Jumat, Juni 17, 2016

materi 7 teknologi kinerja dan proses belajar



MATERI 7
TEKNOLOGI KINERJA DAN PROSES BELAJAR

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> 
A.      Pendahuluan
Teknologi informasi dan komunikasi telah berkembang dengan sangat pesat sehingga sudah merupakan gejala dunia. Teknologi itu sudah menjadi bagian kebudayaan Indonesia sejak dikembangkannya sistem komunikasi satelit domestik.
Santika (2007), menyatakan bahwa pembelajaran dewasa ini menghadapi dua tantangan. Tantangan pertama, adanya perubahan persepsi tentang belajar itu sendiri dan tantangan kedua adanya teknologi informasi dan telekomunikasi yang memperlihatkan perkembangan yang sangat luar biasa. Konstruktivisme pada dasarnya telah menjawab tantangan yang pertama dengan meredefinisi belajar sebagai proses konstruktif di mana informasi diubah menjadi pengetahuan melalui proses interpretasi, korespondensi, representasi, dan elaborasi. Sementara itu, kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yang begitu pesat yang menawarkan berbagai kemudaha-kemudahan baru dalam pembelajaran memungkinkan terjadinya pergeseran orientasi belajar dari outside-guidedself-guided dan dari knowledge-as-possesion menjadi knowledge-as-construction. Lebih dari itu, teknologi ternyata turut pula memainkan peran penting dalam memperbarui konsepsi pembelajaran yang semula fokus pada pembelajaran sebagai semata-mata suatu penyajian berbagai pengetahuan menjadi pembelajaran sebagai suatu bimbingan agar mampu melakukan eksplorasi sosial-budaya yang kaya akan pengetahuan, menjadi para pendidik (guru) sebagai potensi sumber daya manusia, harus mempunyai komitmen dalam melaksanakan tugas profesionalnya yang utama yaitu terselenggaranya proses pembelajaran bagi setiap orang, dengan dikembangkan dan digunakannya berbagai sumber belajar selaras dengan karakteristik masing-masing pebelajar (leaners) serta perkembangan lingkungan. Karena lingkungan itu senantiasa berubah, maka pendidik harus senantiasa mengkuti perkembangan atau perubahan itu, dan akan selalu dituntut untuk mengembangkan diri dalam perubahan lingkungan dan zaman, termasuk perkembangan ilmu dan teknologi.
Untuk menciptakan suatu proses pembelajaran yang efektif dan efisien dan mempunyai daya tarik, maka seorang pendidik haruslah mampu merancang, menerapkan dan mengelola teknologi dalam pembelajaran. Teknologi pembelajaran dapat dilihat sebagai bidang yang mempunyai perhatian khusus terhadap aplikasi, meskipun prinsip dan prosedurnya berdasarkan teori. Prawiradilaga (2007) menyatakan bahwa kawasan bidang ini meliputi pengaruh nilai, penelitian, dan pengalaman praktisi, khususnya pengalaman dengan teknologi yang digunakan dalam pembelajaran. Bidang ini berkembang berupa pengetahuan teoritik dan pengetahuan praktis. Setiap kawasan dibentuk oleh : (1) landasan penelitian dan teori; (2) nilai dan perspektif yang berlaku; dan (3) kemampuan teknologi itu sendiri.[1]
B. Teknologi Kinerja dan Proses Belajar
Gerakan psikologi konstruktivisme telah mempengaruhi terhadap Teknologi Pembelajaran. Menurut pandangan konstruktivisme bahwa disamping adanya realitas fisik, namun pengetahuan kita tentang realitas dibangun dari hasil penafsiran pengalaman. Makna atas sesuatu tidak akan terlepas dari orang yang memahaminya. Belajar merupakan suatu rangkaian proses interpretasi berdasarkan pengalaman yang telah ada, interpretasi tersebut kemudian dicocokan pengalaman-pengalaman baru.
Konstruktivisme cenderung mempersoalkan perancangan lingkungan belajar daripada pentahapan kegiatan pembelajaran. Lingkungan belajar ini merupakan konsteks yang kaya, baik berupa landasan pengetahuan, masalah yang otentik, dan perangkat otentik yang digunakan untuk memecahkan masalah. Nampaknya, ada semacam keengganan terhadap adanya perumusan pengetahuan secara rinci yang harus dikuasai, dan kengganan terhadap simplikasi atau regulasi isi, karena semua proses itu akan meniadakan arti penting konteks yang kaya yang memungkinkan terjadinya transfer.
