor eksternal lainnya, yang dianggap berpengaruh dan memberi perspektif baru. Organisasi pembelajar adalah usaha mengahadirkan seni membuka diri dan perhatian dalam mendengarkan.
Transfer pengetahuan dimaksudkan agar organisasi lebih tanggap dan efisien. Ide untuk memaksimalkan kapabilitas organisasi dilakukan dengan mentransfer pengetahuan secara luas, bukan hanya oleh kalangan tertentu. Metode untuk memperoleh pengetahuan antara lain melalui artikel-artikel, oral, laporan visual, situs internet, tour, program pertukaran, program pendidikan dan latihan, program standarisasi, dan lainnya.[6]
Mirip dengan Garvin (1991) Hodge Antony dan Gales, menyebutkan karakteristik pembelajaran adalah :
1.      Menggambarkan pendekatan sistematis terhadap penyelesaian persoalan untuk mengetahui pekerjaan apa yang dapat dan tidak dilakukan
2.      Pengembangan kemampuan untuk memikirkan segala sesuatu di luar keadaan mapan dan rutin
3.      Pengembangan kemampuan pribadi
4.      Penyebaran pengetahuan dan organisasi
5.      Penyebaran visi organisasi
Proses pembelajaran pada organisasi memiliki tahapan pengembangannya. Jaikumar dan Bohn (1986) dalam Garvin (1999). Melihat tahapan perkembangan tersebut sebagai berikut :
1.      Mengenal model prototype produk seperti apa yang paling baik
2.      Mengetahui atribut-atribut yang ada dalam model prototype, serta kemampuan menjelaskan out-put yang baik
3.      Diskriminasi diantara atribut-atribut, mengetahui atribut yang paling penting dengan mempertanyakan keahlian yang ada apakah masih relevan dengan pola-pola baru. Misalkan bagian operator perlu dilatih lagi lewat pemagangan
4.      Kontrol terhadap atibut lokal, kontinuitas performasi lewat proses desain yang dilakukan oleh paara ahli atau spesialis harus dapat dilakukan pula oleh para tehnis terhadap atribut-atribut yang ada
5.      Pengenalan dan pemisahan antara berbagai kemungkinan atau kontingensi proses produksi dapat dilakukan secara mekanis dan dimonitor secara manual
6.      Pengendalian terhadap kontingensi, proses-proses dalam organisasi dapat terjadi secara otomatis
Dari pentahapan ini terlihat bahwa penganut teori organisasi pembelajar memiliki pemikiran yang menggambarkan bahwa pengetahuan proses produki dan pengoprasiannya dapat diklariikasikan secaara sistematis kedalam berbagai tingkatan yang menunjukan organisasi dalam prosesnya selalu mencari proses terbaik lewat proses pembelajaran.[7]
B.    Proses belajar dan komponen sistem organisasi belajar
Beberapa dimensi perlu ada untuk menjadikan organisasi dapat terus bertahan. Organisasi seperti ini dinamakan organisasi pembelajar, karena dimensi-dimensi ini akan memungkinkan organisasi dalam proses belajar, berkembang, dan berinovasi. Dimensi-dimensi tersebut adalah:
1.      Systems Thinking
2.      Personal Mastery
3.       Shared Vision
4.      Team Learning
5.      Mental Models
Kelima dimensi organisasi pembelajar ini harus hadir bersama-sama dalam sebuah organisasi untuk mempercepat proses pembelajaran organisasi dan meningkatkan kemampuannya untuk beradaptasi pada perubahan dan mengantisipasi perubahan di masa depan.
1.      System Thinking
Organisasi pada dasarnya terdiri atas unit yang harus bekerjasama untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Unit-unit ini antara lain ada yang disebut divisi, direktorat, bagian, atau cabang. Kesuksesan suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk melakukan pekerjaan secara sinergik. Kemampuan untuk membangun hubungan yang sinergik  ini hanya akan dimiliki kalau semua anggota unit saling memahami pekerjaan unit lain, dan memahami juga dampak dari kinerja unit tempat dia bekerja pada unit lainnya. Seringkali dalam organisasi orang hanya memahami apa yang dia kerjakan dan tidak memahami dampak dari pekerjaan dia pada unit lainnya. Selain itu seringkali timbul fanatisme seakan-akan hanya unit dia sendiri yang penting perannya dalam organisasi dan unit lainnya tidak berperan sama sekali.
2.      Personal Mastery 
Organisasi pembelajar memerlukan karyawan yang memiliki kompetensi yang tinggi agar bisa beradaptasi dengan tuntutan perubahan, khususnya perubahan teknologi dan perubahan paradigma bisnis dari paradigma yang berbasis kekuatan fisik (tenaga otot ) ke paradigma yang berbasis pengetahuan (tenaga otak). Selain itu kecepatan perubahan tipe pekerjaan, telah menyebabkan  banyak pekerjaan yang tidak diperlukan lagi oleh organisasi  karena digantikan oleh tipe pekerjaan baru, atau digantikan oleh pekerjaan yang menuntut penggunaan teknologi. Untuk memenuhi persyaratan perubahan dunia kerja ini semua pekerja di sebuah organisasi harus memiliki kemauan dan kebiasaan untuk meningkatkan kompetensi dirinya dengan terus belajar. Kompetensi dirinya bukan semata-mata di bidang pengetahuan, tetapi kemampuan berinteraksi dengan orang lain, menyelesaikan konflik, dan saling mengapresiasi pekerjaan orang lain. Organisasi lintas fungsi seperti yang telah dibicarakan di atas akan mempercepat proses pembelajaran individu di dalam organisasi.
