MATERI 6
KAJIAN TEKNOLOGI KINERJA
***************************************************************************
Di
dalam lembaga apapun yang bersentuhan langsung dengan masyarakat terutama yang
menyangkut pelayanan publik hal penting yang paling dituntut adalah performa
lembaga tersebut baik manusia, birokrasi/prosedur hingga teknologi pendukung.
Contohnya jika kita hendak membuat KTP atau SIM.
Kita
pasti ingin mendapatkan dua surat penting tersebut lebih cepat, kalau bisa
tidak hitungan hari lagi namun jam. Alih-alih mewujudkan harapan tersebut, yang
terjadi kerap kali adalah sebuah pemandangan pola kerja manusia yang lamban,
birokrasi beberapa meja, dan teknologi usang yang terlihat aneh di jaman
hi-tech ini. Lalu ilmu kebatinan pun dimunculkan, “mengapa kinerja lembaga ini
begitu buruk? Tidakkah ada usaha untuk memperbaiki performa kerja mereka?”
Hasilnya adalah kekecewaan masyarakat karena bagaimanapun alasan situasional
yang dikemukan oleh lembaga telah menimbulkan persoalan-persoalan antara lain:
Pemborosan
waktu
Pemborosan
biaya kedua belah pihak
Ketidakefektifan
proses pembuatan
Melihat
berbagai masalah di atas maka yang dibutuhkan adalah sebuah proses perbaikkan atau
peningkatan performa. Performa siapa? Tentu semua unsur yang terlibat di dalam
lembaga atau instansi yang ada, yang memiliki kepentingan langsung dengan
publik.
Lalu
bagaimana dengan dunia pendidikan? Apakah unsur di dalam pendidikan juga
membutuhkan peningkatan performa? Jawabnya adalah ya dan harus karena
pendidikan adalah bidang yang memiliki hubungan paling dekat bahkan melekat
dengan masyarakat yaitu peserta didik dan pengguna output dari pendidikan
tersebut.
Dengan
merujuk pada tulisan Michael Molenda dan James A. Pershing “Improving
Performance” dalam buku Educational Technolog: A Definition with
Commentary karya Alan Januszweski and Michael Molenda (2008), makalah ini
akan mengulas bagaimana teknologi dapat dipakai untuk menambah keterlibatan unsur
pendidikan dalam rangka meningkatkan kinerja manusia. Batasannya adalah pada
peningkatan performa dengan keterlibatan pendidikan bukan seluas yang dimaksud
oleh HPT (human performance technology) atau teori manajemen.
A.
MENINGKATKAN KINERJA
Menurut Association
for Educational Communications and Technology atau disingkat AECT (2004),
Teknologi Pendidikan (TP) didefinisikan sebagai “the study and ethical
practice of facilitating learning and improving performance by creating, using,
and managing appropriate technological processes and resources.” Ini
adalah definisi terbaru yang menyatakan bahwa teknologi pendidikan adalah studi
dan praktek etis dalam upaya memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan
kinerja dengan cara menciptakan, menggunakan/memanfaatkan, dan mengelola proses
dan sumber-sumber teknologi yang tepat. Jelas, tujuan utamanya yaitu untuk:
Memecahkan
masalah belajar atau memfasilitasi pembelajaran agar efektif, efisien dan
menarik; dan
Meningkatkan
kinerja.
Dalam teknologi
pendidikan improving performance atau diterjemahkan sebagai
meningkatkan kinerja lebih sering merujuk pada suatu pernyataan mengenai
keefektifan; bisa merupakan cara-cara yang diharapkan membawa hasil yang
berkualitas, produk yang diharapkan dapat menciptakan proses belajar yang
efektif, dan perubahan-perubahan kompetensi yang dapat diterapkan di dunia
nyata.
Makna belajar itu
pun menhBelajar merupakan suatu rangkaian proses interpretasi berdasarkan
pengalaman yang telah ada, interpretasi tersebut kemudian dicocokan pengalaman-pengalaman
baru.