Perspektif alternatif lain yang mempengaruhi teknologi pembelajaran adalah dari kelompok yang memandang penting atas keunggulan belajar situasional (situated learning). Belajar situasional terjadi bilamana siswa mengerjakan “tugas otentik” dan berlangsung di latar dunia nyata. Belajar semacam ini tidak akan terjadi bilamana pengetahuan dan keterampilan tidak diajarkan secara kontekstual”. Bila orang menekankan pada belajar situasional, maka logika kelanjutannya adalah memahami belajar sebagai suatu proses yang aktif, berkesinambungan dan dinilai lebih pada aplikasi daripada sekedar perolehan.
Gerakan teknologi kinerja yang lebih berbasis terapan (Geis, 1986) juga mengajukan perspektif alternatif lain dalam Teknologi Pembelajaran. Para teknololog kinerja cenderung mengidentifikasi kebutuhan bisnis dan tujuan organisasinya daripada tujuan belajar. Teknologi kinerja sebagai suatu pendekatan pemecahan masalah adalah suatu produk dari berbagai pengaruh teori seperti cybernetic, ilmu manajemen, dan ilmu kognitif (Geis, 1986).
Para teknolog kinerja tidak selalu merancang intervensi pembelajaran sebagai suatu solusi dalam memecahkan masalah. Teknolog kinerja akan cenderung memperhatikan peningkatan insentif, desain pekerjaan, pemilihan personil, umpan balik atau alokasi sumber sebagai intervensi.[2]
1.      Persepsi dan Belajar
Proses belajar tanpa memperhatikan siapa yang belajar. Materi. Lokasi, jenjang pendidikan atau usia pembelajar selalu dipengaruhi oleh persepsi peserta didik. Cara berpikir, minat, atau potensi peserta didik dapat berkembang dengan baik jika memiliki persepsi yang memadai. Prawiradilaga (2007), menyatakan bahwa tujuan belajar sebenarnya adalah mengembangkan persepsi kemudian mewujudkannya menjadi kemampuan-kemampuan yang tercermin dalam cara berpikir (kognitif), bekerja motorik, serta bersikap.
2.      Pengertian Persepsi.
Prawiradilaga (2007), memberikan pengertian persepsi dapat dilihat dari dua faktor penting, yaitu:
a)    Konsep dasar, yang menyatakan bahwa persepsi merupakan awal dari segala macam kegiatan belajar yang bisa terjadi pada setiap kesempatan, disengaja atau tidak.
Persepsi terjadi karena setiap manusia memiliki indera untuk menyerap objek-objek serta kejadian disekitarnya. Pada akhirnya, persepsi dapat mempengaruhi cara berpikir, bekerja, serta bersikap pada diri seseorang. Hal ini terjadi karena orang tersebut dalam mencerna informasi dari lingkungan berhasil melakukan adaftasi sikap, pemikiran, atau perilaku terhadap informasi tersebut.
b)   Persepsi visual, merupakan proses yang menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengikuti, menyadari, menyerap arti atau makna dari tampilan visual di sekitarnya secara selektif. (Rieber, 1994). Manuasi terbiasa untuk berpikir secara visual atau memiliki gambaran visual dalam otaknya.
c)    Peranan Persepsi
Persepsi dalam belajar berpengaruh terhadap:
(1) Daya ingat, dengan memanfaatkan tanda-tanda visual, seperti simbol, warna, dan bentuk yang diterapkan dalam penyampaian materi, maka materi ajar menjadi lebih mudah dicerna dan mengendap dalam pikiran seseorang.
(2) Pembentukan konsep, pengembangan persepsi melalui pengaturan kedalaman materi, spasi, pengaturan laju belajar, dan pengamatan. Selain itu, proses pengolahan informasi berperan besar terhadap proses belajar. Isi dan struktur materi yang baik adalah materi yang menarik, mudah dicerna, sesuai dengan kebutuhan pembelajar. Pilihan yang cocok atas saluran komunikasi akan melengkapi kemudahan terjadinya proses belajar.