3.    Shared Vision
Oleh karena organisasi terdiri atas berbagai orang yang berbeda latar belakang pendidikan, kesukuan, pengalaman serta budayanya, maka akan sangat sulit bagi organsasi untuk bekerja secara terpadu kalau tidak memiliki visi yang sama. Selain perbedaan latar belakang karyawan, organisasi juga memiliki berbagai unit yang pekerjaannya berbeda antara satu unit dengan unit lainnya. Untuk menggerakkan organisasi pada tujuan yang sama dengan aktivitas yang terfokus pada pencapaian tujuan bersama diperlukan adanya visi yang dimiliki oleh semua orang dan semua unit yang ada dalam organisasi.
4.      Team Learning.
Kini makin banyak organisasi berbasis team, karena rancangan organisasi dibuat dalam lintas fungsi yang biasanya berbasis team. Kemampuan organisasi untuk mensinergikan kegiatan team ini ditentukan oleh adanya visi bersama dan kemampuan berfikir sistematik. Namun demikian tanpa adanya kebiasaan berbagi wawasan sukses dan gagal yang terjadi dalam suatu team, maka pembelajaran organisasi akan sangat lambat, dan bahkan berhenti. Pembelajaran dalam organisasi akan semakin cepat kalau orang mau berbagi wawasan dan belajar bersama-sama. Oleh karena itu semangat belajar dalam team, cerita sukses atau gagal suatu team harus disampaikan pada team yang lainnya. Berbagi wawasan pengetahuan dalam team menjadi sangat penting untuk peningkatan kapasitas organisasi dalam menambah modal intelektualnya.
Berdasarkan hasil penelitian Tjakraatmaja (2002) dihasilkan temuan bahwa untuk membangun learning organization dibutuhkan tiga pilar yang saling mendukung, yaitu :
1. Pembelajaran Individual (individual learning),
2. Jalur Transformasi Pengetahuan
3. Pembelajaran Organisasional (organizational learning).
5.      Model Mental 
Respon manusia terhadap situasi yang terjadi di lingkungannya sangat dipengaruhi oleh asumsi dan kebiasaan yang selama ini berlaku. Di dalam organisasi, berlaku pula kesimpulan yang diambil mengenai ’how things work’ di dalam organisasi. Hal ini disebut dengan mental model, yang dapat terjadi tidak hanya pada level individual tetapi juga kelompok dan organisasi.
Mental model memungkinkan manusia bekerja dengan lebih cepat. Namun, dalam organisasi yang terus berubah, mental model ini kadang-kadang tidak berfungsi dengan baik dan menghambat adaptasi yang dibutuhkan. Dalam organisasi pembelajaran, mental model ini didiskusikan, dicermati, dan direvisi pada level individual, kelompok, dan organisasi.  
Karakteristik Organisasi Pembelajaran
Setiap organisasi mempunyai karakteristik yang berbeda bergantung jenis, struktur, visi dan misi yang dianut organisasi yang bersangkutan. Demikian pula organisasi pembelajar, mempunyai karakteristik yang spesifik dan dapat dibedakan dengan organisasi lainnya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Senge (1995), bahwa organisasi pembelajar mempunyai lima dimensi yang dapat secara kontinyu meningkatkan kapasitasnya guna mewujudkan impian, yaitu:   
(a) Membangun wawasan bersama, (building shared vision),
(b) Belajar dalam Tim (team learning),
(c) Berfikir sistematik (systems thinking),
(d) Penguasaan pribadi (personal mastery),
(e) Model mental (mental models).
Kelima dimensi dimaksud dapat membentuk tatanan organisasi yang berhasil.
Demikian pula Braham, B.J. (2003) mencoba mengetengahkan organisasi yang mampu belajar sebagai berikut :
*       Pembelajaran merupakan bagian terpadu dari setiap aktivitas karyawan dan belajar sudah menjadi bagian dari tugas bukan beban tambahan.
*       Pembelajaran adalah sebuah proses, bukan sebuah peristiwa.
*       Kerjasama merupakan landasan dari semua aktivitas/hubungan.
*       Setiap orang/karyawan berkembang dan bertumbuh, dan dalam prosesnya mengubah organisasi.
*       Organisasi pembelajar bersifat kreatif, dan karyawan membangun kembali organisasi.
*       Organisasi belajar dari dirinya sendiri, para karyawan mendidik organisasi tentang efisiensi, peningkatan mutu dan inovasi.