Efektif sering kali
berdampak pada efisiensi, yaitu hasil yang dicapai dengan penggunaan waktu,
tenaga, dan biaya seminim mungkin. Namun apa yang dimaksud dengan efisien
sangatlah tergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Efisiensi dalam gerakan
pengembangan instruksional sistematis didefinisikan sebagai menolong peserta
didik mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya yang diukur
dengan evaluasi terstruktur (tes, ulangan, dsb).
Oleh sebab itu
proses kegiatan belajar dilakukan dengan tahapan-tahapan yang sistematis.
Pandangan ini berbeda dengan pendekatan cara belajar konstruktivis. Cara
pandang konstruktivis menekankan pada posisi peserta didiklah yang menentukan
tujuan mereka sendiri dan bagian apa yang hendak dipelajari.
Belajar yang benar
dan berhasil adalah apabila ilmu pengetahuan dapat dipahami secara mendalam,
dialami, dan diterapkan untuk mengatasi masalah-masalah di dunia nyata, bukan
berdasar hasil ujian atau ulangan. Konstruktivisme cenderung mempersoalkan
perancangan lingkungan belajar daripada pentahapan kegiatan pembelajaran.
Lingkungan belajar ini merupakan konsteks yang kaya, baik dari landasan
pengetahuan, masalah yang otentik, dan perangkat yang digunakan untuk
memecahkan masalah. Itulah sebabnya efisiensi tergantung pada apa tujuan yang
hendak dicapai dalam proses belajar.
Sementara kata performance
atau kinerja merujuk pada dua hal yang saling berkesinambungan:
Kemampuan
peserta didik untuk menggunakan dan mengaplikasikan kompetensi baru yang telah
dicapainya; bukan sekedar mendapat pengetahuan kemudian stagnan, namun
pengetahuan itu meningkatkan kompetensi dan kompetensi tersebut dapat
diaplikasikan secara nyata.
Selain
menolong peserta didik memiliki kompetensi yang lebih baik, alat dan ide-ide
teknologi pendidikan dapat membantu para guru maupun perancang pembelajaran
menjadi tenaga pendidik yang lebih mumpuni. Hasilnya mereka dapat menolong
berbagai institusi mencapai tujuan dengan lebih baik.
Itulah mengapa
teknologi pendidikan menyatakan dirinya sebagai salah satu bidang yang punya
kemampuan untuk meningkatkan produktifitas pada level individu yaitu peserta
didik dan tenaga pendidik hingga level organisasi.
Dalam tulisan
Molenda dan Pershing makna peningkatan performa atau kinerja dibatasi pada
keterlibatan teknologi dalam bidang pendidikan semata. Artinya bahwa teknologi
dapat meningkatkan peran pendidikan untuk memperbaiki kinerja dan kualitas
manusia.[1]
B. Peningkatan Kinerja Peserta
Didik Sebagai Pribadi
Pembelajaran dewasa
ini menghadapi dua tantangan. Tantangan pertama, adanya perubahan persepsi
tentang belajar itu sendiri dan tantangan kedua adanya teknologi
informasi dan telekomunikasi yang memperlihatkan perkembangan yang sangat luar
biasa. Dalam kerangka pembelajaran individual, teknologi pendidikan sebagai
sebuah studi berupaya untuk meningkatan kinerja atau performa peserta didik
melalui beberapa cara yaitu:
Memberi
pengalaman belajar bernilai lebih dengan difokuskan pada tujuan yang hendak
dicapai, bukan sekedar keberhasilan melewati serangkaian test terstruktur.
Alih-alih
menghafal pelajaran, melalui pemanfaatan teknologi pengalaman-pengalaman
belajar yang didapat diharapkan dapat membawa pada tingkat pemahaman yang lebih
dalam. Jika proses belajar ini dibuat lebih bernilai dengan mendesainnya
sedemikian rupa, maka pengetahuan dan kompetensi yang baru dapat tertransfer
lebih baik lagi.