(3) Pembinaan sikap, interaksi antara guru (pengajar) sebagai narasumber dengan pembelajar merupakan kunci dari pembinaan sikap. Pengajar dapat membina sikap pembelajar dengan berusaha menjadi panutan (role model) untuknya. Keberhasilan proses belajar dapat tercapai jika pengajar berhasil memberikan `gambaran visual` yang baik begi pembelajar.
C. Peran Teknologi Kinerja dalam Proses Belajar
Stolovich & Keeps (1992) mendefinisikan teknologi kinerja sebagai suatu terapan atau praktek sebagai hasil evolusi dari pengalaman, rfleksi, perumusan konsep para praktisi teknologi pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu kerja sesorang di tempat ia bekerja.
Teknologi kinerja dalam proses belajar merupakan sesuatu yang memfokuskan pada penerapan kinerja seseorang (human) dalam sebuah organisasi belajar dan pengaturan kerjanya dan merupakan teknik atau merode untuk mengelola sistem pembelajaran secara efektif dan efisien. Untuk meningkatkan kinerja seorang guru dalam proses belajar, maka seorang pendidik, dalam hal ini guru harus mampu menganalisis, mendesain, mengembangkan, mengimplementasikan, serta mengevaluasi secara sistemik dan sistematik dalam pengelolaan proses belajar.
Seorang guru sebagai teknolog pendidikan yang diaplikasikan dalam prakteknya dalam kinerja, haruslah mampu menerapkan langkah-langkah dalam mengelola proses belajar yang merupakan kawasan dalam pembelajaran:
a.       Desain
Teori sistem umum diterapkan melalui aplikasi model-model perancangan sistem pembelajaran, terutama dengan didukung logika deduktif, penilaian praktek dan pengalaman yang sukses. Hasil-hasil penelitian yang ada tentang desain sistematik dapat mendukung terhadap komponen-komponen proses perancangan. Penelitian dan teori psikologi yang berkembang pun telah memberikan kontribusi terhadap perancangan, baik yang dikembangkan oleh kelompok aliran psikologi behaviorisme, maupun kognitivisme dan konstruktivisme. Selain itu, sumbangsih teori dan penelitian psikologi tentang motivasi juga berpengaruh terhadap proses perancangan. Teori dan penelitian tentang Belajar-Mengajar memiliki pengaruh terhadap desain, baik dalam penentuan tugas-tugas belajar, penentuan tujuan pembelajaran, pemilihan metode dan media pembelajaran, penentuan materi pembelajaran dan sebagainya. Teori komunikasi dan penelitian tentang persepsi-atensi telah memberikan pengaruh terhadap proses perancangan, seperti dalam tata letak, halaman, desain layar, desain grafis visual. Studi yang dilakukan Flemming (1987) menyimpulkan tentang karakteristik-karakteristik persepsi yang relevan untuk perancangan, meliputi : pengorganisasian, perbandingan dan kontras, warna kemiripan, nilai dan informasi yang disajikan.
b.      Pengembangan
Proses pengembangan bergantung pada prosedur desain, akan tetapi prinsip-prinsip utamanya diturunkan dari hakekat komunikasi dan proses belajar. Pada kawasan pengembangan tidak hanya dipengaruhi oleh teori komunikasi semata, tetapi juga oleh teori pemrosesan visual-audial, berfikir visual, dan estetika.
Teori Shannon dan Weaver (1949) tentang proses penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima dengan menggunakan sarana sensorik. Berikutnya, pemikiran Belo tentang Model SMCR (Sender, Massage, Channel, Receiver), dan beberapa teori lainnya dalam bidang komunikasi secara umum telah menjadi landasan dalam proses pengembangan.
Proses pengembangan juga telah dipengaruhi oleh teori berfikir visual, belajar visual dan komunikasi visual. Teori berfikir visual sangat berguna terutama dalam mencari ide untuk perlakuan berfikir visual. Menurut Seels (1993) bahwa berfikir visual merupakan manipulasi bayangan mental dan asosiasi sensor dan emosi. Arnhem (1972) menjelaskan berfikir visual sebagai fikiran kiasan dan di bawah sadar. Berfikir visual menuntut kemampuan mengorganisasi bayangan sekitar unsur-unsur garis, bentuk, warna, tekstur, atau komposisi..