*       Menjadi bagian dari organisasi yang mampu belajar adalah sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan.
Dalam organisasi yang mampu belajar, motivasi sebagai bagian yang sudah menyatu dalam diri setiap karyawan. Pemimpin tidak perlu banyak instruksi karena karyawan secara otomatis berusaha mengerahkan kemampuan fisik dan intelektualnya untuk merealisasikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Hal senada dikemukakan juga oleh Robbins, S.P. (2001) bahwa organisasi pembelajar (learning organization) mempunyai karakteristik dasar sebagai berikut:
*       Anggota organisasi mengesampingkan cara pikir lama
*       Belajar untuk saling terbuka
*       Memahami cara kerja organisasi
*       Menyusun perencanaan, visi yang dapat disepakati dan dipahami semua anggota
*       Bersinergi untuk melakukan aksi dalam rangka pencapaian visi organisasi.
Suatu hal yang perlu ditambahkan pada karakteristik dasar organisasi pembelajar adalah bekerja secara sistemik karena keputusan dan tindakan-tindakan yang diambil dalam satu bagian organisasi akan mempengaruhi bagian lainnya.
Disimpulkan oleh Dharma. S (2001: 30) bahwa organisasi pembelajar mempunyai karakteristik sebagai berikut:
*       Menyambut baik perubahan-perubahan di dalam organisasi
*       Menciptakan pengetahuan baru berdasarkan informasi yang objektif, subyektif, dan simbol-simbol
*       Memandang ketidakpastian sebagai kesempatan untuk berkembang dan tantangan
*       Merangsang dan mendorong akuntabilitas sumberdaya manusia yang berada pada tingkat organisasi yang paling rendah
*       Mendorong para manajer untuk bertindak sebagai coach, mentors dan memfasilitasi proses belajar
*       Memiliki budaya umpan balik dan keterbukaan
*       Memiliki pandangan dan sistem holistic terhadap organisasi dan sistemnya termasuk proses dan keterkaitan diantaranya
*       Memiliki kesamaan visi, tujuan, dan nilai-nilai diantara sesama anggota organisasi
*       Memiliki desentralisasi pembuatan keputusan dan pemberdayaan sumberdaya manusia
*       Memiliki pemimpin yang berani mengambil resiko dan selalu bereksperimen atas dasar perhitungan yang jelas
*       Memiliki sistem yang mendorong saling belajar dan menggunakannya dalam organisasi
*       Berorientasi pada pelanggan
*       Kepedulian terhadap kebutuhan masyarakat
*       Menghubungkan pengembangan diri sumber daya manusia dengan pengembangan organisasi secara keseluruhan
*       Mengembangkan jaringan di dalam organisasi melalui pemanfaatan teknologi
*       Mengembangkan jaringan yang lebih luas dengan masyarakat dunia usaha
*       Memberikan kesempatan yang berkelanjutan untuk belajar dari pengalaman
*       Menghindari birokrasi
*       Memberikan penghargaan kepada sumberdaya manusia yang berinisiatif dan berprestasi
*       Membangun rasa kepercayaan (trust) dikalangan organisasi
*       Melaksanakan perbaikan secara berkelanjutan (continuous improvement)
*       Mendorong, mengembangkan dan menghargai semua bentuk kerjasama kelompok
*       Mendayagunakan kelompok kerja lintas fungsional (cross-functional work teams)
*       Memanfaatkan dan mendayagunakan keahlian-keahlian sumberdaya manusia yang ada dan mengevaluasi kapasitas belajar
*       Memandang organisasi sebagai suatu organisme yang hidup dan berkembang (living and growing organism)
*       Memandang segala sesuatu yang tidak diharapkan sebagai kesempatan untuk belajar (view of unixpected as an apportunity to learn).
Selanjutnya Schein & Senge (Argyris, C. 1999: 6) mendeskripsikan tipe organisasi pembelajar sebagai berikut:
*     Information system that provide fast, public feedback on the performance of the organization as a whole and of its various components;
*     Flat, decentralized organizational structures;
*     Mechanisms for surfacing and criticizing implicit organizational theories of action, cultivating systematic programs of experimental inquiry;
*     Measures of organizational performance;
*     System of incentives aimed at promoting organizational learning; and
*     Ideologies associated with such measures, such as total quality, continuous learning, excellence, openness, and boundary-crossing.
Sejumlah karakteristik organisasi pembelajar yang dikemukakan ahli perilaku organisasi dapat dijadikan referensi bagi pengelola organisasi yang ingin maju dan kompetitif. Organisasi pembelajar tidak harus bercirikan semua item sebagaimana tertera di atas, akan tetapi dapat mengembangkan sejumlah item yang sesuai dengan karakteristik organisasi yang dikembangkan dengan memperhatikan ketersediaan sumberdaya organisasi yang tersedia, baik human dan non human.