Individual
learning atau pembelajaran individual dapat diartikan “the ability of
individuals to experience personal growth in their interactions with the world
around them.” (www.ask.com).
Melalui pembelajaran individual peserta didik langsung mengalami apa yang
dipelajarinya, membangun sebuah pemahaman dengan model self-discovery sehingga
penghayatan akan makna pelajaran menjadi lebih dalam tertanaman. Ada sebuah
pepatah Cina kuno yang mengatakan
“Apa yang saya
dengar, saya lupa; apa yang saya lihat, saya ingat;
Apa yang saya lakukan, saya paham.”
Apa yang saya lakukan, saya paham.”
Pembelajaran
bernilai lebih yang dimaksud oleh teknologi pendidikan adalah bahwa melalui
aplikasi teknologi dalam bidang pendidikan:
a. Tujuan
pembelajaran yang berfokus pada tes atau ujian yang sifatnya sangat dangkal
dapat diubah. Artinya bahwa pembelajaran bagi siswa bukanlah sekedar menggali
kemampuan kognitif, apalagi pada tingkat kognitif yang rendah yaitu pengetahuan
dan pemahaman. Tujuan pembelajaran yang sekedar “berhasil dalam ujian” sudah
pasti tidak memberikan peningkatan performa pada peserta didik.
b. Pengabaian
pendidikan akan adanya multiple intelegensi pada peserta didik dapat dihindari.
Menurut Howard Gardner, hakikatnya terdapat 7 tipe intelegensia anak (manusia
secara umum), namun di sekolah hanya 2 tipe yang dimasukkan dalam
intrakurikuler yaitu kemampuan berbahasa dan logika matematika. Sementara 5
intelegensia yaitu musik, kemampuan spasial, kinestetik, interpersonal, dan
intrapersonal hanya merupakan tambahan. Konsekuensinya, output pembelajaran
dalam pendidikan formal cenderung diasosiasikan dengan ilmu pengetahuan yang
sempit, terbatas, dan pada tingkat yang redah.
c. Pembelajaran
dapat merambah pada semua tingkat atau ranah kemampuan peserta didik yang
semestinya baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik (taksonomi Bloom). Oleh
karenanya salah satu cara yang diusahakan oleh teknologi pendidikan untuk
meningkatkan kinerja peserta didik adalah melalui praktek-praktek design
pembelajaran (pendekatan ID sistematis – Morrison)a ang mengarahkan perencana
pembelajaran berpikir tentang berbagai outcome pembelajaran dan mengklarifikasi
pada level apa tipe pembelajaran yang diharapkan. Jika saja keadaan ini
tercipta maka peserta didik lebih dapat menikmati pengalaman
aktifitas-aktifitas belajar dan metode penilaian yang sesuai dengan kebutuhan
belajar, bukan sekedar ujian yang terstandarisasikan.
d. Kedalaman
pembelajaran lebih mungkin dicapai. Hal ini untuk mengatasi apa yang sering
terjadi dalam proses belajar yaitu belajar untuk menghafal. Weigel mengemukakan
istilah pembelajaran di permukaan (surface learning) dan pembelajaran
mendalam (deep learning) untuk memberikan perbedaan tujuan yang
menyolok. Surface learning diwakilkan oleh kebiasaan penghafalan
fakta, memperlakukan materi sebagai bagian-bagian informasi yang tidak
berkaitan, dan melakukan prosedur rutin tanpa berpikir. Sebaliknya tujuan deep
learning adalah mendorong peserta didik mengaitkan ide-ide dengan
pengetahuan yang sudah didapat, mencari pola-pola utama, mempelajari
pernyataan-pernyataan yang ada secara kritis, dan merefleksikannya dengan
pemahaman mereka sendiri. Deep learning dapat terjadi dalam komunitas
pembelajar yang berorientasi pada penyelidikan (inquiry-oriented).