Sementara itu, prinsip-prinsip estetika juga menjadi landasan dalam proses pengembangan. Molenda dan Russel (1993) mengidentifikasi unsur kunci seni yang digunakan dalam perancangan visual, yaitu : pengaturan, keseimbangan dan kesatuan.
Teori dan penelitian dalam bidang komputer yang dikombinasikan dengan teori-teori lainnya, khususnya dengan teori pembelajaran telah memungkinkan lahirnya berbagai bentuk pembelajaran, seperti pembelajaran jarak jauh yang di dalamnya memerlukan prinsip-prinsip komunikasi umum, prinsip-prinsip desain grafis, prinsip-prinsip belajar interaktif dan teknologi elektronik yang canggih.
c.       Pemanfaatan
Pada mulanya gagasan tentang pemanfaatan media lebih berkonotasi pada aspek-aspek penggunaan, sehingga teori dan penelitian lebih dipusatkan pada hal-hal yang berkenaan dengan pemanfaatan media, terutama mengkaji tentang masalah-masalah seputar penggunaan media secara optimal, kemudian berkembang dengan mencakup pada upaya difusi, karena bagaimana pun disadari bahwa pemanfaatan teknologi sangat bergantung pada proses difusi. Rogers (1962) mengeksplorasi tentang gejala difusi inovasi. Menurut Rogers, terdapat empat elemen utama yang beroperasi dalam proses difusi, yaitu : (1) bentuk atau karakter inovasi itu sendiri, (2) saluran komunikasi yang ada, (3) waktu, dan (4) sistem sosial yang berlaku. Studi Havelock (1971) tentang model pengembangan dan penyebaran dan interaksi sosial, lebih menekankan pada usaha-usaha menghubungkan para pemakai dengan sumber pengetahuan baru. Studi Lazarfield (1944) mengungkapkan tentang informasi yang sampai kepada para tokoh yang berpengaruh (opnion leaders), yang pada awalnya berupa transfer informasi sederhana, kemudian informasi itu diteruskan kepada para pengikutnya.
d.      Pengelolaan
Persoalan-persoalan pengelolaan dalam bidang Teknologi Pembelajaran muncul akibat pengaruh aliran perilaku dan berfikir sistematik behaviorisme serta aspek humanisme dalam komunikasi, motivasi, dan produktivitas. Metodologi dan teori pengelolaan telah banyak diaplikasikan pada berbagai bidang pengelolaan sumber dan proyek, termasuk pengelolaan perubahan. Sebagian besar prinsip-prinsip pengelolaan berasal dari manajemen/administrasi bisnis, seperti dalam pengelolaan proyek, pengelolaan sumber dan efektivitas pembiayaan.
Pengelolaan sumber telah lama menjadi masalah utama bagi guru dan petugas perpustakaan media karena keduanya diharapkan sebagai manajer sumber belajar. Sekarang ini konsep sumber lebih mengacu pada pengertian sumber belajar yang lebih luas dan bukan sekedar diartikan sebagai sarana audio-visual, melainkan mencakup pula barang cetak, lingkungan dan nara sumber (Eraut, 1989)
Akhir-akhir ini mulai tumbuh perhatian mengenai efektivitas pembiayaan, sehingga kerangka teori ekonomi pun mulai digunakan dalam teknologi pembelajaran, seperti penggunaan teori ekonomi pengelolaan sumber yang dikembangkan oleh Henderson dan Quandt (1980).
Kelanjutan dari pengelolaan sumber ini adalan pengelolaan sistem penyampaian, yang berkaitan dengan sarana, seperti perangkat lunak dan keras, dukungan teknis untuk operator dan pemakai, serta karakteristik lain tentang pengoperasian sistem teknologi. Ini merupakan era baru praktek mendahului analisis teoritik tentang model.
Komponen terakhir dari masalah pengelolaan adalah pengelolaan informasi. Teori informasi melahirkan suatu landasan yang dapat digunakan untuk memahami dan memprogram komputer. Hal ini berhubungan dengan perancangan dan penggunaan jaringan komputer untuk tranmisi, penerimaan dan penyimpanan informasi. Penerapan teori informasi ini jangkauannya semakin luas, dengan mencakup berbagai bidang kehidupan.
e.       Penilaian
Analisis, asesmen dan penilaian memainkan peranan penting dalam proses desain pembelajaran dan teknologi pembelajaran. Pada awalnya, penilaian sering dihubungkan dengan orientasi behavioristik. Tumbuhnya desain pembelajaran yang beorientasi pada tujuan (tercapainya perubahan perilaku), sehingga memunculkan pengujian dengan menggunakan acuan patokan. Hal ini terjadi pula dalam analisis kebutuhan atau analisis masalah.