Organisasi pembelajar merupakan salah satu ciri organisasi abad 21, karena organisasi demikian mampu menjawab tantangan yang dihadapi sekaligus menjamin terciptanya kehidupan dan kelangsungan organisasi. Organisasi yang mempunyai keunggulan inovasi layanan maupun produk, dimasa depan akan menjadi organisasi yang senantiasa menumbuhkan komitmen dan kapasitas belajar anggotanya pada semua tingkat organisasi.
Manfaat Organisasi Pembelajaran
Manfaat penting membangun organisasi belajar ini adalah bahwa organisasi mampu menghadapi tantangan perubahan dalam segala aspek lingkungan kehidupan dan menyesuaikan diri dengan perubahan itu agar tetap bertahan dan berkembang, mencapai kinerja yang tinggi dan memenangkan persaingan, dan memperbaiki kualitas dengan memunculkan inovasi.
Manfaat utama organisasi pembelajaran adalah;
a.       Mempertahankan tingkat inovasi dan tetap kompetitif
b.      Menjadi lebih baik ditempatkan untuk merespon tekanan eksternal
c.       Memiliki pengetahuan ke sumber daya yang lebih, baik link kebutuhan pelanggan
d.      Meningkatkan kualitas output di semua tingkatan
e.       Meningkatkan citra perusahaan dengan menjadi lebih banyak orang berorientasi
f.       Meningkatkan kecepatan perubahan dalam organisasi
g.      Kemampuan untuk adaptasi dan antisipasi
h.      Pertumbuhan dan perkembangan produk dan inovasi proses
i.        Produktifitas yang lebih tinggi dan keuntungan finansial
j.        Kepuasan kerja yang lebih tinggi
k.      Peningkatan yang berkelanjutan
l.        Pembelajaran yang lebih cepat, lebih baik,  dan menembus batas
Faktor-faktor Organisasi Pembelajaran
Organisasi Pembelajarn di pengaruhi oleh factor-faktor berikut:
*       Budaya belajar
1.      Masa depan organisasi
2.      Arah tukar menukar informasi tentang belajar
3.      Komitmen belajar
4.      Menilai orang dalam hal gagasan, kreativitas, dan kemampuan berimajinasi (kemampuan memetakan tujuan jangka panjang secara visual dengan men-slice menjadi bagian-bagian yang lebih kecil untuk dapat dicapai dalam jangka pendek)
5.      Iklim keterbukaan dan kepercayaan sebagai kekuatan belajar (proses belajar dapat berhasil bila ada keterbukaan untuk saling berbagi dan dapat menerima pendapat orang lain yang berbeda. Percaya bahwa informasi yang kita bagikan dapat memberikan nilai bagi organisasi untuk mencapai tujuannya).
6.      Belajar dari pengalaman
*       Proses manajemen kunci
1.        Perencanaan strategis
2.        Analisis pesaing
3.        Manajemen dan pemanfaatan informasi
4.        Perencanaan kapabilitas
5.        Tim dan organisasi pengembangan
6.        Ukuran kinerja
7.        Sistem imbalan dan penghargaan
Model Pendekatan Organisasi Pembelajaran:
1.         Understanding the environment, organisasi pembelajaran akan memahami perubahan yang terjadi pada lingkungan di luar organisasi.
2.         Visionary and Flexible, organisasi pembelajaran melibatkan sumberdaya manusia untuk bergerak menuju tujuan organisasi dan mencapainya dengan cara flexible menyesuaikan dengan perkembangan perubahan lingkungan.
3.         Creates management option, dimulai dari individu sebagai sumberdaya manusia melakukan kreasi dan inovasi menciptakan hal-hal baru juga terhadap perkembangan manajemen.
4.         Encourages teamwork, sebagai organisasi pembelajaran akan melibatkan team dalam organisasi untuk menindaklanjuti inovasi perorangan menjadi inovasi kelompok atau divisi, sehingga memiliki kekuatan tindak yang lebih berpengaruh bagi organisasi.
5.         Encourages open discussion, mengembangkan team yang baik untuk menciptakan hal-hal baru dengan memberikan kebebasan bagi anggota team untuk saling memberi saran maupun kritik dalam tujuan menemukan solusi.
6.         Persistance, ketekunan, kegigihan dan tidak mudah putus asa, menjadi ciri khas organisasi pembelajaran dalam mempersiapkan kapasitas sumberdaya manusia menghadapi masa depan sesuai tujuan organisasi.