Komunitas ini bisa tercipta melalui aplikasi teknologi informasi dengan
memanfaatkan web berbasis jaringan kerja seperti blog.
e. Terjadi
transfer pembelajaran dalam dunia pendidikan formal. Diakui bahwa teknologi
dapat membantu siswa memiliki kemampuan yang tinggi, sekaligus menerapkan
pengetahuan baru di luar ruang kelas. Artinya bahwa dengan teknologi transfer
ilmu pengetahuan tidak terbatas semata dalam ruang kelas melalui design
pembelajaran (disebut sebagai soft technology) yang disusun pengajar,
namun juga melalui hard technology yaitu penciptaan dan pemanfaatan
lingkungan dimana pembelajar dapat mempraktekan pengetahuan dan kemampuannya
dalam dunia nyata.
Teknologi pendidikan
tidak hanya bergerak di persekolahan tapi juga dalam semua aktifitas manusia
(seperti perusahaan, keluarga, organisasi masyarakat, dll) sejauh berkaitan
dengan upaya memecahkan masalah belajar dan peningkatan kinerja.
Oleh karena kinerja
peserta didik baik di sekolah maupun di tempat kerja dapat ditingkatkan melalui
penggunaan teknologi teknologi lunak seperti desain pembelajaran (ID) dan hard-tech,
juga penciptaan dan pemanfaatan lingkungan di mana peserta didik dapat
mempraktekkan dan mengaplikasi ilmu pengetahuan yang didapat dalam dunia nyata.
C. Peningkatan Kinerja Guru dan
Para Perancang Pembelajaran
Aplikasi teknologi
dalam bidang pendidikan dapat menolong para tenaga pengajar menciptakan proses
belajar yang lebih menarik dan bernilai manusiawi. Teknologi pendidikan bagi
pengajar memiliki manfaat luar biasa terutama dalam meminimalisir waktu
pembelajaran dan meningkatkan efektifitas yang pada akhirnya dapat menambah
produktifitas tenaga pengajar.
Beberapa langkah
yang bisa digunakan untuk memperbaiki kinerja guru dan perancang desain
pembelajaran adalah seperti penjelasan singkat berikut ini.
1. Mengurangi
waktu pembelajaran.
TP memberikan
wawasan untuk membantu para guru dan para desainer(trainer)
mengurang waktu yang tidak efisien dalam pembelajaran
melalui prosedur prosedur khusus dalam analisa kebutuhan dan analisa
pembelajaran Melalui prosedur ini mengetahui apa yang menjadi tujuan
pasti Dari tujuan pasti dari proses pembelajaran (penyampaian materi) dngan
tujuan itu lah proyek pembelajarn di mulai. Konsekuensinya guru dan para
desainer mengurangi waktu pembelajaan yang tidak efektif untuk mencapai tujuan
yang diinginkan.
2. Menciptakan
pembelajaran yang lebih menguntungkan dari segi biaya.
Desain pembelajaran
yang sistemasis menolong para perencana pembelajaran
mencapai hasil yang luar
biasa menguntungkan.
3. Menciptakan
pembelajan yang ramah. pembelajaran lebih menarik.
Yang dimaksut dengan
menarik disini sangat variasi tergantung kasus per kasus, tetapi
secara umum pembelajaran yang menarik memiliki beberapa pengertian:
a. Menantang,
memberikan ekspetasi yang tinggi.
b. Memiliki
kesesuaian dengan pengalaman peserta didik di masa lalu dan dimasa yang akan
datang.
c. Ada
unsur humor dan permainan dalam pembelajaran.
d. Mempertahankan
perhatian siswa melalui hal-hal yang baru.
e. Terlibat
secara intelektual dan emosional.
f. Menggunakan
berbagai bentuk penyajian.
Teknologi Pendidikan
(TP) mempunyai sejarah panjang yang sangat menarik. Banyak inovasi-inovasi
pembelajaran yang diinspirasi dari teroi kognitifisme, konstruktifisme, seperti
problem base lerning yang didisaen untuk meningkatkan peserta belajar yang
disampaikan oleh pengajar.