Dengan masuknya pandangan kognitivisme dan konstruktivisme dalam desain pembelajaran, telah membawa implikasi terhadap proses analisis kebutuhan dengan cakupan yang lebih luas, yang tidak hanya berfokus pada isi semata, tetapi juga memberikan perhatian pada analisis pembelajar, analisis organisasi dan analisis lingkungan (Richey, 1992; Tessmer dan Harris, 1992). Penilaian dengan paradigma kognitif lebih banyak diorientasikan untuk kepentingan fungsi diagnostik.
Teknologi Pembelajaran yang dikelola dengan kinerja yang baik akan berpengaruh terhadap proses belajar, yaitu : (a) replikabilitas pembelajaran; (b) individualisasi; (c) efisiensi; (d) penggeneralisasian proses isi lintas; (e) perencanaan terinci; (f) analisis dan spesifikasi; (g) kekuatan visual; (h) pemanfaatan pembelajaran bermedia.
Kekuatan teknologi pembelajaran memang terletak pada teknologi itu sendiri. Kemajuan dalam teknologi akan banyak merubah hakekat praktek dalam bidang teknologi pembelajaran. Teknologi telah memberikan prospek munculnya stimulus yang realistik, memberikan akses terhadap sejumlah besar informasi dalam waktu yang cepat, menghubungkan informasi dan media dengan cepat, dan dapat menghilangkan jarak antara pengajar dan pembelajar (Hannfin, 1992). Perancang yang terampil dan kreatif dapat menghasilkan produk pembelajaran yang dapat memberikan keunggulan dalam : (a) mengintegrasikan media; (b) menyelenggarakan pengemdalian atas pembelajar yang jumlahnya hampir tidak terbatas, dan bahkan (c) mendesain kembali untuk kemudian disesuaikan kebutuhan, latar belakang dan lingkungan kerja setiap individu.
Teknologi, disamping mampu menyediakan berbagai kemungkinan tersedianya media pembelajaran yang lebih bervariasi, juga dapat mempengaruhi praktek di lapangan dengan digunakannya sarana berbasis komputer untuk menunjang tugas perancangan.[3]
D. Peran Pendidik Dalam Dunia Pendidikan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 Bab I Pasal 1 ayat 5 bahwa tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan menurut ayat 6 Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Proses belajar/mengajar adalah fenomena yang kompleks. Segala sesuatunya berarti, setiap kata, pikiran, tindakan, dan asosiasi dan sampai sejauh mana kita mengubah lingkungan, presentasi dan rancangan pengajaran, sejauh itu pula proses belajar berlangsung (Lozanov, 1978).
Dalam hal ini pengaruh dari peran seorang pendidik sangat besar sekali. Di mana keyakinan seorang pendidik atau pengajar akan potensi manusia dan kemampuan semua peserta didik untuk belajar dan berprestasi merupakan suatu hal yang penting diperhatikan. Aspek-aspek teladan mental pendidik atau pengajar berdampak besar terhadap iklim belajar dan pemikiran peserta didik yang diciptakan pengajar. Pengajar harus mampu memahami bahwa perasaan dan sikap peserta didik akan terlihat dan berpengaruh kuat pada proses belajarnya. (Bobbi DePorter : 2001)
Proses pendidikan merupakan totalitas ada bersama pendidik bersama-sama dengan anak didik; juga berwujud totalitas pengarahan menuju ke tujuan pendidikan tertentu, disamping orde normatif guna mengukur kebaikan dan kemanfaatan produk perbuatan mendidik itu sendiri. Maka perbuatan mendidik dan membentuk manusia muda itu amat sukar, tidak boleh dilakukan dengan sembrono atau sambil lalu, tetapi benar-benar harus dilandasi rasa tanggung jawab tinggi dan upaya penuh kearifan.