Keterampilan Kunci dibutuhkan:
1.         Komunikasi, terutama kemampuan mengembangkan akses komunikasi dengan organisasi lain.
2.         Menyimak dan mengobservasi.
3.         Membimbing dan mendukung rekan belajar.
4.         Mengambil suatu perspektif holistik: memperhatikan tim dan organisasi secara keseluruhan.
5.         Menghadapi tantangan dan ketidakpastian.
Pada dasarnya organisasi belajar ini merupakan suatu konsep dimana organisasi harus melewati proses belajar yang terus menerus secara mandiri untuk menghadapi hambatan baik dari dalam maupun dari luar organisasi untuk mencapai tujuan bersama.[8]
C.      Organisasi sebagai lingkungan belajar dan peran change agents
Sebagai agen perubahan, profesional SDM menghadapi paradoks yang melekat dalam setiap perubahan organisasi. Seringkali, perubahan harus didasarkan pada masa lalu. Untuk SDM profesional melayani sebagai agen perubahan, menghormati masa lalu berarti menghargai dan menghormati tradisi dan sejarah dari bisnis sementara bertindak untuk masa depan. SDM profesional dapat perlu memaksa atau memfasilitasi dialog tentang nilai-nilai mereka mengidentifikasi perilaku baru yang akan membantu untuk menjaga perusahaan kompetitif dari waktu ke waktu. Menjadi agen perubahan adalah jelas bagian dari nilai-tambah peran SDM profesional sebagai mitra bisnis.
Para Filsuf Yunani Heraclitus mengatakan, “Tidak ada yang permanen kecuali perubahan. Perubahan merupakan realitas yang lebih besar dalam kehidupan kontemporer, yang terjadi dengan kecepatan dipercepat, dan hampir tidak ada kemungkinan adanya kemapanan (tidak berubah). Tidak ada lagi untuk berpikir lebih baik fokus pada bisnis seperti biasa.   Organisasi mendapat tekanan oleh lingungan untuk senantiasa berubah. Organisasi harus menyesuaikan diri jika mereka ingin bertahan hidup dan terus berkembang.
Tantangan bagi para manajer saat ini adalah belajar untuk mengelola perubahan yang terjadi secara efektif (Westover, 2010).  Schell dan Solomon (1997) mengusulkan apa yang mereka yakini menjadi tantangan utama yang dihadapi sumber daya manusia dalam dekade mendatang. Kemampuan untuk memfasilitasi manajemen perubahan, dan orang-orang membantu mempersiapkan dan beradaptasi dengan perubahan dan kompleksitas adalah di bagian atas daftar mereka. Survei tahunan oleh Institut Sumber Daya Manusia juga daftar mengelola perubahan sebagai salah satu bagian atas dua kekhawatiran fof tahun 2005 (Laabs, 1996).
Perubahan adalah bagian integral dari kesuksesan bisnis, dan bahwa profesional sumber daya manusia secara langsung atau tidak langsung ditunjuk sebagai agen perubahan organisasi.  Karenanya menjadi penting untuk mempertimbangkan bagaimana tanggungjawab dapat ditingkatkan.  Mengubah literatur manajemen sering menunjukkan perlunya untuk meningkatkan komunikasi dan penguatan hubungan dan pemahaman sebagai kerangka dasar untuk sukses pelaksanaan strategi perubahan.  terkait untuk profesional sumber daya manusia sebagai agen perubahan, literatur mengarahkan  mereka pada peran ini, tetapi sedikit literatur yang menjelaskan   bagaimana mereka dapat lebih efektif melaksanakan tanggung jawab tersebut. Untuk mengatasi kekuatan teknologi, kompetitif, dan demografis yang baru, pemimpin di setiap sektor telah berusaha untuk secara mendasar mengubah cara organisasi mereka melakukan bisnis. Perubahan ini telah diarak di bawah banyak spanduk – manajemen mutu total, rekayasa ulang, restrukturisasi, merger dan akuisisi, perputaran. Namun, menurut penilaian sebagian besar, beberapa upaya mencapai tujuan mereka. Kurang dari lima belas dari seratus atau lebih perusahaan dipelajari oleh Kotter (1998) telah berhasil mengubah dirinya.
Ulrich (1997) menyatakan bahwa salah satu peran kunci dari (SDM) sumber daya manusia profesional dalam suatu organisasi adalah untuk “mengelola transformasi dan perubahan.” Dia menggambarkan transformation secara keseluruhan sebagai perubahan mendasar dan budaya dalam perusahaan.    Ulrich mendefinisikan tujuan perubahan dalam bisnis sebagai “kemampuan organisasi untuk memperbaiki desain dan pelaksanaan inisiatif dan untuk mengurangi waktu siklus dalam semua kegiatan organisasi.   Demikian pula, Davis (1998) memberikan definisi perubahan dari perspektif pengembangan organisasi, yakni sebagai proses menyelaraskan orang, organisasi dan budaya melalui perubahan strategi bisnis, struktur, dan sistem.  Sumber daya manusia profesional membantu untuk mengidentifikasi dan menerapkan proses untuk perubahan.
Salah satu metode untuk membangun lingkungan yang membantu para profesional sumber daya manusia membangun pemahaman dan keterampilan untuk memfasilitasi perubahan organisasi adalah fokus pada Brufee pembelajaran kolaboratif (1993) menjelaskan pembelajaran kolaboratif seperti yang dibangun di antara anggota komunitas dari rekan-rekan berpengetahuan – orang membangun sesuatu dengan berbicara bersama-sama dan mencapai kesepakatan. Tujuan pembentukan kelompok belajar kolaboratif adalah untuk menciptakan landasan untuk menggunakan dialog untuk bersama-sama belajar.