4. Menghormati
nilai-nilai kemanusiaan.
Banyak inovasi
didalam Teknologi Pendidikan (TP) yang berfokuskan dalam nilai-nilai
kemanusiaan. Artinya murid adalah orang yang tidak dijejali ilmu saja atau
dengan kata lain adalah memanusiakan murid. Hal ini sesuai dengan bentuk
inovasi yang dibuat dengan melihat murid dari segi behaviourisme. Secara singkat
dapat di samapikan bahwa hasil inovasi Teknologi Pendidikan (TP)
menempatkan peserta didik sebagai pemegang control dalam proses pembelajaran.[2]
D. Peningkatan Kinerja Organisasi
Pada awalnya
teknologi diadopsi oleh organisasi adalah untuk meningkatkan produktifitas
organisasi, terutama untuk memangkas biaya dan meningkatkan hasil. Itulah yang
menjadi tujuan pemanfaatan teknologi di dunia bisnis dan industri. Namun tujuan
ekonomis seperti ini boleh dikata kurang populer di organisasi atau lembaga pendidikan
seperti sekolah dan perguruan tinggi. Oleh sebab itu perlu dikaji lebih dalam
lagi beberapa kemungkinan peran teknologi dalam meningkatkan produktifitas di
organisasi pendidikan.
1. Meningkatkan
efisiensi dan efektifitas
Efisiensi adalah doing
things right (dengan benar) dan efektifitas adalah doing the right
things (yang benar). Dalam dunia pendidikan kata efisiensi bisa dipandang
sebagai rancangan, pengembangan, dan melakukan pembelajaran dnegan cara
memanfaatkan sumber-sumber sekecil mungkin untuk mencapai hasil yang, paling
tidak, sama atau lebih baik. Sementara kata efektifitas berarti melakukan
perbuatan yang memang benar-benar bisa menolong peserta didik mencapai tujuan
pembelajaran yaitu menguasai pengetahuan, punya keahlian, dan terjadi perubahan
sikap. Kita membutuhkan keduanya. Pembelajaran yang efisien menjadi kehilangan
makna jika tidak bisa mencapai tujuan pembelajaran. Sementara itu pembelajaran
yang menghasilkan hasil belajar yang diinginkan tetapi boros penggunaan biaya,
tidak tepat waktu, atau tidak punya dampak menghasilkan lulusan yang tepat guna
sama dengan pembelajaran yang tidak produktif.
2. Sebuah
perspektif sistem bagi kinerja organisasi
Dalam pendidikan
kalimat “hasil yang diinginkan” bisa bermakna berbeda sesuai dengan persepsi
masing-masing orang. Oleh sebab itu perlu sebuah pengukuran what goals are
worth pursuing and what indicators should be used to measure progress toward
those goals” (hal.65). Banyak perdebatan yang dilakukan oleh ilmuwan
pendidikan apakah memang ukuran keberhasilan yang dipakai oleh
organisasi-organisasi bisnis dan industri (ekonomi) bisa dengan begitu saja
diterapkan dalam organisasi pendidikan. Terlepas dari hal tersebut, pendekatan
atau cara pandang sistem, secara total dan menyeluruh dapat membantu organisisi
atau institusi pendidikan mendefinisikan dan mencapai tujuan yang berharga
(output) dengan proses pembelajaran yang seefisien dan seefektif mungkin.
Esensi dari
pendekatan sistem adalah melangkah ke belakang dan mencatat faktor apa saja yang
terjadi di sekitar dan mempengaruhi kejadian-kejadian dalam proses belajar
mengajar di dalam kelas. Dengan melihat kondisi pembelajaran di kelas maka
dapat diperoleh pemahaman lingkungan apa yang seharusnya diciptakan untuk
mendukung strategi pembelajaran yang lebih berdampak.