Barang siapa tidak memperhatikan unsur tanggung jawab moril serta pertimbangan rasional, dan perbuatan mendidiknya dilakukan tanpa refleksi yang arif, berlangsung serampangan asal berbuat saja, dan tidak disadari benar, maka pendidik yang melakukan perbuatan sedemikian adalah orang lalai, tipis moralnya, dan bisa berbahaya secara sosial. Karena itu konsepsi pendidikan yang ditentukan oleh akal budi manusia itu sifatnya juga harus etis. Tanpa pertanggungjawaban etis ini perbuatan tersebut akan membuahkan kesewenangwenangan terhadap anak-didiknya.
Peran seorang pengajar atau pendidik selain mentransformasikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada anak didik juga bertugas melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Hal ini sesuai dengan UU Republik Indonesia No. 20 Pasal 39 ayat 2.
Di samping itu merupakan suatu keharusan bagi setiap pendidik yang bertanggung jawab, bahwa di dalam melaksanakan tugasnya harus berbuat dalam cara yang sesuai dengan keadaan peserta didik Di mana selain peran yang telah disebutkan di atas, hal yang perlu dan penting dimiliki oleh pendidik yaitu pendidik harus mengetahui psikologis mengenai peserta didik. Dalam proses pendidikan persoalan psikologis yang relevan pada hakikatnya inti persoalan psikologis terletak pada peserta didik, sebab pendidikan adalah perlakuan pendidik terhadap peserta didik dan secara psikologis perlakuan pendidik tersebut harus selaras mungkin dengan keadaan peserta didik.[4]

Kesimpulan
Pembelajaran dewasa ini menghadapi dua tantangan. Tantangan pertama, adanya perubahan persepsi tentang belajar itu sendiri dan tantangan kedua adanya teknologi informasi dan telekomunikasi yang memperlihatkan perkembangan yang sangat luar biasa. Para pendidik (guru) sebagai potensi sumber daya manusia, harus mempunyai komitmen dalam melaksanakan tugas profesionalnya yang utama yaitu terselenggaranya proses pembelajaran bagi setiap orang
Kawasan teknologi pendidikan dapat meliputi kegiatan yang berkaitan dengan analisis, desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, implementasi dan evaluasi baik proses-proses maupun sumber-sumber belajar, tidak hanya bergerak di persekolahan tapi juga dalam semua aktifitas manusia (seperti perusahaan, keluarga, organisasi masyarakat, dll) sejauh berkaitan dengan upaya memecahkan masalah belajar dan peningkatan kinerja.
Keterkaitan antara teknologi kinerja dan proses belajar yaitu memiliki persamaan yang lebih menekankan pada suatu hasil tertentu, bedanya teknologi kinerja memperhatikan hasil kerja, sedangkan proses belajar mementingkan pencapaian hasil belajar. Teknologi kinerja memiliki prosedur untuk bisa mencapai hasil seperti pemilihan progran, analisi kebuthan, sampai evaluasi, sama halnya dengan proses belajar ia juga mempunyai tat urutan yang terdiri dari masukan, kegiatan dan keluaran. Contohnya menentukan strategi dan cara belajar agar tujuan utama bisa tercapai.
Seorang guru sebagai teknolog pendidikan yang diaplikasikan dalam prakteknya dalam kinerja, haruslah mampu menerapkan langkah-langkah dalam mengelola proses belajar yang merupakan kawasan dalam pembelajaran, yaitu desain, Pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan Penilaian



DAFTAR PUSTAKA
1.      Seels, B. Barbara dan Richey, C. Rita. 1994. Teknologi Pembelajaran. Definisi dan Kawasannya. Terjemahan: Dewi S. Prawiradilaga. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
2.      Miarso, Yusufhadi. 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
3.      Prawiradilaga, D. Salma. 2007. Prinsip Disain Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
4.      Prawiradilaga, D.S, dan Siregar, Eveline. 2007. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group





[1] Miarso, Yusufhadi. 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
[2] Seels, B. Barbara dan Richey, C. Rita. 1994. Teknologi Pembelajaran. Definisi dan Kawasannya. Terjemahan: Dewi S. Prawiradilaga. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.

[3] Prawiradilaga, D.S, dan Siregar, Eveline. 2007. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
[4] Prawiradilaga, D. Salma. 2007. Prinsip Disain Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group