Peters dan Armstrong (1998) mendefinisikan belajar collaborative sebagai proses membangun pengetahuan kolektif bagi orang yang bekerja melalui proses menanyakan dan belajar bersama-sama yang didasarkan pada tujuan bersama.  Melalui pembelajaran kolaboratif, para peserta dapat mengembangkan pemahaman tujuan bersama andimproved yang dapat meningkatkan pelaksanaan perubahan.  Alat yang tidak termasuk dalam pembelajaran kolaboratif adalah penggunaan dialog. Bohm (1996) dalam bukunya menggambarkan dialog berasal: dari diameter kata Yunani / ogos. Logos berarti “kata” atau dalam kasus kami, kami akan berpikir tentang “arti kata” Dan diameter berarti “melalui” dialog dapat berupa antara sejumlah orang, bukan hanya dua Bahkan satu orang bisa memiliki rasa dialog dalam dirinya, jika semangat dialog hadir.
Pembelajaran kolaboratif memiliki potensi membuka pintu untuk memfasilitasi perubahan organisasi dan individu.  Perubahan ini memiliki implikasi penting bagi tempat kerja serta untuk belajar lebih banyak tentang belajar kolaboratif itu sendiri. Covey (1999) Kepemimpinan terletak lebih dalam karakter daripada di Kompetensi teknis, tetapi kedua adalah antar-woven. Sebagai orang tumbuh dalam kompetensi mereka menyadari dimensi baru untuk karakter mereka. Misalnya, ketika kita mengajarkan keterampilan mendengarkan empatik, orang melihat bahwa mereka cenderung melihat hal-hal dari frame referensi mereka sendiri, dan mereka mulai menjelajahi kekayaan perspektif orang lain.
Pembelajaran kolaboratif berpotensi dapat berdampak pada efektifitas organisasi  dan pengembangan individu.  Seperti dijelaskan dalam organisasi perubahan. Kelompok Collaborative mengadakan dua belas pertemuan kelompok dalam periode empat bulan, mempelajari peran kami sebagai agen perubahan organisasi dan, melalui partisipasi dalam pembelajaran kolaboratif, menyelidiki dampak kelompok telah di fasilitasi kami perubahan organisasi. Kelompok Collaborative berfokus pada menciptakan lingkungan yang mendorong dialog untuk membangun kepercayaan dan secara aktif menggunakan alat-alat pembelajaran kolaboratif – dialog, mendengarkan aktif, bertanya kembali, menangguhkan asumsi, dan refleksi.
Melalui tindakan kolaboratif  berinteraksi dengan manajer dan karyawan lainnya di seluruh organisasi untuk memiliki kesempatan membangun jembatan dan memfasilitasi pemahaman tentang perubahan di perusahaan dan menghormati mereka sebagai individu yang unik, sementara juga mempertimbangkan tujuan dan batas-batas organisasi.  Menurut Weick (1995) memahami pikiran/perasaan termasuk hal-hal seperti penempatan bagian-bagian ke dalam kerangka kerja, memahami, upaya penanganan kejutan, membangun artinya, berinteraksi dalam mengejar saling pengertian, dan pola Weick lebih lanjut menyatakan bahwa sensemaking dapat dipandang sebagai suatu siklus berulang yang terdiri dari urutan peristiwa yang terjadi dari waktu ke waktu. Siklus ini dimulai sebagai individu membentuk antisipasi sadar dan sadar dan asumsi, yang berfungsi sebagai prediksi tentang peristiwa masa depan.
Penulis lain seperti Shotter (1993) dan Schon (1983) juga menggambarkan memahami pikiran/perasaan sebagai proses yang untuk membangun pengetahuan atau pengertian dari suatu situasi atau masalah yang awalnya tidak masuk akal.
Weick (1995) menekankan bahwa memahami pikiran/perasaan merupakan proses yang melibatkan suatu kegiatan. Ia merangkum tujuh sifat memahami pikiran/perasaan sebagai berikut: (1). Identitas: Resepnya adalah pertanyaan tentang siapa aku ini seperti yang ditunjukkan oleh penemuan tentang bagaimana dan apa yang saya pikirkan, (2) Retrospeksi: Untuk mempelajari apa yang aku pikirkan, aku melihat kembali apa yang yang saya katakan sebelumnya, (3). Pengesahan: saya membuat objek yang akan dilihat dan diperiksa saat saya mengatakan atau melakukan sesuatu, (4) Sosial:  Apa yang saya katakan akan keluar dan menyimpulkan yang ditentukan oleh siapa saya dan bagaimana disosialisasikan, (5) Ongoing: saya berbicara tersebar di waktu, bersaing untuk perhatian dengan proyek-proyek yang sedang berlangsung lainnya, dan ini tercermin pada sikap dan tindakan, yang berarti minat saya mungkin sudah mengalami perubahan, (6)  Isyarat diekstrak: apa yang saya  lakukan memperindah sebagai isi dari pemikiran ini hanya sebagian kecil dari ucapan yang menjadi menonjol karena konteks dan personal disposisi, dan (7)  Masuk akal:  saya perlu cukup tahu tentang apa yang saya pikirkan untuk mendapatkan tugas-tugas saya, tapi tidak lebih, yang berarti masuk akal didahulukan atas ketepatan (akurasi).