Organisasi dapat
meningkatkan produktifitas komponen yang ada di dalamnya, terutama faktor SDM
nya dengan menolong mereka memperoleh pengetahuan yang baru, keahlian baru, dan
menciptakan sikap baru yang lebih positif. Namun ada usaha lain yang lebih
mendalam yaitu dengan mengubah kondisi-kondisi di dalam organisasi sehingga
orang lebih dapat memiliki performa kerja lebih baik lagi untuk mencapai tujuan
organisasi, dengan atau tanpa pembelajaran tambahan. Usaha perbaikan kinerja
yang sifatnya noninstructional intervention seperti mencipatkan
kondisi kerja yang lebih baik, alat kerja yang lebih memadai, dan memotivasi
pekerja menjadi lebih giat dilabelkan sebagai HPT atau human performance
improvement atau Teknologi Kinerja Manusia. Keseluruhan intervensi yang
bersifat instruksional dan noninstruksional dalam organisasi merupakan usaha
untuk mengembangkan atau meningkatkan kinerja organisasi.
3. HPT
HPT atau Teknologi
Kinerja Manusia menurut Pershing adalah “the study and ethical practice of
improving productivity in organizations by designing and developing effective
interventions that are result-oriented, comprehensive, and systemic.” HPT
merupakan seperangkat metode, prosedur, dan strategi untuk memecahkan masalah
dalam kerangka organisasi. Sesuai dengan namanya maka HPT bersentuhan langsung
dengan potensi manusia sebagai sumber daya kerja dalam organisasi. Penanganan
performa SDM dengan baik akan dapat meningkatkan kualitas kinerja organisasi.
Bagaimana departemen Human Resource atau Personalia mengelola karyawan untuk
meningkatkan efektifitas kerja mereka adalah bidang yang ditangani oleh HPT.
Intinya HPT mengkaji tentang upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja orang dalam
suatu organisasi melalui pendekatan yang sistematis, sistematis dan ilmiah.
Para teknolog kinerja tidak selalu merancang intervensi pembelajaran sebagai
suatu solusi dalam memecahkan masalah. Menurut Barbara B. Seels dan Rita C.
Richey. dalamcTeknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya, (terjemahan
Dewi S. Prawiradilaga, dkk). Teknolog kinerja akan cenderung memperhatikan
peningkatan insentif, desain pekerjaan, pemilihan personil, umpan balik atau
alokasi sumber sebagai intervensi. Hal ini mencakup empat proses yaitu analisa,
desain, pengembangan, dan produksi. Menurut teknolog kinerja yang pada akhirnya
menolong kita melihat posisi teknologi pendidikan dalam HPT secara menyeluruh
adalah bahwa pendidikan merupakan satu dari berbagai intervensi yang mungkin
diterapkan dalam meningkatkan kinerja di tempat kerja.[3]
KESIMPULAN
Demikian
apa yang dapat kami paparkan dalam makalah ini. Semoga dengan makalah ini, kita
semakin mendapatkan gambaran yang jelas tentang tujuan utama dari Teknologi
Pendidikan (TP ). Jadi dengan Teknologi Pendidikan (TP) ini diharapkan bisa
memecahkan masalah belajar atau memfasilitasi pembelajaran agar efektif,
efisien, menarik, dan juga bisa meningkatkan kinerja. Peningkatan kinerja ini
tentunya baik dari segi peserta didik, guru atau perancang desain pembelajaran,
serta organisasi yang berkaitan. Dan kita juga bisa merenungkan apakah yang
kita lakukan selama ini dalam bidang pendidikan sudah sesuai dengan tujuan
pendidikan kita. Terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Molenda,
Michael & Alan Januszweski. 2008 “Educational Technolog: A Definition
with Commentary . New York.
2. Seels,
Barbara B. dan Rita C. Richey.1995. Teknologi Pembelajaran: Definisi dan
Kawasannya, (terjemahan Dewi S. Prawiradilaga, dkk). Jakarta:
UNJ Agus Dwiyono. 2007.