Nilai pembelajaran kolaboratif adalah proses mengartikulasikan pikiran dan meminta orang lain membantu mengungkap asumsi yang dibuat.
Salah satu tema utama yang berkaitan dengan pembelajaran kolaboratif adalah bahwa sebagai agen perubahan Organisasi kita dipengaruhi oleh perubahan itu sendiri yang datang dari dua arah – yang pertama bahwa kita akan memfasilitasi perubahan untuk perusahaan dan kedua, bagaimana reaksi kita sendiri menghadapi perubahan itu.
Sumber daya manusia yang profesional tidak selalu dalam organisasi. Hal penting untuk dipahami adalah bahwa sumber daya manusia profesional perlu mengembangkan metode yang memungkinkan mereka untuk dengan cepat menyerap atau cepat bertindak melalui siklus perubahan.  Aspek lain dari perubahan pribadi yang dibahas  adalah sifat individu penerimaan perubahan dan dampak pengalaman individu itu sendiri dan nilai-nilai terjadi pada proses perubahan. Jarvis (1999) memunculkan isu tentang kecenderungan kepribadian dan gaya belajar pada reflektifitas.  Dengan berpedoman pada penelitian Kagan (1971), ia membuat kesimpulan bahwa pemikir reflektif tidak selalu hati-hati, mereka hanya memilih untuk mempertimbangkan alternatif lagi sebelum mereka mencapai solusi.
Senge et al, (1999) menggambarkan bagaimana dialog kolaboratif dapat mengakibatkan  Organisasi berbagi makna: individu memahami hidup berdasarkan pengalaman pribadi. Tetapi itu tidak mudah dalam sebuah organisasi, di mana “pengalaman” telah tersebar di antara semua karyawan. Beberapa telah mengumpulkan informasi dengan berbicara kepada pelanggan, yang lain telah bereksperimen, yang lain telah menganalisis kesalahan dan keberhasilan, dan masih orang lain telah berinteraksi dengan pemasok. Semua dari banyak perspektif dapat dibawa untuk menanggung pada kritis masalah organisasi, tetapi hanya melalui percakapan yang disengaja.
Dialog melalui kelompok kerja kolaboratif dapat mendukung perubahan pribadi dan perubahan organisasi.  Pada akhirnya, perubahan organisasi adalah tergantung pada perubahan individu.  Satu dari peluang yang disediakan oleh kami bahwa pertemuan kelompok yang mempengaruhi kemampuan individu untuk memfasilitasi nya sendiri akan perubahan dilakukan dalam bentuk refleksi. Mezirow (1990) menggambarkan pembelajaran untuk orang dewasa sebagai orang yang “terpusat dan terlibat dalam menciptakan dan memfasilitasi masyarakat dialogis untuk memungkinkan peserta didik untuk terlibat dalam wacana rasional dan tindakan”. 
 Mereka sehari-hari berinteraksi dengan semua tingkat manajemen organisasi- dari level bawah sampai pemilik toko. Mereka berada dalam posisi untuk melayani sebagai jembatan yang kuat antara tujuan organisasi dan orang yang memfasilitasi tujuan organisasi di garis depan. Kunci untuk memaksimalkan sumber daya yang berharga adalah untuk mengidentifikasi metode melalui sumber daya manusia yang profesional agar dapat memahami dan mengelola nya. Ulrich (1997) mencatat, agen sumber daya manusia yang sukses adalah bila dalam perubahan bisa mengganti ‘resistensi dengan tekad’, ‘perencanaan dengan hasil’, dan ‘takut perubahan dengan kegembiraan’.  Faktor kunci sukses lebih puas dengan pekerjaan mereka sendiri dan perusahaan, berada dalam posisi yang lebih baik untuk memfasilitasi keinginan berubah dengan orang lain.
Hamilton (1994) menjelaskan tentang model perkembangan melalui lima tahap interaksi manusia dalam perkembangan proses keahlian melalui belajar kolaboratif, yaitu (1) teknik dan Strategi belajar, (2) menerapkan apa yang telah Anda pelajari, (3) mengembangkan Kompetensi, (4) Menjadi proticient, dan (5) Menjadi seorang ahli. Pembelajaran kolaboratif memiliki potensi untuk memberikan gambaran praktek agen perubahan dalam suatu organisasi. Pengungkapan asumsi, visi bersama, membangun teori dan pengujian, sensemaking (memahami perasaan/pikiran), dan refleksi hasil  akan menghasilkan SDM secara profesional  yang lebih siap untuk berubah secara pribadi, dan membantu orang lain memfasilitasi perubahan untuk diri mereka sendiri.[9]

KESIMPULAN
Perkembangan zaman pada saat ini membuat organisasi dihadapkan pada suatu tantangan dalam menghadapi persaingan bisnis. Setiap organisasi dituntut untuk memiliki keunggulan bersaing agar dapat tetap bertahan yang didukung dengan intelegensi organisasi untuk mengelola pengetahuan melalui proses belajar berkelanjutan. Pada era tahun 1990an diperkenalkanlah suatu konsep organisasi belajar yang berperan membekali organisasi dengan basis pengetahuan dalam rangka memenangkan persaingan. Organisasi belajar sangat diperlukan terutama dalam menghadapi perubahan lingkungan yang sangat cepat.
Pada dasarnya organisasi belajar ini merupakan suatu konsep dimana organisasi harus melewati proses belajar yang terus menerus secara mandiri untuk menghadapi hambatan baik dari dalam maupun dari luar organisasi untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam kelompok belajar kolaboratif, disimpulkan bahwa ada beberapa hal penting yang menjadi kekuatan agen perubahan dalam proses belajar kolaboratif, yaitu: (1) bahwa dialog dan refleksi dapat membantu agen perubahan dalam mengurangi hambatan sendiri dalam perubahan dan membangun hubungan.  Agar efektif dalam memfasilitasi perubahan harus terlebih dahulu memahami bagaimana hubungan pribadi, keterlibatan dan pemahaman perubahan dapat mempengaruhi orang lain, serta secara pribadi mengasimilasi perubahan yang direncanakan, (2) sebuah kelompok belajar kolaboratif harus memiliki tim dengan menyediakan kesempatan untuk berbicara satu sama lain – tidak hanya tentang proses – tetapi juga tentang bagaimana kondisi individu mereka, (3) dialog dan apresiasi yang lebih dalam memfasilitasi pembelajaran kolaboratif dapat membawa wawasan tentang bagaimana pemahaman lingkungan akan mendorong perubahan organisasi, (4) proses kolaborasi dialog dapat membantu para profesional untuk mengidentifikasi dan mengartikulasikan model dan teori-teori yang mereka gunakan untuk memfasilitasi perubahan dan praktek bekerja lainnya, (5) partisipasi dalam kelompok dapat membantu anggota dalam identifikasi  asumsi mereka sendiri dan memungkinkan dialog yang lebih bermakna berlangsung dengan lebih memahami asumsi orang lain, (6) sebuah kelompok belajar kolaboratif bisa menjadi tempat untuk berbagi keprihatinan dan kesempatan untuk verbalisasi frustrasi dan keraguan dalam lingkungan yang aman, (7) sebuah kelompok belajar kolaboratif memberikan kesempatan bagi sensemaking (memahami perasaan/pikiran) tentang profesi diri sendiri dan organisasi, (8) konsisten terhadap pertemuan yang sudah dijadwalkan membantu menjaga topik prioritas, seperti fokus pada organisasi perubahan, (9)  lingkungan yang dibuat oleh pengalaman Collaborative menunjukkan dukungan  jaringan rekan-rekan, dan sangat berharga bagi rekan-rekan yang berbagi tanggung jawab pada pekerjaan yang sama, (10) sangat penting untuk mengenali putusan antara “kecepatan perusahaan” dalam perubahan dan “kecepatan hubungan” yang diperlukan untuk secara efektif memfasilitasi Perubahan itu sendiri, (11) pengalaman belajar kolaboratif dapat terjadi tidak hanya di kelompok sektor formal, tetapi juga dengan profesional sumber daya manusia yang memfasilitasi perubahan.
Perubahan Organisasi dan memfasilitasi individu untuk berubah akan terus menjadi fokus perusahaan. Peran sumber daya manusia profesional juga akan terus semakin fokus  untuk membantu organisasi dalam memfasilitasi perubahan.  Masih banyak para profesional sumber daya manusia  yang berperan memfasilitasi perubahan tetapi tidak sepenuhnya memahami atau mendukung tujuan organisasi.

DAFTAR PUSTAKA

1.      http://en.wikipedia.org/wiki/Organizational_learning diakses 11 juni 2016 jam 23.12
4.      http://infed.org/mobi/the-learning-organization diakses tanggal 10 Juni 2016 jam 21.15
5.      Hardjito, Dydiet. (2001). Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
7.      Winardi, J. (2011). Teori Organisasi dan teknik Pengorganisasian. Jakarta: Rajawali Pers
8.      Senge, Peter. M (1998). Disipli kelima, Seni dan praktek organisasi pembelajaran. Binarrupa aksara. Jakarta





[4] Winardi, J. (2011). Teori Organisasi dan teknik Pengorganisasian. Jakarta: Rajawali Pers.

[5] http://infed.org/mobi/the-learning-organization diakses tanggal 10 Juni 2016 jam 21.15
[6] Hardjito, Dydiet. (2001). Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[8] Winardi, J. (2011). Teori Organisasi dan teknik Pengorganisasian. Jakarta: Rajawali Pers
[9] Senge, Peter. M (1998). Disipli kelima, Seni dan praktek organisasi pembelajaran. Binarrupa aksara. Jakarta